Rabu, Oktober 22, 2025

Asean Menjaga Keamanan Asia Tenggara

Maisie Saniyyah
Maisie Saniyyah
Mahasiswa Hubungan Internasional
- Advertisement -

Artikel ini membahas pendekatan ASEAN dalam menghadapi isu keamanan kawasan Asia Tenggara yang semakin kompleks, seperti sengketa konflik perbatasan Thailand–Kamboja, dan krisis politik di Myanmar. Dalam berbagai kasus, ASEAN sering dituding lamban dan terlalu berhati-hati dalam menyikapi itu semua. Banyak yang menilai organisasi ini seperti “macan tanpa taring,” “banyak bicara, minim aksi.” Tapi, mungkinkah “kelembutan” ASEAN justru adalah sumber kekuatannya?

Pendekatan diplomasi khas ASEAN, yang sering disebut ASEAN Way mungkin terlihat lembut, tapi justru di sanalah letak kekuatannya. Dalam pandangan soft power yang diperkenalkan oleh Joseph Nye, kekuatan sejati tak selalu datang dari senjata atau ekonomi, melainkan dari kemampuan membentuk perilaku dan pandangan pihak lain lewat nilai, norma, dan kepercayaan. Dengan cara inilah ASEAN membangun pengaruhnya, bukan melalui tekanan atau paksaan, melainkan lewat pendekatan yang halus, konsisten, dan menumbuhkan rasa saling percaya di antara negara-negara kawasan. Karena itu, penulis berpendapat bahwa mekanisme kolektif ASEAN tetap relevan hingga kini setidaknya karena tiga alasan utama:

(1). Diplomasi  ASEAN menciptakan ruang dialog yang inklusif.

(2). Prinsip  non-intervensi memiliki fungsi strategis dalam membangun kepercayaan antar negara.

(3). Mekanisme  keamanan regional ASEAN berperan sebagai penahan konflik terbuka di Asia Tenggara.

Diplomasi sebagai Wujud Soft Power

Ciri khas ASEAN Way terletak pada semangat dialog, konsensus, dan musyawarah. Prosesnya memang sering berjalan perlahan, namun justru di situlah kekuatannya, keputusan yang dihasilkan bukan paksaan sepihak, melainkan terbentuk dari kepercayaan yang tumbuh di antara negara-negara anggotanya. Inilah wujud paling nyata dari soft power: pengaruh yang bekerja tanpa tekanan.

Ketika Thailand dan Kamboja bersitegang soal Kuil Preah Vihear pada 2011, ASEAN tidak menjatuhkan sanksi atau menekan salah satu pihak, melainkan mendorong penyelesaian melalui Mahkamah Internasional (ICJ). Melalui mediasi diplomatik Indonesia sebagai Ketua ASEAN saat itu, konflik berhasil diredam tanpa eskalasi militer. Peran ini kemudian dilanjutkan oleh Malaysia sebagai Ketua ASEAN pada 2025 dalam “initiated a trilateral meeting on July 28 between Malaysia, Thailand, and Cambodia,” yang menunjukkan komitmen berkelanjutan ASEAN menjaga stabilitas kawasan lewat diplomasi damai dan konsensus, bukan melalui tekanan atau penggunaan kekuatan (Putryanti, 2025).

Forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS) sering dipandang sebelah mata sebagai ajang “banyak bicara tanpa keputusan”. Padahal, justru di situlah kekuatan soft power ASEAN bekerja. Dengan membuka ruang dialog bagi negara-negara yang bersaing, ASEAN menyediakan tempat aman untuk saling berbicara tanpa tekanan. Di dunia diplomasi, menjaga dialog tetap terbuka sering kali lebih berarti daripada langkah cepat yang bisa memicu ketegangan baru.

Non-Intervensi: Kelembutan yang Justru Menguatkan

Prinsip non-intervensi adalah dasar berdirinya ASEAN. Prinsip ini kerap dikritik karena dianggap menghambat upaya menegakkan demokrasi atau hak asasi manusia. Namun, di kawasan yang sangat beragam, baik dari sistem politik, budaya, maupun kepentingan nasional, prinsip non-intervensi justru berfungsi sebagai jembatan kepercayaan.

Krisis Myanmar menjadi ujian paling nyata bagi konsistensi ASEAN dalam menerapkan prinsip-prinsipnya sendiri. Setelah kudeta militer pada 2021, ASEAN merespons dengan meluncurkan Five-Point Consensus yang menekankan penghentian kekerasan, dialog konstruktif, dan penunjukan utusan khusus. Meski banyak pengamat menilai implementasinya lemah dan kurang memberi tekanan pada junta militer (Human Rights Watch, 2022). Langkah ini tetap mencerminkan pendekatan khas ASEAN yang mengedepankan quiet diplomacy. Alih-alih mengisolasi Myanmar, ASEAN berupaya menjaga jalur komunikasi terbuka sebagai wujud dari ASEAN Way, yang menempatkan persuasi dan keterlibatan di atas konfrontasi langsung.

- Advertisement -

Berbeda dengan pendekatan keras ala Barat, strategi ASEAN memang tampak terlalu lembut dan lebih hati-hati. Namun dalam kerangka soft power, langkah ini sepenuhnya rasional. ASEAN tidak mengandalkan tekanan atau paksaan, melainkan membangun pengaruh lewat legitimasi dan kepercayaan. Dalam konteks hubungan internasional yang mudah memanas oleh tekanan, pendekatan yang tenang dan konsisten justru menjadi cara paling efektif untuk menjaga stabilitas.

ASEAN di Tengah Rivalitas Kekuatan Besar

Selain mengelola hubungan internal, ASEAN juga memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan besar di kawasan. Melalui forum seperti East Asia Summit dan ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus (ADMM-Plus), ASEAN menjadi tuan rumah bagi Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Australia, dan negara-negara lain yang memiliki kepentingan beririsan.

Di forum-forum ini, ASEAN berfungsi sebagai “strategic bridge” jembatan strategis yang menghubungkan kekuatan besar agar tetap berdialog, bukan berkonflik. Dengan membingkai pertemuan dalam norma dan mekanisme regional, ASEAN mengubah potensi kompetisi menjadi keterlibatan yang terkendali. Ini sejalan dengan konsep soft balancing, di mana kekuatan kecil menggunakan pengaruh diplomatik untuk menahan dominasi tanpa konfrontasi langsung.

Tanpa ASEAN, rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok bisa dengan mudah menjalar ke Asia Tenggara, menciptakan ketegangan seperti era Perang Dingin. Namun dengan keberadaan ASEAN, dinamika itu bisa dikelola, tidak sepenuhnya hilang, tapi tetap dalam kendali. Dalam hal ini, ASEAN bukan pemain utama di panggung geopolitik, tetapi sutradara yang memastikan semua pemain tetap dalam naskah yang sama.

Kesimpulan

Banyak yang menganggap ASEAN lemah karena jarang mengambil sikap tegas. Namun justru di situlah letak keunikannya. ASEAN memang tidak dirancang untuk menjadi seperti NATO atau Uni Eropa, melainkan berlandaskan nilai-nilai Asia yang mengedepankan harmoni, konsensus, dan dialog. Nilai-nilai ini mungkin tampak lunak, tetapi justru menjadi sumber kekuatan dalam menjaga stabilitas di tengah dunia yang kian tegang. Teori soft power mengajarkan bahwa kekuatan sejati tidak selalu tampak di permukaan. Kekuatan itu bekerja diam-diam, membentuk persepsi, menciptakan kepercayaan, dan mengubah perilaku tanpa perlu ancaman atau paksaan.

Selama lebih dari lima dekade, organisasi ini telah menavigasi perbedaan politik, etnis, dan kepentingan ekonomi tanpa terjerumus ke konflik besar. Bukan karena semua anggotanya sepakat dalam segala hal, tapi karena mereka percaya pada satu hal, dialog lebih kuat daripada tekanan, dan kepercayaan lebih tahan lama daripada kekuasaan.

Relevansi ASEAN di masa depan tidak akan ditentukan oleh seberapa keras ia bersuara, melainkan oleh seberapa konsisten ia mempertahankan nilai-nilai yang membuatnya dipercaya. Di tengah rivalitas global yang semakin panas, mungkin justru pendekatan “lunak” inilah yang paling keras dampaknya bagi perdamaian Asia Tenggara.

Maisie Saniyyah
Maisie Saniyyah
Mahasiswa Hubungan Internasional
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.