Kehadiran Covid-19 sejak akhir tahun 2019 telah menggemparkan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Hampir semua aspek kehidupan menjadi terdampak karena Covid-19. Bahkan, tidak sedikit korban meninggal dunia. Meskipun, tingkat kematiannya per 2//2021 secara nasional masih 2,7, artinya terdapat 2-3 kematian setiap 100 kasus Covid-19, akan tetapi angka ini sebagai pertanda bahwa Covid-19 mengancam kelangsungan hidup manusia.
Dampaknya yang membahayakan dan mengusik ketenangan semua orang, sehingga semua orang berharap pandemi ini segera berakhir. Akan tetapi, praktik ketidakpatuhan masih saja terjadi dimana-mana. Begitu pula program vaksinasi, hingga hari ini (2/5/2021), sasaran yang berhasil divaksinasi mencapai 12.457.164 orang dari 181.554.465 warga yang menjadi sasaran vaksinasi atau masih menyisakan 169.097.301 orang (93,13%).
Angkanya masih cukup banyak. Diperlukan waktu sekitar 563 hari lagi jika kemampuan vaksinator hanya 300.000 dosis vaksin setiap harinya. Butuh waktu sekitar 1,5 tahun lagi untuk menuntaskan sasaran vaksinasi. Jika dihitung-hitung, program vaksinasi akan tuntas pada akhir tahun 2022. Masih cukup lama.
Belum lagi ketersediaan stok vaksin masih butuh perjuangan dalam mendapatkannya, akan tetapi hal tersebut terus diupayakan oleh Pemerintah Indonesia agar jumlahnya mencukupi dan bahkan melebihi jumlah sasaran yang akan divaksinasi. Selain itu, kemunculan varian baru Covid-19 di sejumlah negara juga menambah persoalan dalam pengendalian Covid-19. Seorang kolomnis opini Bloomberg pada tanggal 24 Maret 2021, Andreas Kluth menuliskan bahwa Covid-19 dapat menjadi musuh permanen seperti flu tetapi lebih buruk. Apakah Indonesia telah siap jika Covid-19 berlangsung permanen?
Kesiapan pemerintah menghadapi kondisi terburuk Covid-19 yang berkepanjangan dan bahkan permanen, telah dibuktikan dengan sejumlah kebijakan dan program. Berdasarkan rekomendasi WHO dan pendapat para ahli yang memprediksi bahwa pandemi Covid-19 dapat dihilangkan jika tercapai kekebalan kelompok (herd immunity). Pemerintah Indonesia langsung tancap gas menggalakkan program vaksinasi. Kekebalan kelompok dapat dicapai jika sebagian besar warga bersedia menerima vaksinasi.
Apakah masalahnya hanya sampai di situ saja? Ternyata tidak. Tantangan terberat adalah masih adanya warga yang tidak bersedia menerima vaksinasi. Parahnya, banyak warga yang menolak dengan alasan mengada-ada seperti masih menganggap Covid-19 suatu konspirasi, keamanan vaksin, status kehalalan, dan efektivitas vaksin. Padahal, WHO, pemerintah, badan independen yang berwenang mengeluarkan izin pemakaian vaksin seperti BPOM, dan bahkan MUI telah menyerukan bahwa Covid-19 halal.
Pemerintah Indonesia tidak ingin berlarut-larut dalam kemelut persoalan penolakan vaksinasi oleh warganya sendiri, dibuktikan dengan semakin gencarnya sosialisasi dan pelaksanaan vaksinasi di seluruh daerah di Indonesia.
Tidak ketinggalan pula sejumlah komponen masyarakat ikut serta dalam mengkampanyekan program vaksinasi aman dan bahkan menjadi pelopor gerakan vaksinasi di tempat kerjanya dan lingkungannya. Mengapa semua komponen bangsa harus terlibat? Permasalahan Covid-19 sangat kompleks sehingga harus dihadapi secara bersama, budaya gotong royong harus tetap dibangkitkan sebagai salah satu ciri budaya masyarakat Indonesia yang telah dikenal dunia sejak lama.
Faktanya, tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak warga yang tidak patuh protokol kesehatan dan bahkan tidak sedikit yang menolak vaksinasi. Fenomena ini akan memperkuat opini Andreas Kluth dan bisa menjadi kenyataan. Pertanyaannya, mengapa masih ada warga tidak mau sedikitpun berkorban untuk kepentingan bersama? Apakah mereka memang tidak peduli dan tidak merasakan kecemasan sedikit pun jika Covid-19 bersifat permanen?
Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap sepuluh warga yang tidak patuh protokol kesehatan dan menolak menerima vaksinasi, semuanya memberikan tanggapan yang menurut penulis justru berbanding terbalik dengan sikapnya. Mereka yang tidak patuh dan menolak menerima vaksinasi, sangat menginginkan Covid-19 segera menghilang dan tidak bersifat permanen. Kontradiksi. Mereka tidak mau pandemi tetap bertahan dan selamanya ada di Indonesia, tetapi justru menunjukkan perilaku berisiko penyebaran Covid-19.
Lalu, bagaimana kira-kira treatment yang tepat bagi mereka? Sebelum menjawab pertanyaan ini, sebaiknya mengingat kembali sejumlah kebijakan pemerintah di masa lalu yang menimbulkan kontroversi, tetapi akhirnya warga memilih melaksanakannya hingga sekarang. Contohnya, kebijakan pengalihan penggunaan bahan bakar dari minyak tanah menjadi gas elpiji dan kebijakan BPJS kesehatan. Memang, kedua kasus kontroversial tersebut berbeda konteks dengan vaksinasi. Gas elpiji dan BPJS kesehatan sudah menjadi kebutuhan sebagian besar warga. Akan tetapi, tidak salah jika belajar dari strategi yang diterapkan kala itu, sehingga kontroversi membuahkan hasil yang diharapkan.
Pemerintah melakukan pembatasan pasokan bahan bakar minyak, tetapi secara bersamaan memudahkan warga dalam memperoleh gas elpiji disertai sejumlah fasilitas subsidi. Sedangkan, pada kasus kontroversi BPJS kesehatan, pemerintah melakukan inventarisasi kepada warga dengan membagi menjadi beberapa kategori yakni warga yang digratiskan dan dibayarkan oleh pemerintah, warga yang diberikan subsidi, dan warga yang membayar penuh secara mandiri tanpa disubsidi oleh pemerintah.
Belajar dari kedua kasus yang menimbulkan kontroversi tersebut, sebenarnya pemerintah telah menerapkan sejumlah strategi dalam mengendalikan Covid-19 dan mensukseskan vaksinasi baik melalui kementerian terkait maupun kerja sama sejumlah BUMN dan perbankan atau penyedia jasa keuangan lainnya. Akan tetapi, program-program yang dihadirkan tersebut masih kurang menyentuh kesadaran warga dalam mendukung suksesnya program pengendalian Covid-19 yang sedang digalakkan oleh pemerintah.
Strategi pembatasan pasokan khususnya pemenuhan kebutuhan vaksinasi, sulit untuk diterapkan oleh pemerintah karena saat ini semua negara di dunia bahkan berlomba-lomba memperoleh pasokan vaksin. Akan tetapi, kebijakan pembatasan pemberian subsidi dan bantuan bahan pokok selama Covid-19 khususnya bagi warga yang tidak bersedia menerima vaksinasi, sangat mungkin untuk diberlakukan.
Pemerintah harus konsisten menerapkan kebijakan pembatasan khusus bagi warga yang tidak patuh protokol dan tidak menerima vaksinasi. Mereka tetap harus diwajibkan tes antigen dan swab test saat hendak mengakses tempat atau fasilitas umum dan keperluan bepergian. Bahkan, jika diperlukan, pemerintah merevisi kebijakan untuk penambahan biaya pemeriksaan tes tersebut.
Selain itu, pemerintah dan pihak terkait dapat melakukan inventarisasi dan meninjau ulang database warga yang menerima bantuan dan subsidi selama pandemi. Jika warga penerima subsidi dan bantuan, terbukti tidak bersedia menerima vaksinasi, maka dipertimbangkan untuk mengubah statusnya dari penerima menjadi bukan penerima lagi. Sebaliknya, warga yang bersedia menerima vaksinasi tidak perlu melakukan tes. Cukup bukti sertifikat vaksinasi, mereka dapat bepergian terbatas. Sehingga, sertifikat vaksinasi tidak hanya sebagai kertas tanpa harga, tetapi berharga.