Pada 5 November 2017, International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menerbitkan dokumen perbankan rahasia berukuran 13,4 juta berkas yang dikenal sebagai Paradise Papers.
Berkas yang berasal dari perusahaan Appleby, sebuah firma hukum offshore terkemuka, mengekspos celah di sistem keuangan global dan menunjukkan bahwa para miliuner, kepala negara, dan tokoh-tokoh politik, dunia hiburan, dan olahraga dunia merahasiakan nilai kekayaan mereka demi menghindari pajak. Di Indonesia, figur-figur publik seperti Prabowo Subianto, Mamiek, Tommi Soeharto dan banyak nama lainnya juga ikut terseret.
Pasca dibukanya dokumen Panama Papers yang membocorkan keuangan rahasia lebih dari 214.488 perusahaan cangkang (shell companies) beberapa waktu sebelumnya, setidaknya telah dilakukan 150 penyelidikan di 79 negara yang melibatkan lebih dari 6.500 wajib pajak dan perusahaan. Munculnya investigasi Paradise Papers bukan hanya menunjukkan pentingnya menindaklanjuti penyelidikan penemuan sebelumnya, namun juga mempertegas betapa pentingnya mengakhiri kerahasiaan dalam sistem keuangan global.
Praktik Oligarki Global
Perbincangan yang hilang dari Paradise Papers hingga saat ini adalah implikasi global dari pengelolaan kekayaan yang tidak transparan dan akuntabel. Paradise Papers mengungkapkan bagaimana struktur hukum dan perusahaan dapat digunakan untuk mengaburkan kepemilikan badan hukum. Para kleptokrat dan penjahat kerah putih yang menyimpan dananya di negara-negara surga pajak (tax haven countries), dengan itu tidak wajib menjelaskan sumber kekayaannya.
Melakukan bisnis yang sah di yurisdiksi negara suaka pajak memang tidak ilegal, namun temuan Paradise Papers adalah contoh nyata bagaimana individu dan bisnis secara sistematis menyalahgunakan kerahasiaan yang diberikan. Penelitian Global Financial Integrity (2017) menggambarkan bagaimana buruknya sistem keuangan global saat ini disumbang oleh kerahasiaan pajak, perusahaan anonim, pencucian uang berbasis perdagangan, dan penegakan kejahatan finansial yang lamban.
Gabriel Zucman (2013), seorang ekonom Perancis, memperkirakan bahwa 8% kekayaan rumah tangga di dunia—setara dengan 10% PDB dunia—dilaksanakan di luar negeri. Hal ini mempercepat derasnya arus keuangan terlarang (illicit financial flows) yang masuk dan keluar dari negara-negara berkembang, dimana ditaksir bernilai 14,1 hingga 24 persen perdagangan per tahun. Volume yang sangat besar ini berdampak buruk pada ekonomi negara-negara miskin dan memiliki kaitan yang jelas dengan korupsi.
Persilangan aktivitas kejahatan dan dunia bisnis politik ini, dalam banyak hal, seakan merupakan dua sisi koin. Karakter kegiatan kriminal sangat jelas merupakan sisi lain dari integritas bisnis dan moralitas politik. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa aktor-aktor yang diduga terlibat sulit sekali dibuktikan kesalahannya? Apakah publik harus selalu menunggu terbukanya dokumen-dokumen rahasia lain di masa depan tanpa ada kelanjutan yang jelas?
Dalam Paradise Papers, praktik penghindaran pajak dapat dilihat ketika seseorang berada dalam posisi finansial yang kuat, dan mereka merasa perlu merahasiakan data finansialnya dengan melawan hukum. Para pelaku melakukan rasionalisasi kejahatan mereka sehingga tidak merusak citra mereka sendiri—karena pada umumnya mereka adalah high figures.
Nama-nama orang wajib pajak Indonesia yang tercantum di Panama Papers misalnya sampai saat ini sangat sedikit yang ditindaklanjuti. Penting melihat bahwa para penjahat ini lebih imun karena memiliki kemampuan mempengaruhi proses penegakan hukum itu sendiri. Sebagai hasilnya, kejahatan kerah putih ditangani berbeda dibandingkan kejahatan warga biasa. Kejahatan “kelas bawah” direspon secara represif dalam bentuk penjara dan hukuman mati. Berbeda dengan kejahatan kerah putih yang hanya didenda atau bahkan tidak dikenakan hukuman sama sekali.
Momentum Pengesahan Beneficial Ownership
Cara paling memungkinkan mengakhiri penggunaan perusahaan cangkang tersembunyi adalah mengizinkan masyarakat secara bebas mengakses nama orang-orang di balik kepemilikan perusahaan. Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian Uang Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (beneficial ownership).
Selain untuk mencegah tindak pidana pencucian uang dan terorisme, Perpres ini dapat membantu Direktorat Jenderal Pajak memburu pemilik perusahaan yang sengaja menyembunyikan kepemilikannya. Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan aturan ini untuk mencegah upaya ‘melarikan diri’ dari beban pajak melalui aktivitas pengelakan dan penghindaran pajak—terlebih semakin menemukan urgensinya pasca beredarnya 1.038 wajib pajak Indonesia di Panama Papers.
Konsep Beneficial Ownership (BO) sendiri pertama kali digunakan pada 1966 dalam protokol perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B tax treaty) antara Inggris dengan Amerika Serikat. BO adalah orang yang pada akhirnya memiliki, mengendalikan atau mendapatkan keuntungan dari perusahaan atau dana perwalian dan pendapatan yang dihasilkannya. Di Indonesia sendiri, istilah ini pertama kali diperkenalkan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak (SE-04/PJ.34/2005) tentang petunjuk penetapan kriteria beneficial owner sebagaimana tercantum dalam persetujuan penghindaran pajak berganda (double taxation) antara Indonesia dengan negara lainnya.
Merespon hasil investigasi Paradise Papers, terdapat tiga hal yang dapat diupayakan pemerintahan Jokowi pasca penerbitan regulasi ini. Pertama, diperlukan investigasi berlanjut terhadap nama-nama figur yang tercantum dalam Paradise Papers maupun Panama Papers dalam rangka pemberantasan korupsi. Diperlukan kolaborasi antara Dirjen Pajak, PPATK, KPK dan penegak hukum guna mempercepat upaya diatas, terlebih saat ini KPK tengah berkonsentrasi pada korupsi di sektor swasta.
Kedua, pemerintah perlu memikirkan strategi untuk memperketat regulasi sektor keuangan dengan meminta perusahaan mengungkapkan secara terbuka informasi mengenai kepemilikan perusahaannya. Pemerintah dapat mendorong komunitas internasional menekan yurisdiksi tax havens dalam memastikan standar transparansi, akuntabilitas dan integritas yang tinggi, dan ambil bagian dalam berbagi informasi multilateral dan skema bantuan hukum timbal balik.
Dan ketiga, Jokowi perlu memperkuat inisiatif dan kerjasama internasional dalam rangka pengawasan arus keuangan terlarang. Indonesia perlu segera masuk menjadi anggota FATF dan membuktikan partisipasinya untuk melawan penghindaran pajak. Selain itu Indonesia perlu aktif dalam forum-forum internasional, seperti memperkuat inisiatif transparansi BO di forum G20 serta menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan penting dalam Global Conference on Beneficial Ownership Transparency yang diselenggarakan Oktober 2017 lalu.
Paradise Papers mengonfirmasi apa yang sudah publik ketahui sejak lama: seberapa taatnya publik membayar pajak, ada sekelompok orang kaya yang bebas lari dari pajak. Fenomena Paradise Papers menunjukkan legalitas dari penghindaran pajak itulah yang membuatnya menjadi skandal. Regulasi BO dapat membantu melawan penghindaran pajak.