Pada generasi milenial saat ini, atmosfir feminisme terasa sangat kental menyingkup erat tiap-tiap perempuan. Kian hari kian kental terasa. Namun perlu untuk kita membahas tentang apa sebenarnya feminisme itu sendiri. Feminisme, kata yang erat kaitannya dengan keperempuanan ini kemudian mulai merambah menjadi bahasan pokok tiap-tiap manusia, bukan hanya perempuan namun mereka yang bukan perempuan mulai melirik dan ikut mengambil alih bahasan soal feminisme.
Feminisme bukan lagi topik “tabu” lagi untuk dibicarakan. Satu persatu pihak mulai merapal tentang feminism. Tak terkhusus tokoh pemikir modern satu ini yang “bergelut” sekaligus mengkritisi berbagai isu modern yang melambung di masyarakat milenial. Ia adalah Abou El-Fadl.
Bernamakan lengkap Khaled M. Abou El-Fadl yang namanya menjadi naik daun ditengok sebab banyak memberikan sumbangsih pada kehidupan modern Islam saat ini. Sosok Abou El-Fadl yang sarat membahas isu-isu keperempuanan ini kemudian membawanya dikenal menjadi feminis Muslim. Dengan kemampuannya menguasai khazanah-khazanah Islam, sosok Abou El-Fadl sebenarnya bukan hanya mengkaji persoalan feminism saja. Namun, kajian tentang keperempuanan beliau kemudian menjadi satu topik menarik untuk dibahas ditengah kehidupan modern umat Muslim saat ini.
Kesadaran Abou El- Fadl tentang ketertindasan serta ketidakadilan posisi perempuan yang disebabkan kesalahpahaman dalam memahami teks-teks keagamaan. Untuk itulah peran Abou El-Fadl dalam membenahi ulang pemahaman tentang bagaimana perempuan harus diperlakukan. Karena dalam prakteknya, feminisme menyimpang jauh menjadi sebuah ketimpangan yang hasilkan dari budaya patriarki.
Berbagai fatwa yang melambung ke permukaan masyarakat salah satunya fatwa tentang kepatuhan perempuan untuk menerima calon suami pilihan ayahnya. Fatwa tersebut mengatakan bahwa perempuan haram dipaksa menikah, namun apabila seorang ayah telah menjodohkan dengan lelaki pilihan ayahnya, perempuan tersebut haram untuk menolak keinginan ayahnya sebab, ayah tahu apa yang terbaik untuk anaknya.
Menurut Abou El-Fadl fatwa seperti ini menuai berbagai kontra serta mengesampingkan berbagai fakta. Menurutnya, jika terdapat fatwa bahwa perempuan wajib taat kepada ayahnya terkait siapa calon pendamping hidupnya, maka harus ada fakta yang dipertimbangkan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk memilih pasangan hidupnya sendiri. Hal ini karena, pada akhirnya, orang tua tidak akan menuai dampak dari pernikahan putrinya.
Selain fatwa, Abou El-Fadl juga menyikapi tentang beberapa fenomena feminism yang terjadi ditengah masyarakat. Kritik keras beliau lempar kepada muthawwa’un (polisi agama Arab Saudi) yang enggan menyelamatkan seorang perempuan dari sebuah peristiwa kebakaran hanya karena perempuan tersebut tidak menggunakan niqad (cadar yang menutupi wajah) dan ‘abaya (selendang yang mirip jubah yang dikenakan untuk membungkus tubuh) dengan alasan dikhawatirkan memunculkan “gairah seksual” bila mereka bersentuhan dnegan perempuan tersebut.
Abou El-Fadl kemudian memandang kejadian ini dengan perasaan pilu. Menurut Abou El-Fadl kejadian semacam ini mengorbankan persoalan teologis, hukum serta logika. Tindakan tersebut dianggap sebagai bukti pengasingan serta pelecehan kaum perempuan oleh obsesi yang abnormal kaum puritan. Kejadian semacam itu selain dinilai tidak masuk akal juga sebenarnya cerminan dari bentuk kebencian serta ketidakpedulian yang berujung kepada dominasi.
Posisi perempuan menjadi produk dari patriarki dimana perempuan tidak pernah berdiri sendiri. Bahwa bilamana sebagai istri ia berada dibawah suami, bila ia sebagai anak berada dibawah ayahnya dan di masyarakat juga berada dibawah laki-laki. Hal ini kemudian dipandang bahwa perempuan memiliki kesetaraan yang berbeda dengan laki-laki. Untuk itu kemudian dilemparlah sejumlah fatwa untuk memperkuat dominasi laki-laki serta memperlemah posisi perempuan.
Berbagai tanggapan atas kejadian ketimpangan seperti yang telah dijelaskan diatas memang perlu dibawa untuk dikaji ulang untuk mendapatkan kembali keadilan untuk perempuan. Maka sebagai sesama makhluk Tuhan, sebagai sesama manusia, perempuan juga berhak mendapat porsi yang sama untuk dimanusiakan. Maka, sudah tidak ada alasan untuk menyingkirkan perempuan. Manusia adalah mereka yang menyayangi perempuan.