Kamis, April 25, 2024

22 Tahun Reformasi: Menuju Orde (Paling) Baru

Nandito Putra
Nandito Putra
Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Kampus, UIN Imam Bonjol Padang

Kini, 22 tahun keruntuhan rezim otoriter Orde Baru yang ditandai dengan dimulainya babak reformasi. Transisi demokrasi  yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang brekuasa selama 32 tahun, menandakan Indonesia memasuki sebuah fase politik baru, yaitu menurunnya otoritas negara atas masyarakat.

Hal itu didukung oleh beberapa indikasi yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur, di antaranya: menguatnya tuntutan masayarakat sipil yang memaksa pemenuhan dalam bentuk sejumlah akomodasi negara terhadap tuntutan masyarakat sipil, terutama dalam hal penguatan desentralisasi, dan juga dalam reformasi hukum dan pelanggaran hak asasi manusia; menguatnya peran politik lembaga legislatif hasil pemilihan umum; melemahnya peran politik militer dalam percaturan politik nasional; semakin bebasnya media massa dalam menyampaikan berita, gagasan dan ekspresi dalam melakukan kritik terhadap negara.

Berangkat dari tolak ukur di atas, jelas tak terbantahkan bahwa apa yang terjadi pada hari ini sangat tidak mencerminkan semangat reformasi dan segenap cita-cita yang menyelimutinya. Reformasi dan dibukanya keran demokrasi yang sebesar-besarnya ternyata tidak mampu membunuh tabiat-tabiat rezim otoriter Orde Baru. Tindak-tanduk negara hari ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh oligarki yang begitu kuat: tak terbantahkan!

Oligarki tak ada matinya, meskipun bangsa Indonesia megupayakan transisi poltik, nyatanya hal itu tidak banyak memberi perubahan. Rezim demi rezim telah berganti meninggalkan berbagai catatan, yang mana pada tiap lima tahun, catatan tersebut selalu diumbar sebagai materi kampanye: hanya sebatas materi, tanpa realisasi.

Demokrasi (Belum) Mati

Pada 12 Mei lalu, bapak-ibu anggota dewan yang agung, yang kata mereka keberadaan mereka di parlemen sebagai pengemban amanah rakayat, telah mengesahkan RUU Minerba dan tengah membahas sederet RUU kontroversial lainnya. Tindakan DPR tersebut sangat disayangkan, sebab pengesahan RUU ini dilakukan dengan sangat tergesa-gesa dan tidak melibatkan aspirasi rakyat. Pandemi yang makin mengkhawatirkan nyatanya tak mampu membendung nafsu politik Oligarki.

Ketergesaan dalam pengesahan RUU Minerba menandakan adanya kekuatan Oligarki yang menggerakan DPR dan pemerintah. Disahkannya RUU Minerba merupakan contoh nyata bahwa oligarki kekuasaan secara terang-terangan melihatkan pengaruhnya: dengan menunggangi rezim yang lahir dari rahim pemilihan umum yang (katanya) demokratis.

Jefferey A. Winters dalam Oligarki mengatakan, istilah Oligarki telah lama dikenal dalam studi politik. Istilah ini merentang dari jaman Yunani kuno hingga era kontemporer sekarang. Menurut Winters, oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula.

Meskipun dalam demokrasi, kedudukan dan akses terhadap proses politik dimaknai setara, akan tetapi kekayaan yang sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada golongan tersebut. Klaim ini didasarkan pada distribusi sumber daya material di antara anggota komunitas politik, demokrasi atau sistem lainnya, yang memiliki pengaruh besar pada kekuasaan.

Semakin tidak seimbang distribusi kekayaan material, makin besar kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam motif dan tujuan politiknya. Dengan demikian, ketidaksetaraan yang besar dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dan pengaruh politik. Klaim tersebut didasarkan pada hubungan yang erat antara uang dan kekuasaan yang menyejarah dalam sistem politik manusia.

Oligarki memusatkan perhatian pada kuasa kekayaan dan politik yang spesifik di sekitar kuasa tersebut. Berdasarkan fakat demikian, Winters memulai penjelasannya mengenai oligarki dari apa yang dimaksud dengan Oligark. Winter mendefinisikan Oligarki sebagai “Pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya alam yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.

Sebab disadari atau tidak, bila kita tidak hati-hati menanggapi apa yang terjadi hari in, penganut neo-liberalisme ekonomi bisa membelokakan demokrasi menjadi korporatokrasi, suatu istilah yang dipopulerkan oleh Perkins lewat Confessions. Dalam korporatokrasi, kedaulatan tidak lagi berada di tangan rakyat, tetapi di tangan perusahaan-perusahaan besar dan para investor yang menguasi perekonomian dalam suatu negara.

Suara rakyat hanya didambakan menjelang dan selama pemilihan umum saja. Setelah itu baik wakil rakyat di Parlemen, Pemerintah beserta jajaran birokrasi harus mendengar dan mengakomodasi kepentingan korporat. Dengan disahkannya RUU Minerba, tentu yang meraup laba adalah mereka para investor (elit politik) dan perusahaan-perusahaan di berbagai sektor. Adalah mereka para penganut neo-liberalisme dan korporat yang sangat diuuntungkan.

Pengkhianatan Reformasi

Reformasi telah mendorong terjadinya perubahan subtansial tatanan ketatanegaraan. Dilakukannya amandemen UUD 1945 juga telah memberikan perubahan dari sebelumnya. Penegakkan supermasi hukum, peningkatan demokratisasi di segala sektor dan upaya dalam menumpas korupsi, kolusi dan nepotisme pun tak luput dari agenda reformasi yang hari ini sudah memasuki usia ke 22 tahun. Usia yang cukup matang dalam memahami arti kehidupan.

Nyatanya hal itu tidak demikian. 22 tahun Reformasi, yang secara kebetulan berada di fase pemerintah Joko Widodo, pemerintah yang berasal dari wong cilik, merakyat dan (katanya) berbaur dengan penderitaan rakyat, ternyata sama sekali tak uabahnya seperti rezim Orde Baru.

Konsep kepemimpinan yang merakyat, tidak akan ada artinya jika kebijakan yang dilahirkan tidak berpihak kepada rakayat. Kita semua dapat menilainya. Seperti, telah matinya KPK melalui revisi UU KPK. Digodoknya RUU Cipta Kerja tanpa melibatkan partisipasi rakyat. Pembahasan RUU kontriversial di tengah pandemi, dan pengesahan RUU Minerba yang sangat menguntungkan pengusaha tambang (oligark).

22 tahun reformasi. Semoga rezim hari ini segera insaf dan rezim yang akan datang dapat belajar dari kesalahan yang diperbuat oleh rezim sebelumnya. Dan pada akhirnya, sampailah kita kepada perenungan yang berujung pada “Reformasi Tidak Selesai-selasai, dan penghkianatan terus saja terjadi”

Nandito Putra
Nandito Putra
Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Kampus, UIN Imam Bonjol Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.