Sabtu, April 20, 2024

Santrinisasi Kaum Abangan

Hilman Gufron
Hilman Gufron
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

Pertarungan laten berabad-abad dalam denyut nadi masyarakat Jawa antara kaum abangan, priayi dan santri yang dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam bukunya The Religion of Java mulai memunculkan satu pemenang, Kaum Santri.

Mereka yang saleh dan memegang teguh ajaran Islam menamakan diri kaum putihan atau santri. Mereka yang menjadikan adat dan budaya sebagai pegangan, serta tidak begitu taat kepada ajaran Islam disebut Abangan. Sedang golongan bangsawan yang mengabungkan pengetahuan eropa modern dengan kebudayaan leluhur disebut priayi.

Kebijakan politik etis pemerintah kolonial Belanda memberikan sebuah stimulus perkembangan sumber daya manusia baru melalui pendidikan. Keistimewaan pendidikan modern eropa yang awalnya hanya dimiliki oleh golongan bangsawan memunculkan polarisasi baru, kaum santri dan abangan.

Persaingan ini semakin terlihat pasca diraihnya kemerdekaan RI. Kedua golongan mencoba untuk tampil ke pentas politik. Masyumi mewakili Nahdlatul Ulama sebagai tradisionalis Islam dan Muhammadiyah sebagai Islam Moderenis. Sementara kaum abangan lebih memilih untuk berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Menurut MC Ricklefs dalam bukunya Islamization of Java and Its Opposition mengatakan, penentang terbesar kaum santri adalah PKI.

PKI yang memposisikan diri sebagai partai kaum abangan mempropagandakan setan-setan desa sejatinya memang mencoba untuk menyerang tokoh-tokoh agama, dalam hal ini kyai-kyai yang kebanyakan saat itu sekaligus menjadi tuan tanah desa. Kaum santri sendiri mencoba melawan dengan selalu menonjolkan aspek ateisme dari paham komunisme.

Sejarah mencatat, pada era orde lama, dibubarkannya Masyumi oleh Bung Karno pada saat itu menunjukan kekalahan besar kaum santri. Sekalipun mencetuskan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), Kebencian Soekarno pada Neo Kolonialisme dan Imperialisme Barat menjadikannya lebih dekat pada oposisi Barat, Paham Komunisme. Hal tersebut ditandai dengan kemenangan Besar PKI pada pemilu era 1957-1958.

Kembalinya kaum santri ke pentas politik dan berhasil menjadi dominasi utama dalam mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini disebabkan oleh dua peristiwa. Gerakan 30 September 1965 dan Runtuhnya Orde Baru.

Pasca G 30 S 1965

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah peta persaingan kaum abangan dan kaum santri. Hancurnya PKI dan paham Komunisme nya memberikan nafas segar bagi kaum santri yang selama ini menganggap partai tersebut sebagai penghalang utama terhadap gagasan-gagasan islam bagi bangsa.

Bersekutu dengan Soeharto dan rezimnya, kaum santri dimobilisasi dan dipropaganda sampai akar rumput untuk membersihkan simpatisan-simpatisan PKI. Peristiwa ini adalah ledakan dari bom waktu yang selama ini terpendam dari persaingan kaum santri dan abangan. Jumlah korban jiwa yang berjatuhan dapat mengkategorikan peristiwa ini sebagai bencana nasional.

Sayang, Soeharto yang medapat tampuk kepemimpinan justru juga menganggap kaum santri ini sebagai ancaman. Tidak berapa lama setelah ancaman dari PKI hilang, kaum santri mendapatkan musuh baru, Rezim Orde Baru.

Meskipun mendapatkan tekanan dalam politik, kaum santri berhasil memajukan gagasan keislaman pada bidang-bidang lain. Bidang organisasi yang mulai dibenahi secara struktural dan kultural. Bidang Pendidikan juga menjadi perhatian dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan Islam. Islam yang hilang dari dunia politik membangun kembali pondasi yang kuat di akar rumput.

Buah Reformasi

Kesabaran kaum santri pada era orde baru ini mulai menunjukan hasilnya pasca kejatuhan Soeharto. Reformasi besar-besaran dan dimulainya era keterbukaan memberikan keleluasaan kepada golongan santri yang sudah menancapkan paham nya di dalam kultur masyarakat untuk berekspansi.

Gerakan Islam Transnasional dan mulai tren nya gagasan-gagasan Islam melalui dakwah para ustaz memunculkan partai politik islam baru sebagai dorongan animo masyarakat yang haus akan ide-ide keislaman.

PKS, PAN, dan PKB, adalah manifestasi dari animo kaum santri ini. Sekalipun hanya PKS yang secara tegas menamakan diri partai Islam, baik PAN maupun PKB sendiri menyasar pemilih yang juga merupakan kaum santri.

Lalu bagaimana nasib kaum abangan?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat ini dapat disebut sebagai penerus utama dari Partau Nasional Indonesia (PNI). PNI sejak awal memang menjadi media aspirasi kaum abangan disamping PKI.

Jawa tengah misalnya, provinsi dimana masih dapat banyak ditemukannya kaum abangan didominasi oleh PDIP yang notabene adalah partai sekuler. Kaum abangan ini bertransformasi dari golongan yang menjadikan adat dan warisan leluhur sebagai pegangan utama menjadi golongan nasionalis. Apapun yang bukan merupakan kepentingan nasional adalah urusan no dua.

Transformasi ini juga yang membuat Guru Besar UI Prof Dr Harya Bachtiar berpendapat bahwa trikotomi muslim jawa dari Geerzt sudah tidak relevan lagi. Kita sudah tidak bisa lagi menentukan apakah seseorang itu kaum santri atau kaum abangan.

Sebenarnya yang membuat trikotomi Geerzt tidak berlaku lagi saat ini adalah kemenangan kaum santri. Santrinisasi ini terjadi baik kepada kaum abangan maupun kaum priyai. Kaum abangan mulai memperlihatkan kecenderungan akan pentingnya agama dalam kehidupan sehari-hari.

Santrinisasi yang mewabah di setiap lini kehidupan di Indonesia, sedikit banyak nya juga mengubah peta politik dan preferensi masyarakat. Pemilihan Presiden kemarin bisa menjadi gambarannya.

Jokowi yang merupakan kader PDIP memilih Ma’ruf Amin yang merupakan Tokoh dan Pentolan kaum santri. Bukan tanpa alasan. Nahdlatul Ulama, organisasi asal Ma’ruf Amin memiliki masa yang besar dapat menangkal propaganda PKI yang selama masa periode pertama menyulitkan Jokowi. Preferensi selera kaum santri menjadi pertimbangan utama.

Begitu juga Prabowo. Didapuk sebagai lawan Jokowi, ia menjadi aspirasi golongan santri juga yang kecewa dengan pemerintahan Jokowi. Bahkan Sandiaga Uno yang tidak memiliki latar belakang pendidikan pesantren sama sekali, diberi gelar Santri Post Modern oleh PKS. Seakan semua orang berebut gelar santri demi suara pemilih muslim.

PDIP boleh jadi ditasbihkan sebagai juara umum Pemilu 2019. Namun hal tersebut tidak dapat menutupi proses santrinisasi yang terjadi di Indonesia, khususnya Jawa. MC Ricklefs pernah mengatakan, pada tahun 1967, di pedesaan Jawa paling tinggi hanya 15% orang menjalankan shalat. Kaum santri hanya belasan persen di tengah-tengah lautan abangan.

Pergerakan kaum santri yang pada awalnya bergerilya di elit politik mulai masuk ke akar rumput masyarakat. Masuk ke dalam budaya dan adat istiadat tanpa disadari secara langsung. Saat ini, menjadi Nasionalis saja tidak cukup, seorang tokoh dan pejabat selalu memunculkan sisi religius dari dirinya kepada masyarakat.

Pergerakan kaum santri yang pada awalnya bergerilya di elit politik mulai masuk ke akar rumput masyarakat. Masuk ke dalam budaya dan adat istiadat tanpa disadari secara langsung. Saat ini, menjadi Nasionalis saja tidak cukup, seorang tokoh dan pejabat selalu memunculkan sisi religius dari dirinya kepada masyarakat.

Hilman Gufron
Hilman Gufron
Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.