Saya kurang tahu tepatnya, tapi entah sejak kapan pulau Lombok menjadi terkenal. Dulu, saya harus menjelaskan panjang lebar bahwa Pulau Lombok bukan Pulau cabai, dan bahwa Pulau Lombok bukan Bali, dan bahwa Pulau Lombok ada di Indonesia tengah, bukan Indonesia timur. Sekarang, hampir semua kawan saya tahu Pulau Lombok ada di mana. Mereka ingin berlibur ke sana.
Mereka mudah membayangkan keindahan pantai dan gunung di Pulau Lombok. Tapi, beberapa tahun belakangan ini, saya justru lebih mudah membayangkan kehancurannya.
Pada 30 September 2019, saat mahasiswa, buruh, dan petani “turun jalan” di beberapa kota demi memprotes sejumlah undang-undang bermasalah, salah satunya yang akan merampas kedaulatan agraria, sebuah media lokal di Lombok menerbitkan artikel berita berjudul “Pusat Beri Lampu Hijau Pembangunan Kereta Gantung di Rinjani”. Izinnya sedang dalam proses. Beberapa investor telah tertarik. Saya merasakan aura keturutgembiraan dari artikel itu.
Saya terenyuh. Artikel itu dengan jujur melaporkan lokasi penanaman pancang di kawasan hutan lindung, tetapi, “oleh karena itu, pemerintah melakukan pemetaan lokasi secara tidak sembarangan.” Inilah tujuannya: ide tentang menuju Danau Segara Anak tanpa mendaki akan menggenjot jumlah wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam Rinjani. Tentu ada tujuan lain meski sekunder: untuk memudahkan evakuasi bila ada kecelakaan pendakian.
Di hari yang sama, media itu juga menerbitkan artikel berita tentang pemagaran lahan lokasi pembangunan sirkuit MotoGP di Lombok Tengah. Warga, yang melakukan pemagaran, menuntut ITDC (Indonesian Tourism Development Corporation) menyelesaikan pembayaran lahan yang tidak kunjung dibayar. Dalam artikel itu, warga menyatakan sangat mendukung pembangunan sirkuit, sepanjang hak-hak warga dipenuhi. Sebuah framing yang apik.
Kekurangan media massa adalah, seringkali, mereka hanya melaporkan kejadian, bukan membongkar masalah. Ada anggapan bahwa penyelidikan serius cukuplah merupakan wewenang dari riset ilmiah. Tapi, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Kita mengenal media-media dengan reputasi nasional yang punya naluri dan nyali untuk melihat akar masalah dan mengerahkan kerja-kerja jurnalistiknya untuk membongkar itu. Meski tentu, sedikit.
Bagi saya, pembangunan adalah jalan celaka bila berkiblat pada pertumbuhan ekonomi kapitalistik (capitalism-type of growth). Pembangunan kapitalistik lebih banyak diejawantahkan sebagai pembangunan fisik yang menumbalkan lingkungan dan manusia. Pembangunan kapitalistik menghamba pada kepentingan modal dan pasar, bukan pada rakyat. Keuntungan terbesar hanya pada elit (politik, ekonomi, adat). Pemerataan adalah khayalan.
Manusia dan alam tidak masuk hitungan bila tidak bernilai sebagai aset penghasil laba―artinya, sekalipun bernilai, hanya subordinasi. Dalam mode produksi industrial, kegiatan merusak ekosistem (alih fungsi lahan, ecoside) bisa dibenarkan sepanjang mendukung pertumbuhan. Kebutuhan manusia untuk berkebudayaan atau melestarikan pangan mandiri, boleh diabaikan. Bila mendapatkan perlawanan, martabat kemanusiaan boleh dikesampingkan.
Saya kira, untuk menyikapi rencana proyek pembangunan kereta gantung di Rinjani, atau pembangunan berkiblat pertumbuhan ekonomi kapitalistik apapun yang mengantri di Lombok karena hasrat pemerintah akan pariwisata, kita perlu memikirkan tiga hal berikut.
Pertama, sikap pemerintah yang terus menerus mengandalkan pembangunan fisik-sensasional, meratuadilkan investasi dan kini merestui industrialisasi, sesungguhnya menunjukkan bahwa pariwisata dijadikan panglima tanpa ideologi yang matang. Ketiadaan ideologi akan menyederhanakan makna “keindahan dan cara menikmatinya” menjadi serba-ekonomis, tidak membangun integritas budaya, kemerataan ekonomi, dan kedaulatan ekologi.
Ketiadaan ideologi juga menciptakan argumen simplifikasi bahwa pariwisata harus berbasis pada fasilitas fisik dan pariwisata hanya tentang menghasilkan keuntungan ekonomi. Pengembangan ekologi dan budaya bersifat karikatif. Tidak ada filsafat yang ditawarkan. Hanya fisik yang mencerna pariwisata, bukan jiwa. Karena ideologi kering, imajinasi pariwisata juga kering. Solusi: membangun sebanyak-banyaknya, undang investasi selebar-lebarnya.
Kedua, kita harus menginsyafi bahwa proyek pembangunan tidak sesederhana tampaknya. Ada uang besar yang menggiurkan. Ada lobi-lobi rahasia di antara kuasa politik dan kuasa modal. Sejak awal, hanya elit yang akan untung besar. Keinsyafan ini memaksa kita merombak argumen basi bahwa “Rakyat kecil akan ikut menikmati hasil pembangunan”, sebab jurang perbedaan kenikmatan antara elit dan jelata terlalu dalam dan berbeda.
Jantung persoalan pariwisata bukan pada apakah negara mampu atau tidak mendesak korporasi untuk membayar lahan warga, namun apakah negara mampu menjaga warga tidak kehilangan tanahnya, demi kebaikan ratusan tahun ke depan. Pariwisata apa yang membiarkan warganya kehilangan kedaulatan di atas tanahnya sendiri, melangsungkan kebudayaan di atas tanah yang dulu dikuasai moyang mereka dan kini sudah tidak lagi?
Ketiga, pembangunanisme (yang telah lama dikritik banyak intelektual terkemuka Indonesia) adalah jalan menuju kehancuran lingkungan secara sistemik. Membiarkan hubungan manusia dan alam direduksi menjadi relasi ekonomis dan menghancurkan sistem air, sistem pangan dan sistem iklim merupakan kebodohan yang nyata. Pembangunanisme mengganti yang sakral-sederhana dengan yang profan-boros, mengganti kecukupan dengan hasrat tanpa ujung.
Fred Magdoff berpendapat bahwa persoalan lingkungan tidak bisa diselamatkan hanya dengan pendekatan parsial (regulasi ekonomi, efisiensi energi, teknologi ramah lingkungan, dll). Jalan satu-satunya adalah keluar dari logika pertumbuhan kapitalistik dan memulai mode produksi dan konsumsi pro lingkungan sepenuhnya―yang bukan skala besar dan tersentralisasi. Ekologi menjadi panglima, termasuk dalam perbincangan pariwisata.
Utopis? Modernitas yang melahirkan industrialisme-antroposentris sudah berlangsung empat ratus tahun. Ekosentrisme baru menggeliat setengah abad terakhir. Untuk melawan logika serba-duit, tentu butuh perjuangan panjang. Yang pasti, tetap lebih mudah membayangkan kehancuran Pulau Lombok bila “ambisi pariwisata seperti biasa” itu diteruskan dan tiada kemampuan menahan diri. Pulau Lombok akan disesaki pembangunan. Adat tinggal bungkus.
Membayangkan saja sudah sesak. Apalagi mengalami. Sayang, pengalaman melihat hasil pembangunanisme (yang tak kenal batas) membuat saya agak trauma dengan rasa optimis.