Malik Al-asytar, siapa yang tidak mendengar namanya. Sahabat karib yang kerap menyertai Ali bin Abi Tholib dalam peperangan ini, dikenal dengan keberanian, ketegasan dan ketangkasannya di medan laga. Di suatu ketika, ia berjalan di sebuah lorong, tempat mangkal para preman kampung.
Seperti diduga, para preman kampung yang masih berusia muda itu menunjukkan taringnya. Mereka menyetop Malik Al-asytar, berkata kasar dan menghinanya. Tampaknya, para preman kampung itu tidak mengenal siapa Malik Al-asytar. Malik tak bergeming, sedikitpun tak membalas. Ia melanjutkan perjalanannya dengan hati damai.
Di seberang jalan, seorang tua terkaget melihat perlakuan preman kampung kepada Malik Al-Asytar yang juga gubernur baru di daerah tersebut. “Apakah kalian tidak mengenal siapa yang kalian kerjain”, tanya orang tua itu. “tidak, siapa gerangan dirinya”? Kata para preman. Pria tua itu memegang kepalanya dengan kedua tangan, sembari berkata, “celakalah kalian. Dia adalah gubernur baru daerah ini, Dia lah Malik Al-Asytar jenderal perang Ali bin Abi Tholib.
Sontak, para preman itu tersentak mendengarnya. Rasa takut mulai menjalari jiwa mereka, keringat dingin pun perlahan menetes. Mereka bergerak bergegas, menyusul Malik Al-asytar. Akhirnya, mereka menemukannya dalam mesjid, sholat dua rakaat, lalu menengadahkan kedua tangan, berdoa kepada Tuhan.
Dengan tergopoh-gopoh, kaki bergetar dan suara terbata, para preman kampung itu memohon maaf kepada Malik Al-asytar. Apa jawab Malik? Sang jenderal menjawab sambil tersenyum, “ketahuilah, tidaklah aku singgah di mesjid ini kecuali untuk memohon kepada Tuhan agar kalian beroleh ampunan. Kalian adalah orang-orang yang tidak mengetahui”.
Begitulah etika, buah dari kedalaman ilmu. Kita memaafkan orang yang karena kebodohannya, melakukan kesalahan. Tak peduli, mereka meminta maaf atau tidak. Memaafkan adalah ajaran para Nabi, yang saat ini diwujudkan oleh umat Kristen dalam polemik “jin kafir dalam salib”. Mereka memaklumi kebodohan Somad ihwal makna salib. Karena itu, Somad dimaafkan walaupun ia enggan meminta maaf.
Demi kedamaian NKRI, umat Kristen menahan diri. Mereka mewujudkan sifat pengasih Yesus dalam diri mereka. Mirisnya, kita yang mengaku umat Nabiyurrohmah, sedikitpun tak ada sifat rahmat wa rahim dalam diri kita.
Kita mengaku beragama rahmat bagi semesta, nyatanya rahmat kita hanya berlaku bagi yang seiman saja. Buktinya, bukan hanya tidak meminta maaf, kita bahkan menurunkan massa rakyat ke jalan dengan semboyan “aksi bela ulama”. Somad pun, sebagai empunya statement, tak menjelaskan argumentasinya ihwal keberadaan jin kafir dalam salib Yesus.
Sebagai penganut Islam, tentu saya meyakini bahwa Islam adalah penyempurna agama-agama sebelumnya. Keyakinan ini, sepenuhnya saya yakini kebenarannya. Akan tetapi, untuk membuktikan kebenaran keyakinan, mesti dengan argumentasi dan akhlak, bukan dengan demonstrasi dan teriak.
Aksi bela ulama, bukan bukti benarnya ulama yang dibela. Jika ingin membela ulama, belalah dengan terlebih dahulu mengevaluasi ilmu dan akhlak para ulama yang akan dibela.
Pun juga, saya meyakini kesempurnaan Islam. Namun berislam, bukan tanda kesempurnaan diri. Yakni, kesempurnaan Islam tidak sama dengan kesempurnaan Muslim. Ibarat emas yang memiliki nilai, tapi tidak bagi pemilik emas.
Pemilik emas mesti memberikan nilai pada dirinya, dengan memanfaatkan emas di atas jalan kesempurnaan. Begitulah, penganut Islam yang disebut dengan Muslim, mesti menyempurnakan diri dengan cara mewujudkan nilai-nilai Islam dalam diri mereka. Tanpa itu, Muslim tak akan bernilai, betapapun ia berislam. Dia ibarat seekar kera bermahkota emas.
Diantara nilai Islam adalah meminta dan memberi maaf, demi semesta yang damai dalam keberagamaan. Sekiranya cinta dan kedamaian telah menjadi bagian dari wujud diri, niscaya kita akan meminta maaf, walaupun kita tidak merasa bersalah. Pun juga, kita akan memberi maaf, walaupun mereka yang kita anggap bersalah, enggan meminta maaf.
Umat kristen telah menjadi Malik Al-asytar, yang memaafkan tanpa tunggu dimintai maaf. Tapi sayang, kita yang Muslim, tak juga menjadi pemuda yang berani meminta maaf, demi sebuah kedamaian. Karena kesombongan mayoritas, kita bertingkah ala preman, turun ke jalan dan teriak-teriak, sembari membawa panji rahmat semesta.