Saat ini jagat media sosial kita diriwehkan dengan penolakan terhadap film The Santri karya Livi Zheng (Livi) yang baru rilis film trailernya beberapa waktu lalu. Film Livi sebelumnya Bali: Beats Of Paradise juga sempat dihujat dengan berbagai kritik, tetapi tidak semasif film The Santri tersebut.
Bahkan, sampai opini ini ditulis, berbagai perang tagar semakin banyak bermunculan untuk mereduksi dan mengikis para peminat film The Santri yang akan dirilis pada 19 September 2019.
Para pemain inti film The Santri adalah Emil Dardak, Muhammad Ulul Azmi, Veve Zulfikar, Wirda Mansur yang menjadi ikon kesantrian kalangan Nahdliyyin dan ikon pemuda Islam milenial. Terlepas pendapat pro dan kontra ketika film The Santri rilis, jauh sebelum itu Livi sudah menjadi isu kontroversi media sosial yang mempertanyakan prestasinya dalam bidang persutradaraan film di Hollywood.
Sejatinya, melihat film The Santri ini harus dipandang dari pendekatan apa dan bagaimana untuk menilainya? Sebab hal ini juga berpengaruh pada hasil pendapat dan kritik yang dihasilkan. Jika kita melihat trailer film ini dengan pendekatan retorik dan tekstual, maka hasilnya akan mudah menghujat dan cenderung melarang film ini. Tetapi jika kita melihat dari sudut pandang yang kontekstual, maka akan dihasilkan pendapat yang baik dan penuh apresiatif terhadap karya anak bangsa.
Film The Santri sebenarnya masih merilis trailer film yang saat ini menyebar ke media sosial, tetapi kemudian hujatan dan kritik terlalu terburu-buru dimunculkan oleh para netizen. Fatwa-fatwa berbau agama juga semakin massif muncul dari Ustad Virtual sebagai legitimasi penolakan terhadap film tersebut.
Film The Santri dianggap melanggar syariah dan sama sekali tidak mencerminkan khas santri yang sejati. Konsep pesantren dan santri yang dimunculkan dalam trailer film bagi mereka (yang menolak) merupakan realitas yang keliru, mereka mengkritik adanya adegan santri yang berpacaran dan berkumpulnya santri putra dan putri dalam satu majelis ilmu bagi mereka sama sekali tidak menampilkan wajah pesantren yang sesungguhnya.
Sepertinya, kalangan yang mengritik itu tidak banyak tahu dengan beberapa model pesantren dan bahkan perkembangan pola dan model pesantren itu sendiri. Sedangkan, menurut Zamakhsyari Dhofier (2011) model pesantren yang khas di Indonesia ada yang bercorak tradisional, semi-Modern dan Modern.
Di antara tiga model pesantren tersebut terdapat pola yang berbeda-beda. Terdapat pesantren yang memang benar-benar memisahkan santri putra dan putri dalam studinya serta ada pula yang menggabungkan antara santri putra dan santri putri dalam satu atap majelis ilmu, yang biasanya hal tersebut dilatarbelakangi oleh kurangnya pembangunan insfratruktur pesantren.
Kemudian berbicara tentang pacaran dalam trailer film yang banyak menjadi hujatan netizen, bahwa kalau boleh jujur realitas hubungan romantisme dua jenis di pesantren sejatinya bukan hanya dilakukan antara laki-laki dengan perempuan, tetapi juga antara sesama jenis baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini sudah terjadi sejak lama di pesantren dan bahkan menjadi realitas yang meng-ada sepanjang waktu, terkhusus pesantren yang memisahkan laki-laki dan perempuan dalam satu madrasah atau sekolah.
Bahkan terdapat sebutan yang khas bagi tiap wilayah pesantren serta memiliki perbedaan dalam menjuluki fenomena ini. Penulis sekitar 4 tahun yang lalu juga nyantri di Jember, Jawa timur. Ketika penulis dulu sekolah baik formal dan non-formal (madrasah) terdapat kelas yang bercampur dengan santri putri, hal ini sudah menjadi fenomena biasa. Dalam prakteknya, kami tidak ada yang melakukan perbuatan yang bagi mereka melanggar syariah dan terbukti aman-aman saja sebagai bagian dari realitas modern.
Melihat kontroversi film yang akan segera tayang ini, seharusnya kita lebih bijak dan apresiatif dalam menilai, jangan sampai gegabah dalam menilai suatu karya film tanpa tahu semua isi karyanya secara komprehensif.
Apalagi kita sebagai warga media sosial seringkali langsung mengikuti pendapat suatu ustad Virtual, yang secara retorik langsung menjawab pertanyaan jamaahnya sebagai pemuas belaka, tanpa secara logis dan kontekstual dalam memandang sebuah karya. Sehingga seringkali jawaban saat ini akan berubah, ketika nanti secara langsung melihat karya tersebut.
Kita lupa bahwa dalam Islam sendiri terdapat banyak cerita romantisme, dan kisah-kisah yang penuh dengan kekuatan imajinasi yang tinggi. Seharusnya sebagai sesama anak bangsa kita mengapresiasi karya tersebut, terlepas pro dan kontra yang menjadi bagian dari realitas keseharian. Sehingga kita tidak menjadi bangsa yang hanya suka mengomentari, tetapi menjadi bangsa yang memilik karya dan prestasi.