Setelah cuitannya tentang ambulans Pemprov DKI membawa batu untuk perusuh terbukti tidak betul, Denny Siregar meminta maaf kepada Pemprov DKI. Meskipun meminta maaf, ia tidak mengakui bahwa cuitannya itu hoaks. Dia menyebutnya sebagai salah paham.
“Lha kok hoaks?? Saya bilang. Kalau begitu semua media beritanya hoaks dong ?? Bedakan antara polisi bilang salah paham dengan hoaks. Hoaks itu berita bohong. Sedangkan salah paham itu, kejadiannya betul, tapi ternyata ada salah penafsiran,” kata Denny pada status Facebook-nya, 26 September 2019.
Di dalam status itu Denny mengatakan bahwa pihak yang wajib minta maaf ialah polisi, bukan media massa dan media sosial. Alasannya, “Kita kan memberitakan apa adanya, sesuai laporan di lapangan.”
Kita di sini bisa dimaknai sebagai upaya Denny untuk membuat cuitannya setaraf dengan produk jurnalistik media massa yang memberitakan masalah itu berdasarkan keterangan polisi.
Dengan begitu, dia memposisikan dirinya sebagai ‘korban’ akumulasi kesalahpahaman polisi sebagaimana media massa lainnya. Logikanya begini, kalau polisi salah paham, maka sebagaimana media massa lainnya, dia juga ikut salah paham karena mendasarkan cuitannya pada kesalahpahaman polisi.
Sementara itu, Denny membuat cuitan tidak berdasarkan keterangan polisi atau berita di media massa, tetapi berdasarkan sebuah video. Di video itu tidak ada bukti bahwa sejumlah ambulans tersebut membawa batu. Pada akhirnya memang terbukti bahwa ambulans-ambulans itu tidak membawa batu. Polisi pun sudah menyampaikan klarifikasi dan meminta maaf.
Apabila dicermati, pernyataan-pernyataan Denny itu kontradiktif. Ia mengatakan bahwa pihak yang salah paham ialah polisi. Itu betul. Kesalahpahaman itu, yang kemudian dijadikan keterangan oleh polisi saat memberikan informasi kepada media massa, tergolong hoaks.
Polisi sudah menyebar hoaks—jika kita sepakati bahwa arti hoaks ialah ‘berita bohong’—yang berasal dari kesalahpahaman. Jadi, ada hoaks yang diniatkan dan ada hoaks yang tidak diniatkan, seperti hoaks yang muncul dari kesalahpahaman atau salah tafsir ini. Dengan kata lain, hoaks adalah hasil dari perbuatan menginformasikan kabar yang tidak betul, baik itu disengaja atau tidak.
Hoaks yang diniatkan lebih tinggi kadar “dosanya” daripada hoaks yang tidak diniatkan, seperti hoaks yang muncul dari kesalahpahaman. Hoaks yang diniatkan inilah yang disebut dusta dan fitnah. Apabila hoaks tidak diniatkan, pembuat dan penyebarnya disebut telah melakukan tindakan bodoh atau teledor.
Untuk sementara ini kita anggap saja bahwa polisi memang salah paham telah menuduh sejumlah ambulans itu mengangkut batu untuk demonstran. Namun, kita tidak tahu apakah polisi benar-benar tidak tahu dari awal bahwa ambulans-ambulans itu tidak membawa batu. Jika polisi tahu bahwa ambulans itu tidak membawa batu, tetapi menyebarkan isu yang sudah jelas tidak betul, itu tidak bisa disebut kesalahpahaman, tetapi berniat menyebarkan hoaks. Semoga saja tidak begitu.
Bagaimana dengan Denny? Apakah dia salah paham juga?
Seperti telah disinggung, cuitan Denny bukanlah akumulasi kesalahpahaman polisi atau media massa. Ia membuat cuitan tidak berdasarkan keterangan polisi atau media massa, sebab itu pernyataannya kontradiktif. Di satu sisi dia menganggap cuitannya sebagai akumulasi kesalahpahaman polisi, di sisi lain dia justru tidak mendasarkan informasinya dari polisi.
Jika benar bahwa Denny hanya menyebarkan informasi yang diterimanya dari lapangan dia tetap tidak bisa berkelit, dia jelas menyebarkan hoaks. Bukti kuat ia menyebarkan hoaks ialah cuitannya ini, “Hasil pantauan malam ini.. Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta.” (Twitter, 26 September). Cuitan ini lebih dulu muncul daripada cuitan polisi pada akun @TMCPoldametro tentang hal yang sama.
Kata pembawa dalam cuitan Denny itulah yang mengandung hoaks. Pembawa merupakan ‘pelaku yang membawa’. Dalam aktivitas membawa tersimpan niat karena ada perpindahan tempat sesuatu yang dibawa.
Berikut makna membawa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V: (1) memegang atau mengangkut sesuatu sambil berjalan atau bergerak dari suatu tempat ke tempat lain; (2) mengangkut; memuat; memindahkan; mengirimkan. Faktanya, sejumlah ambulans tersebut tidak pernah membawa batu.
Polisi telah menjelaskan dalam banyak berita, salah satunya berita “Diklarifikasi, Polisi Sebut Batu dan Bensin di Ambulans Adalah Milik Demonstran yang Berlindung” (Kompas.com, 26 September 2019), bahwa ambulans maupun petugas dalam ambulans itu tidak membawa dan menyimpan batu dalam ambulans.Yang terjadi ialah bahwa demonstran memanfaatkan ambulans itu sebagai tempat perlindungan.
Jadi, demonstranlah yang membawa batu ke dalam ambulans. Sementara itu, Denny dalam cuitannya menuduh ambulans membawa batu. Inilah bukti kuat Denny menyebarkan hoaks. Namun, ia tidak mengakuinya dan hanya menganggap itu kesalahpahaman.
Pada tangal 27 September 2019, di akun Facebook-nya, Denny kembali berusaha cuci tangan. “Kata mereka gada batu di ambulans. Masak gede-gede gini gak keliatan […] Jadi bukan hoaks ya…” Tulisnya.
Di sini, Denny menganggap cuitannya bukan hoaks karena fakta terdapatnya batu di ambulans. Sementara, letak hoaks pada cuitannya bukan terdapat pada ada atau tidaknya batu di dalam ambulans, tapi pada kata pembawa dalam cuitannya. Batu itu sudah jelas dibawa oleh demonstran dari luar ambulans ke dalam ambulans, bukan dibawa oleh ambulans dari satu tempat tertentu menuju tempat demonstrasi.
Penyebar hoaks, sebagaimana pembuatnya, juga bersalah. Oleh karena itu, sudah seharusnya dia dihukum. Selama ini ada sejumlah orang yang ditangkap dan dijerat dengan Undang-Undang ITE karena menyebarkan hoaks yang tidak mereka buat sendiri. Analoginya begini: kita tidak bisa membenarkan perbuatan orang yang menyebarkan hoaks hanya karena orang itu tidak memproduksi hoaks tersebut.
Intinya, hoaks itu tersebar melalui tangan si penyebar dan menimbulkan kerugian bagi pihak yang tertuduh dan menimbulkan kegaduhan. Ratna Sarumpaet bahkan ditangkap karena kasus hoaks, padahal dia tidak pernah menyebarkan hoaks itu di media sosial atau memberikan keterangan di media massa.
Kabar yang disebut oleh Denny sebagai informasi di lapangan itu ialah desas-desus. Desas-desus bisa menjadi hoaks atau fakta apabila sudah dibuktikan kebenarannya. Jadi, desas-desus seharusnya tidak disebarkan kepada publik karena itu merupakan informasi mentah.
Desas-desus tentang ambulans yang mengangkut batu untuk perusuh itu sudah terbukti sebagai hoaks. Denny Siregar kemudian cuci tangan dengan membela diri bahwa cuitannya itu ialah salah paham, bukan hoaks. Padahal, yang salah paham adalah polisi, sementara cuitan Denny bukan merupakan akumulasi kesalahpahaman dari polisi atau berita di media massa.
Polisi kini menyelidiki pelaku dan motif penyebaran video tersebut. Denny Siregar sudah jelas menyebar video ambulans pembawa batu untuk demonstran, bahkan menyebarkannya mendahului polisi. Dengan semua fakta yang ada, jika Denny tidak kunjung diproses, kita tentu bertanya-tanya: mengapa polisi terkesan membiarkan begitu saja penyebar hoaks seperti Denny.