Kunci penting pembangunan sebuah negara terletak pada Sumber Daya Manusia (SDM)-nya. Bila SDM unggul niscaya negara tersebut akan semakin maju. Mewujudkan SDM unggul inilah yang kemudian menjadi salah satu program pembangunan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin lima tahun mendatang.
Presiden Jokowi sangat yakin hanya dengan SDM yang hebat dan didukung oleh persatuan bangsa, maka Indonesia bisa menjadi negara yang hebat, negara terkuat di dunia. Keyakinan beliau ini memang sangat masuk akal dan secara empiris telah terjadi di negara-negara maju yang umumnya didukung SDM yang berkualitas.
Lalu, bagaimana meningkatkan kualitas SDM kita? Pertanyaan ini sudah dijawab sendiri oleh Presiden Jokowi, yaitu dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. Rupanya beliu telah menyadari bahwa kualitas pendidikan kita memang belum memuaskan serta perlu percepatan untuk meningkatkannya.
Tanpa pendidikan yang berkualitas, SDM kita rendah. Berdasar laporan United Nations Development Programme (UNDP) dalam “Human Development Report 2018”, yang memakai Human Development Index (HDI) yang terdiri dari unsur pendidikan, ekonomi, kesehatan dan kependudukan sebagai indikatornya.
Di situ dinyatakan Indonesia hanya berada pada peringkat ke-116 dari 189 negara. Artinya, dibanding dengan negara-negara lain, kualitas SDM kita relatif rendah. Pantas saja kita tak mampu mengolah sumber daya alam sendiri. Dan kita hanya jadi penonton kekayaan alam dieksploitasi bangsa lain.
Maka jelas sekali pendidikan berkualitas yang dibutuhkan bangsa ini. Yang akan mengubah anak-anak generasi milenial jadi terampil, mandiri, inovatif, kreatif, produktif, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab. Sehingga mampu melahirkan generasi yang mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat.
Apakah sulit menyelenggarakan pendidikan berkualitas? Tentu saja sulit. Hingga kini kita belum memiliki pemerintah yang mampu membangun sistem pendidikan yang bermutu. Fasilitas pendidikan tidak sama antara kota dan desa. Di pelosok, fasilitas pendidikan jauh dari layak. Itulah sebabnya kita menuntut pemerintah melaksanakan amanat konstitusi.
Pemerintah belum mampu mengatasi masalah klasik pendidikan. Di pelosok Indonesia, akses pendidikan masih sulit dijangkau oleh masyarakat. Belum lagi sarana prasarananya masih minim. Anak-anak sekolah harus rela belajar dengan gedung yang atapnya roboh. Bahkan ada yang tak punya gedung karena kena gusur.
Pemerintah sendiri kerap mengeluarkan kebijakan yang tak direncakan dengan baik. Kurikulum berganti ketika kurikulum sebelumnya belum sepenuhnya dilaksanakan. Lalu saban tahun terjadi kekisruhan sistem zonasi penerimaan siswa baru. Padahal, tujuannya pemerataan kualitas pendidikan.
Kemudian kompetensi guru kita juga belum bagus. Meski sudah ada kebijakan sertifikasi guru, namun belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita. Padahal, dana yang dikeluarkan cukup besar.
Tentu kita tak mau mutu pendidikan di negara ini terus buruk. Ini jadi PR Mendikbud yang baru, Nadiem Makarim. Anggaran pendidikan sebanyak 20% dari APBN harus dioptimalkan buat mewujudkan pendidikan berkualitas. Jangan sampai anggaran besar tetapi tanpa rancangan penggunaan anggaran yang tepat, sehingga seperti gelembung sabun, yang menguap tanpa bekas.
Langkah yang paling tepat adalah membuat cetak biru pendidikan Indonesia. Cetak biru dibuat lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Kemudian masing-masing pihak membuat komitmen untuk melaksanakan program sesuai dengan cetak biru. Setelah itu perlu dibentuk atau ditunjuk lembaga yang mengawasi dan memastikan program-program tersebut berjalan.
Kemudian perlu berbagai terobosan untuk membuka selebar-lebarnya akses pendidikan yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat. Pemerataan fasilitas pendidikan dipastikan sampai ke daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Sekolah-sekolah yang di pelosok harus dipasok sarana belajar yang memadai.
Pemerintah daerah harus mempermudah penyaluran bantuan pendidikan. Jangan sampai ada oknum-oknum yang mencari celah untuk korupsi. Perlu adanya sistem online dalam penyelenggaraan bantuan pendidikan. Sehingga bisa diawasi prosesnya. Selain itu juga tetap diperlukan peran pengawasan dari wakil rakyat maupun masyarakat. Agar bantuan tersalurkan tepat sasaran.
Lalu pemanfaatan iptek di dunia pendidikan kita tak pelak lagi menjadi sebuah keniscayaan, mengingat era Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0), big data, internet of thing, bioteknologi, digitalisasi dan seterusnya telah merambah ke segala aspek kehidupan manusia. Jadi, sekolah seyogianya melakukan adopsi teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan proses belajar mengajar. Ini dilakukan dengan pengadaan peralatan belajar mengajar, seperti misalnya iPAD, e-text book, aplikasi software, koneksi internet, dan LED TV. Semua perlatan tersebut digunakan untuk menunjang proses pembelajaran di kelas yang lebih efektif dan atraktif bagi peserta didik di era digital.
Kebijakan zonasi guru mendesak untuk dilakukan. Ini dimaksudkan dapat terbangun aspek pemerataan guru terhadap sekolah yang ada. Pemerintah bisa mendistribusikan guru yang berkualitas secara merata di seluruh wilayah tanah air. Tak ada lagi penumpukan guru di wilayah perkotaan.
Zonasi guru harus diimbangi dengan kualitas guru yang bersangkutan. Performa guru era revolusi industri 4.0 adalah guru yang melek dengan digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, tanpa mengesampingkan pentingnya tugas mulia penumbuhan budi pekerti luhur bagi anak didik. Jadi, guru dituntut familier dengan inovasi dan unggul dalam kreasi pendidikan dan pengajaran.
Akhir kata, bila kualitas pendidikan di tanah air ini sudah membaik niscaya melahirkan SDM yang unggul. Sehingga dengan SDM unggul itu Indonesia akan semakin maju. Semoga.