Sering kita dengar bahwa pakaian akan mempercantik wujud wanita dan mempertampan wujud pria, sering pula kita rasakan kebahagiaan itu saat kita mendapat baju lebaran yang bagus dengan merek yang berkelas tinggi, bahkan sering juga kita tergiur dengan keindahan pakaian yang ditampilkan dalam iklan Cat Walking, lalu pernahkah kita mempertanyaakan dari mana pakaian itu berasal?
Mengalisis Film Dokumenter The True Cost yang dibawakan Andrew Morgan, membedah bagaimana krologis terciptanya pakaian yang murah dan cukup modis dalam sudut pandang kritis mengenai dampak pakaian tersebut terhadap pasar untuk peningkatan konsumsi masyarakat dan dampak kepada kondisi buruh yang membuat pakain tersebut baik dari segi upah, jam kerja dan jaminan sosial.
Pertama kita lihat analisis terlebih dahulu dari sisi tingkat konsumsi masyarakat, dari banyaknya ragam jenis pakaian unik dan menarik yang di tawarkan oleh iklan menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk membeli pakaian tersebut, terlebih dengan harga yang murah siapa yang tidak tertarik membeli pakaian tersebut.
Namun perlu kita pahami kembali mengenai apa yang mesti kita konsumsi sebagai aspek kebutuhan medasar dari sandang? Seorang penulis terkenal sekaligus guru besar dari Institusi Seni Copywriting bernama Earnest Elmi Callans menulis artikel dengan judul “The Consumtion” tulisan tersebut menjelaskan dua sifat konsumsi pada jenis barang.
Pertama konsumen yang mengonsumsi barang untuk pemenuhan kebutuhan akan kegunaannya. Kedua,adalah barang yang dikonsumsi karena nilai citranya. Earnest melihat fenomena konsumerisme membiaskan makna barang yang sebernarnya untuk kebutuhan malah menjadi benda praktis yang terlalu dinikmati aspek citranya (Mark Miller, Earnest, 2015)
Maksud dari aspek citranya ialah makna simbol pada suatu barang yang biasa kita sebut sebagai “merek”, media yang dibanjiri informasi iklan yang terus di ulang-ulang akan membentuk cara pandang masyakat dalam melihat nilai kebahagian jika banyaknya materi yang didapat berupa pakaian yang dikenakan, hal inilah yang memicu peningkatan permintaan pada fashion karena nilai manipulasi estetika pada pakaian yang dikenakan oleh bintang film dan murahnya harga barang karena masifnya diskon yang ditawarkan (Jean Baudrilard, 2017:25).
Banyaknya pakaian yang direproduksi secara masal menyebabkan peningkatan sampah tekstil selama sepuluh tahun terakhir, lebih teragisnya sampah-sampah tersebut dikirimkan ke negara dunia ketiga, seperti India, Kamboja dan Indonesia, yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat limbah yang biodegredeble (tidak terurai), banyak pakaian yang dibuang akibat barang kualitas rendah mudah rusak dan harga yang murah dapat dibeli kembali.
Peningkatan konsumsi ini memang diciptakan oleh korporasi dan legalisasi oleh pemerintah demi mencapai peningkatan GDP (Gross Domestic Bruto) yang berasal dari akmulasi komoditi dan tingkat pendapatan dari keuntungan sirkulasi pasar. Negara yang masih menggunakan indikator ini sulit melihat aspek lain sebagai parameter pembagunan bangsa dan cendrung membuat ketimpangan semakin besar (Arief Budiman, 1998 :37).
Kedua, kita lihat dampak tingginya pemintaan barang kepada buruh yang membuatnya. Melihat sistem kerja saat ini yang sangat berorientasi pada efesiensi , baru-baru ini banyak perusahaan menerapkan sistem Outsourching untuk meminimalisir pengangkatan buruh tetap.
Tetapi penting bagi kita untuk melihat nasib para buruh yang semakin tertekan akibat sistem tersebut, disini ada logika yang menarik “jika permintaan naik maka produksipun naik, jika produksi naik kinerjapun harus dipaksa naik” disini film tersebut menganalisis bagaimana peningkatan permintaan yang semestinya diimbangi oleh keuntungan bagi buruh berupa kenaikan upah, kenyataannya malah hanya menguntungkan bagi pemilik perusahaan karena perusahaan tidak menghiraukan tuntutan buruh.
Film tersebut mengungkapkan nasib pekerja yang berada di kota Phom Penh Kamboja, dalam dokementasi tersebut terjadi aksi demonstrasi oleh para buruh untuk menuntut kenaikan upah minimum regional yang masih 160$ perbulan, namun saat aksi berlangsung terjadi praktik kekerasan kepada para buruh oleh apparatus negara yang tergabung dalam tim Terjun Payung seolah mereka menganggap sedang terjadi perang dijalan Phom Penh.
Kesaksian tersebut disampaikan oleh seorang aktivis HAM Sochua Mu dan perwakilan buruh yang mengungkapkan terdapat 23 korban jiwa, 5 orang tertangkap dan 40 orang mengalami luka berat akibat pukulan yang dilakukan secara terus menurus.
Hal serupa terjadi di Bangladesh ibu kota Dhaka, Gedung setinggi delapan tingkat roboh menimpa para buruh yang sedang bekerja didalam, setidaknya terdapat lebih dari 400 korban jiwa yang ditemukan dan masih terdapat ratusan orang terkubur dalam puing-puing bangunan, pemerintah Bangladesh sudah memberikan peringatan kepada pemilik perusahaan untuk segera mengungsi setelah melihat gejala retakan pada benton bangunan namun pemiliki pabrik malah menghiraukannya.
Setelah mengalami kecelakaan nasib buruh semakin mengkhawatirkan karena statusnya bukan sebagai buruh tetap namun hanya sebagai pekerja kontrakan akibat kebijakan outsourching, perusahaan akan meminimalisir kerugiaan dengan tidak memberikan jaminan social kepada beberapa buruh yang masih berstatus kontrak dengan dalih bahwa kontrak kerja perusahaan hanya memberikan uang perawatan bagi pekerja yang berstatus kontrak maupun magang, jaminan berupa pasangon hanya diberikan kepada pekerja tetap.
Di sini film tersebut menyebutkan bentuk keserakahan perusahaan multinasional yang hanya memberikan 3 persen kursi untuk pekerja tetap dan 97 persennya merupakan outsourching, bahkan sistem outsouching tersebut menimbulkan kerawanan posisi bagi pekerja tetap menjadi masa percobaan akibat kewenangan direksi dalam pemindahan devisi bagian, jika kerjanya dinilai maksimal status tetap akan diberikan jika sebaliknya ada pencopotan status tersebut.
Mengutip perkataan Martin Luther King Jr dalam pidato digereja Brooklyn ia mengatakan “bahwa kita harus berhenti menganggap manusia sebagai barang, kita harus juga berhenti memberlakukan manusia sebagai alat meraup keuntungan, dan bagaimanapun juga kita mesti memberlakukan manusia sebagai mahluk yang merdeka dengan perlakuan manusiawi”. Hanya ada satu sistem saat ini yang memberlakukan manusia sebagai modal produksi yaitu kapitalisme.
Maka dari itu kita harus sadar bahwa hasil industri bukan untuk konsentrasi pemiliki modal, biarkan manfaat industri dirasakan kepada seluruh masyarakat secara global, dan kita lakukan pemakaian fashion secara hati-hati, teratur dan bijaksana.
Bagi pemilik industri mereka harus sadar bahwa sumber daya alam dan manusia bukan hanya sebagai komoditi yang penuh dengan spekulasi (investor) dan pasar (konsumen) tetapi kita harus melihat alam sebagai kehidupan kita yang sangat dasar, sebagai ibu bumi.
Para konsumenpun mesti memiliki kesadaran kolektif dengan memberikan pertanyaan mendasar sebelum membeli “dari mana pakaian ini berasal? apakah sudah memenuhi SOP Pekerja? Dan berani menyatakan “maaf saya tidak akan membeli, bagi perusahaan yang membiarkan kematian buruhnya saat bekerja” sebagai bentuk kepedulian masyarakat.
Foto di ambil dari majalah sedane.