Lagu-lagu Didi Kempot pertama kali saya dengar, jika saya tidak salah ingat, sekitar pertengahan tahun 2002 di dalam bus AKAP milik PO Putra Remaja dalam perjalanan keluarga saya kembali ke Klaten setelah bapak saya dinas di Palembang selama beberapa tahun.
Setiba di Klaten, lagu-lagu Didi Kempot menjadi semakin akrab di telinga. Simbah, pakde, paklik, semuanya adalah penikmat campursari dan Didi Kempot menjadi salah satu yang paling sering terdengar.
Di pagi hari, ketika semua orang di rumah simbah saya sedang bersiap untuk memulai aktifitas. Di bengkel om saya di siang hari. Di pelataran rumah di sore hari ketika anak-anak bermain di sekitar pekarangan. Jika saya ingat, ada saja orang-orang yang sedang mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot di masa itu, entah dari kaset tape asli ataupun bajakan dan di program radio GCD FM Gunung Kidul, “yang sebaiknya anda tahu” itu.
Saat itu, meski akrab di telinga, tidak langsung menjelma menjadi sebuah rasa cinta. Saya begitu akrab dengan lagu-lagu Didi Kempot, hafal banyak lagunya tanpa saya sengaja, tapi tidak menjadikan saya pencinta ataupun pembenci Didi Kempot dan karyanya.
Dari usia sekolah, kuliah, hingga sekarang bekerja pencarian saya sebagai penikmat musik tidak pernah berhenti. Mulai dari masa Kangen Band di CD MP3 bajakan dan Armada masih dengan nama Kertas Band.
Berlanjut ke kegilaan saya dengan band indie punk/rock/metal seperti Endank Soekamti, Closehead, Marry Jane, dan Burger Kill. Kemudian menemukan jiwa musik yang sangat terasa pada rock-rock klasik seperti The Beatles, Pink Floyd, Deep Purple, Led Zeppelin, dan Queen. Masanya anak indie-edgy generasai Spotify seperti sekarang saya juga menikmati banyak musik, sebutlah musisi lokas seperti The Panturas, Grrl Gang, .Feast, dan dari mancanegara seperti Mac Demarco, Boy Pablo, Alvvays dan sebangsanya.
Lalu dimanakah posisi Didi Kempot di perjalanan pencarian musik tersebut?
Didi Kempot berada di beragam simpangan waktu dengan relasi love-hate yang berkembang secara gradual dan menjadi signifikan di kebangkitan kedua Lord Didi sekarang ini.
Meskipun akrab dengan karya Didi Kempot sejak kecil, namun baru bisa menikmati di masa-masa akhir kuliah (halo skripsi, luv u!). Kegabutan menunggu revisi adalah kunci pertemuan saya kembali dengan lagu-lagu sang maestro.
Sungguh menyenangkan belakangan ini banyak generasi ini yang menikmati karya beliau lagi, bahkan banyak yang dengan sangat mendalam menghayati. Saya termasuk bagian yang merayakannya. Selalu excited jika Pakdhe Didi ada jadwal manggung disekitar Jakarta seperti di Cikini beberapa waktu yang lalu.
Dengan pengalaman saya mengenal Didi Kempot, menurut saya, fenomena kebangkitan kedua Didi Kempot sebenarnya bisa dijelaskan cukup mudah meminjam penjelasan dari fenomena coming out dan pek-nggo.
Istilah pertama, coming out, ini biasanya dipakai teman-teman kita di komunitas LGBTQ ketika hendak membuka jati diri seksualitasnya yang ternyata berbeda dari apa yang diketahui orang.
Dalam keadaan yang sama namun konteks berbeda, munculnya generasi baru fans Didi kempot juga merupakan sebuah coming out, dan berjamaah!Seorang gay yang coming out adalah orang yang tidak ingin berbohong kepada diri sendiri dan orang lain tentang seksualitasnya, tanpa memperdulikan stigma negatif yang ada. Sebuah pengalaman tentang perjuangan psikologis.
Saya, dan banyak fans Didi Kempot melakukan coming out dalam bentuk lain, dengan mencoba melawan stigma campursari, ataupun lagu jawa pada umumnya sebagai musik jelata, setidaknya beberapa tahun belakangan sebelum kebangkitan kedua ini. Saya ingat pernah suatu ketika dosen datang terlambat, di sela waktu menunggu tersebut saya klothekan (memukul meja dengan irama tertentu).
Karena kebetulan saya baru berkenalan kembali dengan lagu-lagu Didi Kempot, saya klothekan sambil menyanyi Stasiun Balapan. Seorang teman yang kebetulan orang Solo ikut menimpali dan ikut bernyanyi, namun yang lain hanya ikut tertawa dengan agak sedikit mengejek. Tentu mengejek masih dalam tahap bercanda, Karena teman sendiri, saya ya bodo amat, tetap klothekan yang kadang disauti hok’a hok’e oleh teman saya.
Melihat stigma lagu jawa yang seperti itu, wajar jika banyak orang lain yang hanya menikmati lagi-lagu Didi Kempot di relung-relung kesendirian, di kesunyian jiwa paling dalam yang tak pernah diketahui orang lain. Kini Didi Kempot sedang bangkit lagi. Banyak fans yang berani terbuka bahwa dia suka Didi Kempot karena memang kini hafal lagu Suket Teki diluar kepala ada sebuah kebanggaan alih-alih hal yang memalukan. Jadilah kami, coming out berjamaah.
Penjelasan kedua adalah Pek-Nggo. Kita-kita fans Lord Didi ini sebenarnya tak beda jauh dengan orang-orang yang Pek-Nggo alias Ngepek Tonggo alias Nikah Dapet Tetangga Sendiri, mengapa?
Fans Lord Didi, meskipun kini sudah tidak dimonopoli orang Jawa, sebagian besar masih orang Jawa. Kami adalah generasi yang di masa kecilnya hidup di masyarakat Jawa yang sangat kental. Karena satu dan banyak hal, merantau misalnya, banyak dari kami yang merasa tercerabut dari kejawaan kami.
Hingga entah sengaja atau kebetulan, terdengar kembali alunan lagu penuh kesedihan namun sayang untuk tidak dijogetkan dari Didi Kempot. Tidak hanya patah hati dan ditinggal pergi, Didi Kempot mengingatkan tentang rumah.
Sesuatu yang baru kami sadari sangat dicintai. Wong Solo punya Stasiun Balapan dan Terminal Tirtonadi, Anggun (Anak Nggunung) Gunung Kidul punya Banyu Langit, Cah Semarang punya Tanjung Mas, Wong Ngawi punya Dalan Anyar, Cah Jogja punya Parangtritis, dan masih banyak lagu tentang sebuah daerah lainnya.Meskipun daerah anda, seperti daerah saya, belum ada lagunya, tapi judul-judul di atas tetap bisa relatable. Tetap selalu mengingatkan kita tentang rumah dan kampung halaman.
Ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fenomena Pek-Nggo. Melanglang buana ke penjuru nusantara, bertemu puluhan manusia dari beragam suku bangsa. Tapi akhirnya, nikah sama tetangga sendiri.
Karena memang yang memberi kenyamanan dan sudah tahu-sama-tahu sejak kecil.Begitu juga fans Lord Didi generasi ini, melanglang buana di belantika musik dunia, namun sesuatu yang sudah didengar sejak masa kecil kini jadi pemberhentian terakhir yang begitu nyaman dan menenangkan.
Pada akhirnya, kita sudah tak perlu lagi untuk malu mendengar musik-musik berbahasa daerah. Tak perlu ragu untuk mengakui bahwa ya selera saya dipengaruhi orang-orang di kampung halaman saya, dan saya mencintainya.