Senin, Desember 9, 2024

Gambut oh Gambut: Bank Karbon

- Advertisement -
  • Oleh Wildan Aria Nugraha

Bumi sudah semakin tua. Pernyataan ini memiliki makna yang sangat luas, bukan hanya dalm artian umur Bumi yang sudah entah berapa tahun, tapi juga keterbatasan dalam penggunaan sumber dayanya. Lahan dan tanah untuk pertanian adalah salah satu contoh bagian Bumi yang sekarang sudah sangat sulit untuk dimiliki.

Hal ini terjadi  bukan karena secara harfiah tidak ada lahan atau tanah, tetapi kebanyakan sudah digunakan untuk membangun pabrik dan bentuk industri lainnya yang sayangnya tidak hanya memakai, tapi mereka juga merusak lahan tempat mereka berdiri dan juga sekitarnya. Hal inilah yang kemudian membuat lahan gambut kemudian menjadi pilihan yang harus diambil untuk dijadikan lahan pertanian.

Lahan gambut merupakan lahan basah yang terbentuk dari endapan organisme selama ribuan tahun. Dalam prosesnya, lahan gambut ini bercampur dengan banyak endapan. Lahan gambut ini menyimpan banyak karbon, dan lebih banyak daripada yang diserap oleh hutan. Dengan adanya lahan gambut, pemanasan global masih dapat direduksi.

Lahan gambut agak sedikit berbeda dengan lahan subur biasa, untuk itu metode pengolahan dan penggunaannya juga berbeda. Fakta bahwa lahan gambut mengandung dua kali lipat karbon lebih banyak dibanding hutan mineral menjadi pertimbangan besar dalam pengolahannya. Pengolahan gambut yang tidak sesuai kaedah akan merusak keberadaaan gambut itu sendiri dan bisa dibayangkan jika gambut itu terganggu (mengering) maka ia akan mengeluarkan karbon yang bisa sangat berbahaya.

Salah satu penyebab utama terganggunya ekosistem gambut adalah kebakaran atau pembakaran hutan. Hal ini sangat sering terjadi di Indonesia, mirisnya lagi hal ini sudah menjadi sebuah kejadian rutin dengan frekuensi seperti mengunjungi keluarga dikampung.  Mengutip dari transkrip pembicaraan Asrul Dwi dalam Podcast Gambut Bakisah, ia menyebutkan bahwa karbon didalam gambut terlepas keudara karena kebakaran setara dengan 33 miliar emisi mobil dalam setahun.

Pengolahan gambut sudah membudaya sejak dahulu. Sekitar pertengahan abad ke-19, masyarakat disekitar daratan Malaya telah melakukan budidaya dan pemanfaatan lahan gambut dengan membuat kanal-kanal sehingga drainase gambut terjaga dengan baik. Beberapa tahun berikutnya,banyak suku-suku di Indonesia kemudian mengikuti metode drainase yang berhasil memanfaatkan lahan gambut dengan baik tanpa merusak lahan gambut itu sendiri.

Dimulai dari metode pembuatan kanal-kanal, kemudian cara baru dalam mengolah lahan gambut mulai berkembang dan mereka bisa memanfaatkan lahan gambut untuk menanam lebih banyak lagi tanaman. Sebuah awal yang baik dalam pemanfaatan lahan sub-optimal.

Waktu terus berjalan, gambut yang sebelumnya bukanlah pilihan utama untuk agrikultur kemudian mendapat perhatian lebih. Lahan-lahan optimal yang jumlahnya semakin menipis membuat pilihan kemudian jatuh kepada lahan gambut sebagai alternatif. Lahan gambut yang sejatinya merupakan lahan sub-optimal membutuhkan perlakuan yang berbeda dengan lahan optimal. Banyak studi yang telah berhasil menemukan cara mengelola lahan gambut agar menjadi lahan layak pakai.

Keberhasilan dalam mengolah lahan gambut ini mendapat perhatian dari pemerintah lalu kemudian menindaklanjuti dukungan tersebut dengan mengeluarkan program serta kebijakan untuk mengolah lahan gambut. Asrul Dwi dalam transkrip episode Podcast Gambut Bakisah juga menyebutkan bahwa program dari pemerintah inilah yang kemudian menjadi awal dari kemerosotan lahan gambut di Indonesia.

Pemerintah membuat program serta kebijakan yang membuat gambut itu terpisah dari penjaga alaminya yaitu masyarakat. Kebijakan pengolahan lahan gambut mempengaruhi kehidupan disekitarnya. Banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian mereka sebagai dampak berantai dari kebijakan itu, belum lagi ekosistem yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut sehingga pada akhirnya program itu menjadi terhambat. “hal itu bisa dicegah dengan melibatkan masyarakat untuk berdialog…” lanjut Asrul.

- Advertisement -

Melihat realita hari ini, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan agar keberlangsungan lahan gambut tetap terjaga dengan baik. Tindakan yang kurang bijaksana akan semakin memperburuk kondisi lahan gambut, khususnya di Indonesia. Pengolahan dan pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kaedah serta tetap mengutamakan keberlangsungan menjadi sebuah hal yang sangat penting dalam mengambil tindakan agar lahan gambut tetap bisa menyokong kehidupan kita hari ini, esok, dan seterusnya.

Wildan Aria Nugraha merupakan pemenang ketiga dalam TJF Challenge Citizen Journalism yang merupakan bagian dari acara Peat Party, diselenggarakan oleh Tay Juhana Foundation dan didukung oleh Geotimes. Acara ini dipersembahkan untuk memperingati Hari Gambut Sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 2 Juni.

 

 

 

Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.