- Oleh Alifah Fitam Rakhma Sari
Lapisan tanah pada lahan gambut diketahui mampu menyimpan paling sedikit 550 gigaton karbon. Jumlah ini terbilang dua kali lipat lebih banyak dibandingkan jumlah karbon yang tersimpan di hutan dunia. Indonesia sebagai negara tropis memberikan kontribusi besar terhadap luasan lahan gambut yang menempati peringat kedua terbesar dunia, luasan lahan gambut Indonesia mencapai 22.5 juta hektar (ha).
Dibalik keistimewaanya, perasaan gelisah tak kunjung redup tatkala rentetan berita kerap menyorot kondisi gambut yang luasannya semakin menyusut. Kabar mengenai peningkatan jumlah emisi karbon acap terdengar seiring dengan berkurangnya luasan lahan gambut Indonesia. Masih banyak orang yang belum mengetahui siapasih sebenernya si Gambut ini?
Kenali Dahulu, Apa Itu Gambut
Sebutan gambut merujuk pada tanah berwarna hitam yang menyimpan kandungan material organik yang subur dan terbentuk dari akumulasi pembusukan sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membentuk timbunan dalam jangka waktu yang lama. Gambut merupakan struktur tanah yang mampu menyerap air pada saat musim penghujan dan menjadi sumber air tanah pada saat musim kemarau. Bagi individu yang tidak asing akan eksistensinya, gambut memiliki berbagai julukan laksana ‘surga karbon’, ‘emas karbon’, dan ‘emas hitam’.
Lahan Gambut dengan Beragam Kebaikannya
Manusia enggan menyadari substansi gambut sebagai pendukung kehidupan, bagi kebanyakan orang ekosistem gambut dinilai sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas rendah, kurang menyokong nilai ekonomi, dan tidak bisa diupayakan. Kenyataannya gambut memberikan berbagai ragam kebaikan sebagai penghasil sumber oksigen bagi makhluk hidup, pengatur fungsi regulasi air, penyimpanan karbon, sumber kehidupan masyarakat, rumah bagi keanekaragaman hayati satwa dan puspa, dan mitigasi bencana hidrometeorologi.
Pada penelitian Sofyan Kurniqanto, memaparkan pentingnya lahan gambut Indonesia yang berkontribusi penting bagi mitigasi perubahan iklim karena mereka menciptakan suatu sistem penyimpanan yang sumpurna untuk mengunci keberadaan karbondioksida di dalam tanah agar tidak lepas ke udara. Lahan gambut akan menjadi gudang karbon ketika dilindungi, namun menjadi sumber gas rumah kaca yang berbahaya ketika dihancurkan. Butuh waktu ribuan tahun untuk mendapatkan kembali karbon yang hilang akibat konversi lahan.
Suara Pilu yang Terdengar dari Lahan Gambut
Pilu yang dirasakan gambut lantaran kerap dipandang sebelah mata oleh manusia karena dianggap tidak berguna, menyebabkan kondisi lahan ini semakin kritis. Menyedihkan, ketika prediksi para ilmuwan menjelaskan keberadaan lahan gambut Indonesia kerap digunduli, dikeringkan, dikonversi, dan dibakar demi kepentingan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit-akasia, pembangunan infrastruktur, dan pertanian.
Alih-alih ekspansi lahan gambut Indonesia yang semakin meluas, dianggap menghasilkan keuntungan ekonomi yang cukup besar. Sementara itu bahaya yang ditimbulkan apabila lahan gambut dilakukan pengeringan, maka karbondioksida yang telah tersimpan rapat akan lepas ke udara. Akibatnya tanah gambut yang kering akan rentan terbakar dan menyebabkan kebakaran yang sangat besar.
Kebakaran hutan juga akan mengakibatkan serangkaian dampak terhadap hilangnya habitat dan spesies keanekaragaman hayati di dalamnya, timbul permasalahan kabut asap yang begitu gelap sehingga mengganggu kesehatan, terganggunya sektor perhubungan karena kabut yang menghalangi jarak pandang, kerugian finansial negara, serta semakin banyak karbondiosida yang akan dilepaskan ke udara.
Setiap tahunnya terdengar rentetan berita mengenai sumbangan kabut yang bertiup ke beberapa negara tetangga yang berasal dari daerah yang cukup rawan seperti Sumatera dan Kalimantan, sehingga menimbulkan isu yang menjadi sorotan dunia. Papua menjadi salah satu daerah yang masih diharapkan dengan kawasannya yang cukup baik. Kebakaran gambut adalah permasalahan krusial yang menjadi agenda tahunan saat terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan.
Bantu Cari Jalan Keluar untuk Gambut Indonesia
Memulihkan kembali lahan gambut yang telah terdegradasi menjadi tanggung jawab semua komponen lapisan masyarakat. Hal yang dapat dilakukan untuk menanti gambut Indonesia yang lebih baik adalah dengan mengurangi deforestasi dan degradasi lahan gambut, merehabilitasi dan merestorasi lahan gambut, serta menanamkan wawasan pentingnya gambut kepada masyarakat sehingga masyarakat pun mendukung untuk menghindari penebangan, pengeringan, dan pembakaran sebagai modus pembukaan lahan.
Restorasi gambut dilakukan untuk mengembalikan area gambut yang memiliki fungsi ekologis bagi lingkungan terhadap kawasan yang terdegradasi. Badan Restorasi Gambut (BRG) dibentuk sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab terhadap upaya restorasi gambut di Indonesia.
Strategi restorasi gambut dilakukan dengan menerapkan 3R yaitu pembasahan kembali (rewetting) yang dapat dilakukan dengan metode sekat kanal (canal blocking), penimbunan kanal (canal backfilling), dan sumur bor (deep weels); penanaman kembali (revegetation) meliputi kegiatan persemaian (nursery), pembibitan (seedlings), penanaman (seedlings tranplantation), dan regenerasi alami (natural regeneration); serta revitalization of local livelihoods meliput kegiatan land-based: paludiculture (pohon sagu, galam, jeluteng, dll), water based (perikanan), dan env-service-based (ekowisata dan perdagangan karbon)
Pembahasan kembali lahan gambut dapat dilakukan melalui upaya pembangunan sumur bor (deep well), sekat kanal (canal blocking), dan penimbunan kanal (canal backfilling) yang bertujuan untuk mengurangi laju aliran keluar dan menaikkan kapasitas simpanan air di badan kanal dan sekitarnya.
Manfaat metode ini dilakukan untuk membasahi keadaan lahan gambut yang sudah kering dengan cadangan air yang berasal dari tanah agar tetap lembab ketika musim kemarau dan digunakan sebagai sumber air ketika terjadi kebakaran lahan pada daerah tersebut. Kemudian terdapat tata kelola yang dikenal dengan kubah gambut sebagai usaha konservasi dan penyimpanan air. Taklupa dilakukan pemasangan alat pemantau tinggi muka air (TMA), karena dengan menjaga muka air memberikan banyak kekuntungan yakni mengembalikan tumbuhnya vegetasi alami dan kelembaban lahan.
Memberikan masukan kepada pemangku kepentingan negara untuk membuat kebijakan dalam perizinan konversi lahan gambut dan memberikan edukasi, sosialisasi, serta partisipasi aktif masyarakat desa dan kader restorasi gambut adalah solusi untuk mengurangi permasalahan yang kerap menimpa gambut. Mari bergerak untuk turut memberikan solusi terhadap gambut Indonesia agar tetap menghijaukan bumi.
Alifah Fitam Rakhma Sari merupakan pemenang pertama dalam TJF Challenge Citizen Journalism yang merupakan bagian dari acara Peat Party, diselenggarakan oleh Tay Juhana Foundation dan didukung oleh Geotimes. Acara ini dipersembahkan untuk memperingati Hari Gambut Sedunia yang jatuh pada setiap tanggal 2 Juni.