“Jangan menyebut dia (Agni) korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam bahasa Jawa) pasti kan setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” demikian tutur seorang pejabat DPkM Universitas Gadjah Mada dalam menanggapi kasus kekerasan seksual yang menimpa Agni sebagaimana dilaporkan oleh Balairung.
Analogi itu persis menggambarkan alam pikir patriarki yang memosisikan perempuan sebagai objek (“ikan asin”) atau setidaknya sebagai subjek inferior di hadapan subjek maskulin (“kucing”). Dengan pengandaian seperti itu, kita seolah dipaksa untuk memaklumi apa pun yang dilakukan oleh “kucing” terhadap “ikan asin”, sebab “ikan asin” memang makanan kesukaan “kucing”.
Itu pandangan khas patriarki atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Namun, di sisi lain, ada juga pandangan yang (tampak) lebih progresif dan tidak patriarkal, tapi gagal melihat kekerasan seksual sebagai masalah yang dikondisikan secara struktural dalam masyarakat patriarkal. Pandangan ini lebih menyoroti moralitas individual sang pelaku sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap perempuan.
Pandangan yang moralis ini selalu memunculkan narasi-narasi moral-individual setiap kali terjadi kasus kekerasan seksual. Dalam kasus yang menimpa Agni, misalnya, banyak orang yang mengekspresikan kemarahannya kepada sang pelaku di media sosial sembari melontarkan umpatan-umpatan moral. Umpatan moral itu kemudian berujung jadi persekusi dan cyber-bullying. Pandangan moralis ini kemudian tak lebih dari sekadar respons emosional yang tak akan pernah menyelesaikan persoalan.
Dalam beberapa kasus, moralitas individu mungkin memang punya pengaruh. Namun, apakah setelah Anda memberikan umpatan moral atau bahkan mungkin—dalam bentuknya yang halus—tausyiah moral kepada sang pelaku, lalu masalah kekerasan seksual ini bisa selesai? Tidak!
Pandangan moralis itu justru kontraproduktif dengan upaya-upaya untuk melawan kekerasan seksual terhadap perempuan. Ia mengandaikan bahwa kekerasan seksual itu terjadi murni karena ada yang salah secara moral pada pelaku sebagai agen tunggal. Karenanya, solusi yang ditawarkan adalah solusi moral-individual. Jika moral individu itu baik, maka tak akan ada kekerasan seksual. Senaif itu.
Dari saking naifnya, pandangan moralis ini sudah akan goyah dengan adanya dua jenis kasus kekerasan seksual. Pertama, kasus-kasus kekerasan seksual yang pelakunya adalah individu yang justru memegang otoritas moral atau paling tidak seorang tokoh yang tahu banyak tentang nilai moral. Kasus seorang kiai atau ustaz yang memerkosa santriwatinya, misalnya. Jika faktor utama kasus itu adalah moral-individual sang kiai, bukankah banyak orang yang justru menjadikan kiai sebagai sumber inspirasi moral?
Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, misalnya, kebanyakan pelakunya adalah dosen. Jika masalahnya adalah moral-individual, maka tidak mungkin EH yang di lingkungan kampusnya dikenal sebagai dosen yang sangat kompeten itu bisa melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya. Setidaknya ia adalah simbol dari sebuah otoritas (pengetahuan) moral.
Kasus-kasus yang serupa dengan kasus EH juga banyak terjadi di kampus-kampus besar di luar negeri. Semisal, kasus pelecehan seksual di University of California, Berkeley, yang pelakunya adalah seorang filsuf beken John Searle. Kasus yang terbaru juga melibatkan seorang fisikawan terkenal Lawrence M. Krauss di Arizona State University. Mereka semua adalah individu-individu yang—dalam pandangan kebanyakan orang—selalu diasosiasikan dengan nilai moral yang agung.
Kedua, pandangan moralis juga akan terbantahkan dengan adanya kasus kekerasan seksual yang motifnya adalah politik. Semisal, kekerasan seksual yang menimpa perempuan-perempuan etnis Tionghoa pada bulan Mei 1998. Dalam kasus itu, kekerasan seksual menjadi ajang pertunjukan kekuasaan yang maskulin (yaitu: kekuasaan yang militeristik dan otoriter) terhadap kelompok minoritas, yang inferior dan feminin (etnis Tionghoa).
Kekuasaan itu hendak mempertontonkan maskulinitasnya dengan menundukkan dan mengangkangi kaum perempuan dari kelompok yang terpinggirkan. Tak ada masalah moralitas individual dalam kasus tersebut. Para pelakunya adalah agen-agen impersonal yang menjadi representasi dari sebuah kekuasaan politik yang besar.
Oleh karena itu, selain perlu menyingkarkan bias-bias patriarkal, kita juga perlu membuang pandangan moralis terkait kekerasan seksual. Ia tak mampu memahami akar kekerasan seksual terhadap perempuan yang sebenarnya adalah misogini dan seksisme. Keduanya bukanlah masalah moralitas individual, melainkan sebuah kesadaran sosial yang juga dikonstruksi secara sosial dalam struktur masyarakat patriarkal. Saya akan menyebutnya sebagai “moralitas patriarkal”.
Moralitas patriarkal itu mengeram dalam alam pikir masyarakat secara komunal yang bisa termanifestasikan dalam pikiran dan perilaku individu manapun. Oleh karena itu, mengeluarkan sumpah-serapah terhadap agen individual dalam kasus kekerasan seksual, selain irrelevan, juga insignifikan. Ia tak menyasar akar persoalan.
Seorang feminis analitik Kate Manne, dalam Down Girl: The Logic of Misogyny (2018), menyebut pandangan yang menganggap akar dari masalah kekerasan seksual adalah moral dan mental individu tertentu itu sebagai pandangan yang naif. Ia berusaha melampaui pandangan naif tersebut dengan mangajukan sebuah konsepsi amelioratif tentang misogini dan seksisme—yang dua hal itu kemudian melahirkan objektifikasi seksual terhadap perempuan dalam berbagai bentuknya.
Menurut Manne (2018: 63), misogini sebaiknya dipahami sebagai “cabang ‘penegakan hukum’ (law enforcement) dari sebuah tatanan patriarkal, yang berfungsi untuk menertibkan dan menerapkan ideologi yang mengatur tatanan tersebut.” Dalam pengertian ini, misogini bisa dipahami sebagai semacam “perangkat konstitusional” yang diinternalisasikan ke dalam sebuah kesadaran sosial untuk memastikan tatanan patriarkal tak mengalami gangguan.
Di atas “perangkat konstitusional” tersebut, ada asumsi, keyakinan, ideologi, dan narasi-narasi kebudayaan lainnya yang lebih luas yang menjustifikasi dan merasionalisasi relasi sosial yang patriarkal. Fungsi justifikasi dan rasionalisasi terhadap tatanan patriarkal itulah yang, menurut Manne (2018: 79), dimiliki oleh seksisme. Dengan demikian, dalam pengertian ini, seksisme bisa dipahami sebagai “perangkat ideologis” dari struktur masyarakat patriarkal.
Dari misogini dan seksisme itulah kemudian muncul objektifikasi seksual terhadap perempuan (Manne, 2018: 85). Misogini, sebagai “perangkat konstitusional” dari tatanan patriarkal, memunculkan objektifikasi seksual dengan pengabaian terhadap otonomi perempuan. Pengabaian ini terjadi karena ketidaktahuan agen yang disebabkan oleh “perangkat konstitusional” yang diinternalisasikan ke dalam kesadarannya sama sekali tak memberi tahu otonomi perempuan sebagai subjek. Agen pun memandang perempuan sebagai subjek yang inferior dan bergantung terhadap laki-laki.
Seksisme, sebagai “perangkat ideologis” dari tatanan patriarkal, memunculkan objektifikasi seksual berupa pelanggaran terhadap otonomi perempuan. Objektifikasi pertama mengandaikan ketidaktahuan agen. Objektifikasi yang muncul dari seksisme ini, sebaliknya, mengandaikan pengetahuan agen bahwa perempuan itu sebenarnya subjek otonom, tetapi ia secara sadar berusaha merasionalisasi dan menjustifikasi relasi patriarkal yang mengingkari otonomi perempuan.
Kedua bentuk objektifikasi seksual itu sama-sama menghilangkan otonomi perempuan, sehingga perempuan bisa diperlakukan dengan cara apa saja sesuai kehendak agen-agen patriarkal. Ia bisa dilecehkan, diperkosa, dan bahkan diperjualbelikan. Perempuan dianggap tak punya kuasa terhadap tubuh dan subjektivitasnya.
Misogini dan seksisme yang memunculkan objektifikasi seksual itu merupakan fenomena sosial yang tak bisa direduksi sebagai gejala moral atau mental individual. Oleh karena itu, untuk melawan kekerasan seksual, kita perlu merekonstruksi tatanan sosial daripada hanya sekadar menyumpah-serapahi individu-individu yang dianggap tak bermoral. Sebab individu-individu tersebut hanyalah bagian dari struktur sebuah masyarakat yang mengondisikannya untuk menjadi agen-agen patriarkal.
Oleh karena itu, kita memerlukan upaya-upaya struktural untuk melawan kekerasan seksual dari akarnya. Dalam konteks inilah, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menemukan signifikannya. Ia adalah langkah progresif yang mau tidak mau harus dilakukan demi terciptanya tatanan sosial yang adil dan setara.
Daftar Pustaka
Manne, Kate, 2018, Down Girl: The Logic of Misogyny, Oxford: Oxford University Press.