Kamis, April 18, 2024

Surat Penting untuk Jokowi, Pendidikan Karakter Era Disrupsi

Azaki Khoirudin
Azaki Khoirudin
Mahasiswa Doktor Kependidikan Islam UIN Sunan Kalijaga

Bapak Presiden Joko Widodo yang terhormat, era disrupsi ini perubahannya sangat cepat. Mampu mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Kehidupan menjadi sangat dinamis, tidak linear. Dampaknya begitu luas, meliputi kesehatan, bisnis, transportasi, dan pendidikan.

Pak Jokowi, saat ini di dunia pendidikan dikenal konsep MOOCs (Massive Open Online Courses). MOOC adalah inovasi pembelajaran online (daring) yang memiliki daya jangkau yang luas, melewati batas-batas dan saling terkonseksi satu sama lain. Di Indonesia, upaya serupa telah dirintis oleh sebuah lembaga bernama IndonesiaX sejak 2015. Bahan MOOCs dapat diakses siapa pun dan di mana pun secara daring.

Implikasinya, guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu. Siswa harus berubah dari pasif menjadi aktif dalam mencari informasi dan pengetahuan. Dulu guru sebagai sumber pengetahuan. Kini peran dosen berubah menjadi fasilitator. Kini, guru harus mengajarkan siswa agar memiliki kemampuan belajar mandiri. Guru dituntut menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work siswa.

Akan tetapi, terdapat satu hal fundamental yang tidak bisa digantikan oleh mesin digital, yaitu karakter. Karakter cinta tanah air, cinta lingkungan, hidup bersih, gotong-royong tak dapat digantikan mesin/digital. Jadi, fungsi guru sangat penting untuk menampilkan keteladanan mulia serta budi pekerti yang luhur. Jika tidak, siswa akan menjadi manusia robot, yang memiliki kecerdasan, namun tidak memiliki hati nurani dan akal budi.

Para pemikir dan pemangku kebijakan pendidikan harus berani melalukan perubahan secara fundamental. Bukan perubahan di wilayah permukaan kulit dan teknis semata. Terpisahnya secara ekstrem antara IPTEK di satu sisi dan sosial-humaniora di sisi lain, akan berakibat pada kerusakan karakter generasi bangsa.

Persoalan mendasar pendidikan adalah masalah tujuan yang berorientasi pasar. Padahal logika pendidikan berbeda dengan logika bisnis. Pendidikan adalah persoalan akal budi manuasia. Bagaimana meumbuhkan potensi keluhuran budi manusia, sehingga memiliki karakter kuat dan mulia.

Karena itu Pak Jokowi, untuk bisa beradaptasi pada perubahan, maka kata kuncinya adalah “karakter positif”. Dengan karater positif di masyarakat, seseorang akan diterima oleh siapapun dan dimanapun. Karena itu, salah satu perubahan mendasar yang penting adalah pengetahuan siswa tentang ilmu sosial dan humaniora seperti agama, filosofi, bahasa, sastra, menulis, sejarah, seni, sosiologi, dan komunikasi sangat diperlukan untuk membangun karakter bangsa yang kuat.

Pendidikan di era disrupsi dituntut bagaimana dapat mendidik mendidik manusia Indonesia yang berpikir tingkat tinggi (higher order of thinking). Manusia yang peduli terhadap persoalan masyarakat seperti perubahan iklim, kelangkaan energi, kerusakan lingkungan, ketahanan pangan, kesehatan, kekerasan dll. Khususnya kebersihan, lebih-lebih korupsi.

Oleh sebab itu, pendidikan seni (art education) memiliki posisi yang sangat fundamental. Karena seni dapat mengantarkan siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan mencari solusi. Akan tetapi, pendidikan seni di Indonesia belum dianggap sebagai hal penting. Padahal, pendidikan seni dapat membekali peserta didik dengan kemampuan mengolah rasa dan jiwa untuk “menumbuhkan kekuatan akal budi”.

Orientasi sekolah pun harus berubah, dari pengajaran ke arah pendidikan pendidikan plus tahu bagaimana memanfaatkannya ilmu pengetahuan disertai budi pekerti. Peran pendidikan pun bergeser dari “mempertahankan kebenaran dan mempelajari alam” kepada “menciptakan nilai”.

Nah, Bapak Presiden Jokowi, persoalan yang dihadapi oleh pemerintah, dalam hal ini Mendikbud bukan teknis operasional. Tetapi bagaimana persoalan orientasi pendidikan yang sejati, yaitu “membangun manusia yang berkebudayaan Indonesia”. Karena sejatinya pendidikan itu persoalan kebudayaan. Budaya melolong, kerjasama, hidup bersih, cinta damai menjadi fokus utama pendidikan. Jadi sejatinya pendidikan itu persoalan karekter. Pendidikan menetak manusia yang lembut hati, bukan manusia robot. Dan bukan pula memproduksi barang untuk pasar.

Persoalan globalisasi tidak hanya wilayah ekonomi dan industri. Tapi juga budaya, sosial, dan agama yang membentuk karater manusia. Maka pendidikan harus menguatkan scientific literacy digandengankan dengan cultural, social, dan religious literacy, termasuk media literacy. Hal ini akan menguatkan pilar kewargaan, kebangsaan, dan kemanusiaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari masyarakat dunia

Berdasarkan Laporan dari World Economic Forum 2016, keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja  2015 dan 2020 berubah. Complex problem solving menjadi keterampilan utama yang harus dimiliki di dunia kerja.  Cognitive flexibility menjadi keterampilan penting 2020, yang tidak ada pada 2015. Adalah kemampuan berpikir dan bertindak cepat dalam menghadapi hal-hal atau persoalan baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Selain kognitif yang fleksibel, juga tak kalah penting karakter positif yang fleksibel atau moderat. Sehingga siswa menjadi seseorang fleksibel yang mudah bergaul. Siswa tidak menjadi problem maker di komunitas. Justru menjadi pribadi yang menjadi penengah, baik di sekolah, keluarga, di masyarakat maupun di dunia maya.

Karena itu Pak Jokowi, pemerintah seyogianya melanjutkan konsentrasinya pada program-program pendidikan karekter. Karakter cinta tanah air, cinta lingkungan, gotong-royong, cinta damai, toleran tidak akan tergantikan oleh mesin digital. Akan tetapi harus mengubah paradigma dalam pendidikan karakter. Berubah dari “pendidikan yang menanam” ke “pendidikan yang menumbuhkan”. Karena sejatinya setiap manusia memiliki fitrah dan akal budi. Maka tugas guru dan pendidikan adalah menhidupkan potensi positif yang dimiliki siswa supaya tidak mati.

Bapak Presiden Jokowi yang saya hormati, pemerintah dengan kabinet yang baru harus fokus pada program-program pendidikan karakter sebagaimana telah menjadi kebijakan selama ini. Membuat program-program strategis yang berorientasi masa depan. Bukan program-program teknis yang populis yang sifatnya sesaat dengan logika pasar.

Membangun sumberdaya manusia membutuhkan proses panjang dan berkelanjutan. Sekali lagi, dunia pendidikan tidak sederhana dunia seperti membuat roti. Karena itu perlu melihat persoalan pendidikan secara makro dalam konteks dan kepentingan secara nasional.

Lebih dari itu Pak Jokowi, penting diperhatikan dukungan kekuatan masyarakat dalam stabilitas kepemimpinan pemerintahan lima tahun ke depan. Dalam hal ini ormas (organisasi masyakat) seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis dan lain-lain perlu dilibatkan dalam pendidikan. Sebab,ormas keagamaan menjadi kekuatan moral serta karakter bangsa.

Apalagi di era disrupsi civil society ditopang dunia digital dengan mudah menyuarakan aspirasi kepada  pemerintah dengan membuat gerakan sosial baru. Aksi 212 menjadi contoh gerakan untuk memobiliasi aspirasi rakyat khususnya umat Islam. Maka Negara mau tidak mau harus melibatkan kekuatan masyarakat sipil dalam berbagai bidang kehidupan seperti: kesehatan, terorisme, bencana alam, termasuk pendidikan. Nyaris pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Konsekuensinya, Mendikbud yang memiliki relasi sosial dan kedekatan dengan ormas menjadi pertimbangan utama.

Demikianlah Pak Jokowi, semoga surat ini terbaca oleh bapak, demi pendidikan Indonesia yang lebih baik. Terima kasih.

Azaki Khoirudin
Azaki Khoirudin
Mahasiswa Doktor Kependidikan Islam UIN Sunan Kalijaga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.