Oleh karena itu, perubahan budaya kerja menuju agile perlu dilakukan tidak hanya di level staf, tapi juga di sisi manajerial (Klik tulisan bagian 1 di sini). Gaya kepemimpinan yang nge-boss alias command-and-control merupakan ciri khas di banyak lembaga pemerintahan dan hanya akan membuat perubahan budaya menjadi stuck.
Servant leadership adalah gaya kepemimpinan yang diutamakan dalam membentuk budaya agile. Posisi manajerial harus ikut berubah dan tidak lagi memerintah dan mengontrol, namun memberikan keteladanan dan lead-by-example. Mendorong tim agar mau mengambil risiko, berani berbicara, dan memperlakukan tim bukan lagi sebagai bawahan, namun tim yang akan bersama-sama menuju kesuksesan, seperti yang umum terlihat di startup company.
Seampuh apakah agile? Banyak yang mengatakan bahwa hal yang sangat wajar budaya kerja di startup company bisa seperti itu, karena pendirinya pasti berusaha keras untuk berhasil dan mereka tidak terlalu memikirkan birokrasi di perusahaannya sendiri.
Proyek Sentinel FBI
Ada cerita menarik dari buku “Smarter Faster Better – The Transformative Power of Real Productivity”. Pada tahun 2006 dengan bujet US$ 425 juta, dimulailah proyek pengembangan perangkat lunak di FBI (Federal Bureau of Investigation) dengan nama Sentinel, yaitu pembangunan sistem digital untuk pengelolaan kasus-kasus dari FBI. Dan FBI tentu dikenal lembaga yang sangat tertutup karena data-data yang dikelola adalah data top secret.
Namun, proyek Sentinel setelah bertahun-tahun tidak kunjung selesai, sehingga pada tahun 2010 Inspektur Jenderal FBI melakukan audit terhadap proyek ini dan hasil audit menyatakan bahwa penyelesaian Sentinel masih membutuhkan waktu hingga 6 tahun lagi dan ratusan jutaan dolar harus terus dikucurkan.
Melihat kondisi ini, FBI akhirnya memanggil seorang anak muda bernama Chad Fulgham untuk mendengarkan pendapatnya bagaimana Sentinel ini bisa diselesaikan dengan cara yang lebih cepat dan lebih murah. Fulgham bersedia membantu FBI dan meminta agar diberikan otoritas dalam pekerjaannya apabila ada pengambilan keputusan yang harus dilakukan.
Dari situ Fulgham mengadopsi pendekatan agile dalam meneruskan pengembangan Sentinel yang akhirnya selesai dalam waktu hanya 1 tahun dan menelan biaya jauh di bawah hasil audit, yaitu hanya US$ 20 juta.
Fulgham memberikan pendapatnya mengenai alasan proyek Sentinel bisa molor pada saat sebelum dia turun tangan. Penyebab utamanya adalah FBI terlalu berusaha merencanakan semuanya secara detail dan utuh di awal proyek (big bang). Namun, kenyataannya, dalam mengembangkan perangkat lunak prosesnya mengandung banyak ketidakpastian (uncertainty), sehingga membutuhkan banyak adaptasi dan fleksibilitas terhadap perubahan yang akan muncul. Karena agen FBI tidak pernah menggunakan Sentinel dan tidak ada perangkat lunak serupa ini sebelumnya, jadi sangat sulit untuk merencanakan semuanya secara menyeluruh.
Karena itu, Fulgham mengubah cara kerjanya menjadi iterative, yaitu pengembangan Sentinel dengan cara membuat satu fitur tertentu dan membiar agen FBI mencobanya langsung, sehingga apabila ada kekurangan dan feedback dari agen, Fulgham dan tim bisa langusng memperbaikinya (fail-fast). Selain itu, apabila suatu fitur dinyatakan sudah selesai, Fulgham dan tim akan meneruskan penambahan fitur lainnya secara incremental.
Cara bekerjanya juga ikut berubah, yang dulunya antara tim Sentinel tidak saling berkolaborasi, setelah Fulgham bertanggung jawab, Fulgham dan tim bekerja bersama-sama dengan agen FBI di satu ruangan bersama untuk memudahkan kordinasi dan komunikasi. Perubahan cara kerja dengan gaya agile inilah yang menjadi kunci keberhasilan dari penyelesaian Sentinel.
Tantangan Kabinet Agile
Perubahan yang sangat cepat dan ketidakpastian menjadi highlight di era disruptif ini, sehingga usul membentuk kabinet agile menjadi masuk akal. Memimpin suatu lembaga pemerintahan seperti kementerian tentu akan sangat berbeda dengan memimpin perusahaan sendiri yang jumlah karyawan jauh lebih sedikit dengan DNA-nya yang sudah startup.
Beberapa tantangan yang sangat mungkin terjadi adalah:
- Penerapan fail-fast, karena di lingkungan pemerintahan sangat tabu dan anti dengan kesalahan, dan menghindari risiko.
- Lembaga pemerintah menerapkan konsep eselon dengan pangkat dan umumnya membuat eselon di bawahnya menjadi segan dalam berkomunikasi dan lebih mengikuti kata atasan (“asal bos senang”). Padahal agile mendorong komunikasi terbuka yang didorong dengan kepercayaan .
- Mengubah gaya kepemimpinan command-and-control menjadi servant leadership yang mengutamakan keberadaan tim dan atasan yang memberikan keteladan dan contoh kepada timnya (lead by example).
- Birokrasi yang mengutamakan paperwork ketimbang hasil untuk menghindari cacat administrasi yang dapat berakibat panjang, seperti menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hingga menjadi kasus hukum. Kondisi ini membuat tim menjadi tidak berani mengambil risiko dan akibatnya roda pemerintahan berjalan bukan berdasarkan hasil, namun sempurnanya administrasi.
Tentu banyak yang akan tidak nyaman dengan perubahan ini, namun dasar dari perubahan menuju agile memang ada di sisi manusianya, bukan sekadar ruangan kerja yang open space dan slogan-slogan visi misi perusahaan menuju agile yang terpampang di lobi-lobi kantor.
Seperti Apa Sosok Agile?
Muncul nama-nama di balik suksesnya startup company yang diusulkan menjadi menteri di kabinet berikutnya, seperti Nadiem Makarim (Gojek), Achmad Zaky (Bukalapak), dan lainnya. Namun, apakah dari kabinet sekarang sudah ada sosok-sosok yang bergaya agile? Tentu sudah ada, sebut saja Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan) dan Sri Mulyani (Menteri Keuangan).
Apakah kriteria muda dan telah sukses membesarkan startup-nya jaminan keberhasil menjadi pemimpin di suatu kementerian? Belum tentu, karena hal terpenting dalam mendorong perubahan adalah sosok pemimpin yang tegas. Karena, walau bagaimanapun, nama-nama besar di balik startup belum memiliki pengalaman mengubah organisasi besar, terlebih lagi lembaga pemerintahan.
Apakah mereka mampu? Tidak ada yang bisa menjawab, selain kita mencoba fail-fast artinya carilah sosok yang masuk ke dalam semua kriteria agile dan ditambahkan unsur keberanian dan ketegasan, biarkan mereka bekerja, dan fokus terhadap kemajuan, target, dan hasil.
Kesimpulan
Belum banyak pemerintahan di dunia ini yang berpikir jauh dan berani membuat terobosan dengan membentuk kabinet agile, dan apabila era disruptif ini tidak diimbangi dengan kecepatan pemerintah dalam bekerja, suatu saat Indonesia akan ketinggalan lagi. Padahal saat ini adalah waktu emas dalam mengejar ketinggalan karena kita masuk dalam era Industry 4.0 yang penuh dengan perubahan yang cepat.
Penentuan sosok yang akan mengisi kabinet agile tentu harus orang yang mengerti dan menjiwai prinsip-prinsip agile, ditambah dengan karakter yang berani dan tegas. Sekarang adalah momentum terbaik bagi Indonesia untuk menyalip negara-negara lain yang masih berada di zona nyaman. Semoga Indonesia menjadi negara besar dan maju!
Baca juga
Saatnya Jokowi Memilih Kabinet Agile (Gesit dan Lincah) [Bagian 1]