Jumat, April 19, 2024

RKUHP: Dari Rasa Kolonial Kembali ke Zaman Batu

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Presiden Jokowi akhirnya mendengarkan suara publik soal penolakan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Presiden meminta penundaan pengesahan oleh DPR dan memerintahkan Menkumham untuk membahas kembali pasal-pasal yang dianggap bermasalah.

Kontroversi terkait RKUHP seiring pula dengan pro-kontra terhadap sejumlah RUU lain yang tengah digenjot pembahasannya oleh DPR pada sisa masa jabatannya. Di antaranya sebut saja revisi UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual).

Usulan untuk merevisi KUHP sudah muncul selama berpuluh-puluh tahun, mengingat kentalnya warisan kolonial dalam pasal-pasal criminal code tersebut. Sayangnya, alih-alih revisi membawa kita ke arah bangsa yang maju, justru akan menyeret kita kembali ke zaman batu.

Misalnya, digunakannya dalil “hukum yang hidup dalam masyarakat” (living law), apakah ini berarti hukum adat yang jumlahnya begitu banyak di tiap daerah? Bagaimana jika hukum adat itu sudah sangat ketinggalan zaman, tidak lagi sesuai dengan perikehidupan negara-bangsa yang modern?

RKUHP juga memperkuat kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan (aborsi), apapun alasannya. Padahal UU Kesehatan mengecualikan aborsi karena alasan kedaruratan medis atau korban pemerkosaan.

Yang lebih ironis adalah pasal denda terhadap gelandangan hingga sebesar satu juta rupiah. Hal ini bertentangan dengan amanat konstitusi, di mana Negara justru diharuskan untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar.

Sementara itu upaya progresif pemerintah untuk memasukkan korporasi sebagai pelaku pidana dalam RKUHP malah bisa berpotensi mengancam dunia usaha dan investasi. Pasal-pasal yang ada cenderung bersifat karet, tidak jelas rumusannya, sehingga sebaiknya diatur terpisah di luar RKUHP.

Ditambah lagi adanya pasal yang membahayakan demokrasi yaitu ancaman hukuman mati untuk terduga makar. Pasal makar kerap digunakan oleh penguasa otoriter sejak era kolonial untuk membungkam suara-suara kritis dari masyarakat.

Jika disahkan, RKUHP tidak saja akan memenjarakan lebih banyak orang, juga akan membawa negara demokrasi terbesar ketiga ini seperti Korea Utara. Kita tentu tak ingin dicemooh oleh bangsa-bangsa beradab di dunia kalau sampai RKUHP versi yang sekarang diloloskan oleh parlemen kita.

Pasal-pasal dalam RKUHP tidak saja mengancam keutuhan negara kesatuan, tetapi juga berpotensi menghancurkan iklim investasi dan pariwisata. Negara tetangga Australia telah mengeluarkan travel advice terhadap warganya yang hendak berlibur ke Indonesia lantaran adanya pembahasan RKUHP.

Kita mengapresiasi langkah bijak Presiden untuk menunda pengesahan RKUHP. Yang lebih penting lagi adalah membongkar pasal-pasal yang berpotensi menjerumuskan bangsa kita ke masa kegelapan. Kita menginginkan KUHP karya anak bangsa yang mencerminkan semangat kemajuan sebuah bangsa!

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.