Kamis, April 25, 2024

Pelaksanaan Ritual, Penghidupan Kembali Abangan

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.

Abangan: Pada tahun 1950an, seorang antropolog Amerika melakukan riset di daerah yang diberi nama Mojokuto. Clifford Geertz, nama antropolog itu, kemudian menuliskannya dalam satu buku etnografi yang tebal “The Religion of Java”.

Saya mengagumi detail dari buku ini. Ada banyak hal di dalamnya. Dari selametan hingga ke tuyul atau memedi. Yang saya kagumi adalah energi yang dicurahkan untuk membuat deskripsi yang demikian lengkap.

Dari sana kemudian Geertz merangkai semua data dan informasi yang dia dapat. Geertz merangkai kebudayaan sehari-hari orang Jawa dan kemudian menghubungkannya dengan peta politik Indonesia pada saat itu.

Hasilnya adalah sesuatu yang mempengaruhi pandangan ilmuwan sosial jauh hari ke depan — baik yang mengkritisinya maupun yang memakainya. Geertz menemukan ada tiga macam ‘aliran’ kebudayaan di dalam masyarakat Jawa: santri, priyayi, dan abangan. Ketiganya memiliki afiliasi politik yang berbeda dan juga basis ekonomi yang berbeda.

Mereka yang berlatar kebudayaan santri, pada umumnya cenderung memilih partai-partai politik Islam. Pada konteks tahun 1950an, itu adalah Masjumi, Nahdlatul Ulama, Persis, dan lain sebagainya. Para santri adalah pemeluk teguh agama Islam. Mereka umumnya adalah pedagang pribumi atau pemilik tanah yang cukup luas untuk ukuran pedesaan Jawa.

Para priyayi adalah golongan birokrat dan pegawai. Mereka umumnya memilih PNI dan partai-partai nasionalis lainnya. Para priyayi memiliki kepercayaan sendiri. Mereka adalah penganut Kejawen, mengikuti organisasi seperti Sri Sumarah, yang sekarang hampir tidak terdengar lagi.

Pada jaman Orde Baru, organisasi-organisasi ini dipaksa berhimpun sebagai aliran kepercayaan, yang tidak berada dibawah Departemen Agama. Mereka “dibina” dibawah Dinas Kebudayaan. Suharto sendiri diam-diam adalah penganut Kejawen. Hingga tahun 1990an dia mengubah dirinya menjadi santri. Untuk kepentingan politik (political expediency), tentu saja.

Terakhir adalah abangan. Mereka umumnya petani-petani miskin di pedesaan Jawa. Mereka tidak terlalu hirau dengan agama-agama monotheistik yang diakui negara. Mereka menganut kepercayaan campuran (sinkretis) yang ada unsur Hindu-Buddha dan juga Islam. Bahkan jika mereka sempat berkenalan dengan agama Kristen, mereka akan mencampurinya dengan Kristen juga.

Golongan abangan punya afiliiasi politik dengan PKI. Ini karena sesungguhnya abangan adalah kelas proletariat Jawa. Mereka petani tuna kisma (tak bersawah). Sebagian dari mereka ke PNI, terutama jika mereka mengikuti afiliasi politik pemilik tanah tempat mereka menyakap.

Banyak orang tentu tidak membaca Geertz dengan teliti. Apalagi menikmati detail etnografinya. Mereka hanya tahu “teori” Abangan-Santri-Priyayi tersebut. Tanpa pernah mengenal basis kebudayaan dan basis ekonomi ketiga golongan ini.

Sebagaimana ilmu-ilmu sosial, Geertz menawarkan perspektif. Tidak tanpa kelemahan. Namun, generalisasi-nya ini cukup solid untuk menangkap fenomena pada saat penelitian itu dia lakukan. Bahkan jejak-jejaknya pun masih ada hingga sekarang.

Apakah tipologi ini masih berlaku? Sulit untuk menjawabnya hanya dengan sebuah status Facebook :P Tetapi ada banyak hal yang berubah. Misalnya pada saat ini, golongan priyayi sudah menjadi sedemikian santri.

Santrinisasi birokrasi, menurut beberapa ilmuwan sosial, terjadi pada masa Orde Baru. Saat itu, sebagian besar mereka dimasukkan ke dalam Golkar.

Priyayi seperti yang kita kenal pada tahun 1950an sudah punah. Organisasi-organisasi kepercayaan Jawa juga sudah menghilang.

Sekalipun terjadi santrinisasi terjadi di kalangan birokrasi, kita tidak mengenal santri seperti yang ada pada tahun 1950an. Organisasi-organisasi Islam yang baru bermunculan. Orthodoxy saja tidak cukup. Organisasi Islam yang berpegang pada orthodoxy seperti Nahdlatul Ulama harus berhadapan dengan fundamentalisme yang datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Organisasi Islam modernis seperti Muhammadiyah harus berhadapan dengan organisasi semacam Hizbut Tahrir yang menawarkan wajah Islam yang lain.

Selain golongan priyayi yang musnah, saya juga pernah mengira bahwa orang Jawa tidak lagi menjadi Abangan. Islamisasi telah berlangsung di pedesaan Jawa secara intensif dan massif. Orang Jawa sudah tidak lagi membakar dupa atau mempersembahkan sesajen.

Namun, foto yang saya dapati ini menggambarkan sesuatu yang lain. Dari informasi yang saya dapat, foto ini diambil pada proses penghitungan suara. Kandidat-kandidat merasa perlu untuk ‘mengawal’ perhitungan suara ini dengan kekuatan spiritual.

Melihat situasi di Indonesia saat ini, banyak komentar yang mengutuk laku spiritual orang-orang Jawa ini. Tentu saja karena dianggap menyalahi kaidah.

Untuk saya, ini sesuatu yang menarik. Ternyata masih ada orang Jawa (abangan) yang melakukan ritual seperti ini. Juga melihat kemenangan Jokowi yang sangat besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian Mataraman, adakah ini mengandung muatan sosiologis tertentu?

Saya kira, saat ini kita perlu mengkaji ulang banyak hal dalam kehidupan masyarakat kita. Tentu, mustahil untuk menghidupkan kembali Jawa yang abangan. Kita mungkin perlu meninjau proses sinkretisasi yang sudah dan akan terjadi.

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.