Kamis, Maret 28, 2024

Memahami Gejolak Batin Indonesia

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah

Tak mudah membaca dan memahami buku yang baru saya terima dua hari lalu (Sabtu pagi, tepatnya pukul 10.30). Kemudian baru saya baca dengan serius pada malam hari, selepas menanggulangi kelelahan fisik yang tidak juga berhasil saya tanggulangi.

Mengapa menjadi tidak mudah memahaminya, pertama, buku ini jenis tulisan lepas yang bersifat reflektif dari penulis. Dibutuhkan beberapan kerutan pada dahi dan seputaran kening saya untuk memahaminya lebih jauh. Kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh David K. Alka, membaca batin Indonesia memang tak mudah, apalagi menuliskannya.

Bung Riki Dhamparan Putra (RDP) melakukan itu dengan piawai. Esainya mengalir dengan tajam dan meloncat-loncat “nakal dan jenaka” mengajak kita untuk menjalankan nalar dengan kegembiraan.

Singkatnya, sebuah tulisan yang keluar dari pakem tradisional dalam menulis. Tapi saya memahami dan menyadari, bung RDP adalah seorang penyair dan esais yang kuat. Tulisannya sangat reflektif dan tajam serta mengajak pembaca merenung dengan meloncat pada satu titik substansi kepada titik substansi lainnya.

Saya hanya akan menyentuhnya pada sebagian kecil dari buku yang sangat luas pembahasannya ini. Ya, buku Suaka-Suaka Kearifan. Ini terutama disebabkan keterbatasan saya dalam membaca dan memahaminya, semoga para pembaca, dan terutama RDP tidak terlalu kecewa.

Dalam episode Mencari Umbu, Mencari Umbu Mencari Suaka Waktu RDP menulis (hal. 5-10), “… seorang guru pada hakikatnya adalah tali penyambung peradaban. Memuliakan guru pada dasarnya merupakan sebentuk harapan untuk terus memuliakan ilmu dan peradaban”.

Pada bagian akhir dari episode ini, RDP menuliskan “… Kiranya, diri itu pula yang dilewatkan dalam model pengajaran di sekolah formal kita, dan secara umum juga dialpakan dalam dinamika kontemporer kita. Tak heran, kalau yang diproduksi dari dunia Pendidikan kita kebanyakan adalah SDM yang tidak tahu akan dirinya. Dalam beberapa kasus malahan tidak tahu diri”.

Dua kutipan saya di atas, tidaklah berjalan beriringan dalam teks yang ditulis RDP, kedua ide itu dipisahkan oleh deskripsi yang mengembara ke sana-sini tetapi bertemu dalam pelaminan makna yang sahih.

Ide pertama menjelaskan sesuatu yang secara empiris telah diuji dan teruji berabad-abad lamanya dalam perputaran dunia semesta jagat raya. Bahwa guru adalah pewaris risalah kenabian yang mengembang tugas mencerahkan peradaban, sebagaimana tugas yang dijalankan para nabi-nabi yang menjadi utusan Tuhan.

Fungsi dan keberadaan guru dalam konteks kontemporer mendapatkan kritik yang tajam dari bung RDP dalam ide kedua. Pembelajaran yang dijalankan oleh guru di sekolah formal telah melupakan konsep diri pada individu peserta didik.

Regulasi pendidikan menjadikan peserta didik gagal mengenal dirinya sendiri, bahkan menjadi tidak tahu diri. Gagasan UNESCO dengan empat pilar pendidikannya, learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together, tidak berjalan dengan bermakna.

Akibatnya, individu peserta didik gagal memiliki pengetahuan bermakna, gagal menjalan perilaku bermakna dan gagal menjadi pribadi yang bermakna serta gagal menjalani kehidupan persama dengan penuh makna. Inilah bentuk kecelakaan dalam pendidikan yang menihilkan makna, konsekwensinya sangat serius bagi kehidupan, yaitu krisis kemanusiaan pada mahluk manusia.

Suatu ironi, karena bagian paling berharga gagal tumbuh dan berkembang dalam diri individu manusia. Singkatnya mereka belajar tanpa makna. Seolah ingin melanjutkan episode ini, pada episode ke duapuluh lima, Mencari Guru (halaman: 134-137), RDP menegaskan kembali sosok guru dalam kehidupan dan keilmuan.

Sambil menjelaskan situasi pada tiga kesultanan Islam (Ustmaniyah Turki, Mughal India, Safawi Persia) yang terus mengalami kemunduran disebabkan ilmu dan keilmuan tidak menjadi perhatian lagi, sehingga peradaban menjadi melemah.

RDP mengatakan “… tatkala pengawalan politik melemah, diperlukan pengawalan ilmu oleh para guru atau alim ulama untuk menjaga peradaban dan ilmu agar bisa terus ditransfer kepada generasi penerusnya. Atas dasar itu, maka layaklah bila kita katakan, guru adalah penyambung tali peradaban. Kehilangan guru dapat membuat masyarakat kehilangan peradaban”.

Bangsa bangsa besar di dunia selalu berangkat dari praktek pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Apakah pendidikan itu mencangkok model Barat atau berangkat dari akar tradisi dan budaya masyarakatnya, tidak terlalu penting. Tetapi ia harus diterapkan dengan sungguh-sungguh. Dalam konteks itu, maka pendidikan yang baik mensyaratkan adanya guru yang baik.

Guru yang baik selalu memberi perspektif bagi generasi yang didiknya. Ia memberikan oase bagi kehidupan masa depan. Guru “memprediksi” masa depan anak didiknya dan bangsanya. Peradaban suatu masyarakat dan bangsa dapat tercabik-cabik dalam roda pembangunan dan persaingan antar masyarakat dan bangsa di dunia, jika guru tidak hadir dalam ritual yang sangat mulia.

Studi Samuel P. Huntington (1990) yang mengkomparasikan antara Korea Selatan dengan Ghana dalam persoalan pembangunan nasionalnya, menyebutkan bahwa keberhasilan Korea Selatan dan kegagalan Ghana di sebabkan yang satu menerapkan praktek pendidikan nasionalnya bebasis pada kebudayaan bangsanya, yang satu lagi menerapkan praktek pendidikan nasionalnya dengan mencangkokkan model pendidikan Barat.

Sesungguhnya, Korea selatan sangat serius dalam menjalankan pendidikan bagi anak bangsanya, sementara Ghana tidak serius menerapkannya. Hasilnya menjadi sangat berbeda, yang satu menjadi negara industri besar di kawasan Asia dan bahkan dunia, yang satunya tetap menjadi pesakitan di Afrika. Padahal kedua negara ini memulai pembangunannya bersamaan waktunya pada tahun 1960an.

Bagian lain yang menarik untuk dikemukakan adalah pada episode Ngontrak  Warisan Budaya Dunia (halaman: 42-49). RDP mengemukakan pandangan kritis mengenai pembangunan dan dampaknya bagi masyarakat yang selalu berujung kepada krisis kemanusiaan modern.

Perkembangan pembangunan telah mendorong masyarakat ke titik paling jahiliyah. Yakni kekosongan rohani, darimana seharusnya manusia mendapatkan kekuatan untuk mengkritisi, menyangsikan serta melakukan pembaharuan terhadap tindak-tanduk kebudayaannya”. Kritik semacam ini telah berlangsung sepanjang empat dekade terakhir ini di negara kita dan diberbagai belahan dunia, menjadi semacam “anjing menggonggong kafilah berlalu”.

Pembangunan selalu menjadi variabel kompleks dari tarik menarik kepentingan kesejahteraan versus ketidakadilan, kepentingan ketertiban politik atas nama ideologi pembangunan versus kebebasan berkehendak, kepentingan eksploitasi lingkungan versus pelestarian lingkungan.

Tidak mengherankan jika sejak lama Peter L. Berger, sosiolog asal Amerika Serikat dalam karyanya, Piramid Korban Manusia, (sambil mengkritik tradisionalisme juga) menguraikan bahwa modernisasi selalu menuntut korban-korban kemanusiaan.

Isu pembangunan dan modernisasi telah merusak lingkungan dan bahkan para penghuninya, manusia. Lingkungan mengalami degradasi yang akut dan mendalam, para penghuninya juga mengalami kerusakan moral yang tidak kalah akut dan mendalamnya, akibat sikap pragmatisme yang tumbuh bersamaan pembangunan itu dilaksanakan. Kebudayaan manusia menjadi direduksi ke dalam kebudayaan material yang menyingkirkan nalar kebatinan manusia yang berbudaya itu.

Dalam rezim pembangunan semacam itu, selalu saja situasi memasuki fase kerusakan moral bangsa. Angka korupsi meningkat tajam, lingkungan rusak dan modal asing menjadi semacam perempuan molek yang sangat menarik untuk di hampiri. Saya kira negara memiliki pengalaman yang sahih sejak era Orde Baru, yang napak tilasnya masih dengan jernih bisa kita telusuri sejak hari ini. Dampaknya, tidak diragukan masih membayangi pembangunan nasional kita sampai hari ini dan tentu saja di masa yang akan datang.

RDP dalam Suaka Suaka Kearifan telah menyampaikan kepada kita semua akan pentingnya gagasan orisinal dalam memandang dialektika pembangunan, kemanusiaan dan peradaban. Melalui karyanya, ia mengingatkan kita bahwa tugas menjaga kehidupan dan energi bangsa adalah tugas kita semua dan itu ritual yang sangat mulia.

Selamat kepada bung RDP, yang telah menuangkan gejolak kebatinannya dengan sangat elegan, karyanya akan dibaca oleh banyak anak bangsa sebagai penggerak peradaban masa depan.

Desvian Bandarsyah
Desvian Bandarsyah
Dekan FKIP UHAMKA dan Intelektual Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.