Alangkah bijaksana bila mulai saat ini seluruh rakyat Indonesia berhenti memplesetkan nama Prabowo menjadi Prabohong. Prabowo bukan tipe orang yang suka bohong. Ia justru seorang yang bicara apa adanya. Bahkan tak jarang tampil lugu.
Lidah Prabowo tidaklah digunakan untuk tipu-muslihat. Setiap ia berujar maka setiap itu pula kebenaran muncul. Hanya saja, masalahnya, kita tidak tahu cara memahami pernyataan-pernyataannya. Pembuktian tentang kejujuran Prabowo bermula ketika ia berkali-kali mengatakan, “Tanah di Republik dikuasai oleh segelintir elit!”. Sebagian orang mengatakan pernyataan tersebut sebagai strategi kampanye saja. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya beliau bicara jujur belaka.
Ketika mengatakan soal ‘segelintir elit’ tersebut, Prabowo tidak sedang menyerang pemerintah. Komedian Cak Lontong benar, kalimat Ia itu tidak bertujuan mencari perhatian publik dalam rangka kampanye. Ketika Jokowi mengatakan bahwa Prabowo menguasai begitu luas lahan di Kalimantan, kita lantas terkejut bukan main, karena barulah saat itu kita semua sadar, ternyata selama ini beliau sedang pamer: Dialah elit yang hanya segelintir itu.
Kejujuran Prabowo tidak itu saja. Beberapa waktu lalu, untuk ke sekian kali, Prabowo kembali bicara apa adanya: Yang ingin mengganti Pancasila berhadapan dengannya. Pernyataan itu sebenarnya bukan berarti bahwa Prabowo akan melawan siapa saja yang berniat mengganti Pancasila. Melainkan maksudnya: beliau sekadar menginformasikan bahwa orang-orang yang ingin mengganti Pancasila berhadapan dengannya. Ia sedang berusaha jujur.
Berhadapan di sini berarti ada di dekatnya, terlihat jelas oleh kedua matanya, saling tatap muka, dan barangkali juga maksudnya: telah membuat kesepakatan. Dengan demikian, bila sebelum ini kita menduga bahwa Prabowo akan turut melawan kelompok yang akan mengganti Pancasila, maka artinya kita lagi-lagi telah keliru memahami pernyataannya. Yang sebenarnya justru: Beliau mengakui dengan jujur bahwa ia dekat dengan kelompok tersebut.
Sekadar pengingat bagi kita semua: rekam jejak kejujuran Prabowo sebenarnya sudah begitu panjang. Ketika ia mengatakan jiwa nasionalismenya tinggi, maka tidak ada yang keliru sedikit pun dari pernyataan itu. Nasionalismenya memang tinggi. Saking tingginya, bahkan mengawang-ngawang di langit, dan tidak pernah sampai ke tanah Indonesia. Dengan begitu, Ia sudah jujur bahwa nasionalismenya adalah nasionalisme yang datang dari atas ke bawah, bukan nasionalisme yang tumbuh dari bawah ke atas. Dari puncak tertinggi nasionalismenya itulah ia meneropong kondisi rakyat Indonesia.
Maka, wajar saja, setiap kali Prabowo bicara soal kebangsaan, keindonesiaan, kesatuan, dan sebagainya, betapa terlalu rendah posisi kita di hadapannya. Semakin ia bicara tentang masa depan Indonesia, maka semakin naiklah ia ke langit dan semakin kerdillah kita sebagai bangsa Indonesia terlihat jadinya. Semakin terus ia berpidato dengan suara lantang maka semakin hilang-lenyap kita darinya. Seperti roket yang telah lepas-landas, dia melesat menuju nasionalismenya sendiri, dan dalam waktu sekejap saja kita sudah ditinggalkannya sebagai debu di negeri ini.
Selain itu, Prabowo sering mengatakan semakin banyak “orang asing” di Indonesia. Ia sesungguhnya benar, bahkan di saat yang sama ia sedang memamerkan diri sendiri serta kelompoknya. Saat Prabowo mengolok-ngolok tampang Boyolali dan tampang Grobogan, sesungguhnya ketika itu Prabowo sedang memamerkan kualitas terbaiknya sebagai “orang asing” di Indonesia. Hanya orang dengan tingkat keasingan setinggi itulah yang mempunyai kemampuan mengolok-ngolok raut muka bangsanya sendiri.
Berbekal keasingan itu ia dengan fasih meledek perilaku rakyat kelas bawah Indonesia yang tidak sesuai dengan moral kelas atasnya. Bahkan, ia dengan bangga merendahkan fisik Joko Widodo sebagai tampang ndeso. Lagi-lagi, Prabowo sedang bersikap apa adanya. Tak ditambah dan juga tak dikurangi. Begitulah aslinya Prabowo: asing dari kondisi rakyatnya, asing dari sejarah negaranya, bahkan asing dari masa depan negerinya.
Prabowo Subianto tidak sendiri. Pasangannya pun, Sandiaga Uno, adalah “orang asing” di Indonesia. Harus kita akui bahwa sangat sulit menilai mana yang lebih asing Prabowo atau Sandiaga terhadap negerinya sendiri. Namun, yang jelas, keduanya menunjukkan kompetensi yang tak perlu diragukan lagi sebagai “orang asing”. Saat mengunjungi pasar tradisional di berbagai daerah di Indonesia, Sandiaga menunjukkan keterasingannya terhadap perkembangan tempe di Indonesia. Terkejut Sandi terheran-heran melihat tempe dengan irisan kecil sehingga dalam pikirannya terbayang kartu ATM.
Tak kalah terkejut dan terheran-heran lagi Sandi ketika melihat tempe dalam irisan tebal, sehingga dalam pikirannya terbayang telepon, dan dengan sigap diambilnya tempe itu lalu ditempelkannya ke telinga layaknya sedang menelepon. Bahkan kualitas keterasingan Sandi semakin meningkat pesat ketika ia terkesima melihat tempe ternyata dibungkus dengan daun pisang.
Sungguh, hanya orang yang sangat asing dengan kehidupan rakyat bawahlah yang akan terheran-heran dengan khazanah tempe di Indonesia. Apalagi ketika ia mengatakan dengan bangga bahwa ia menemukan fakta hebat bahwa tempe sangatlah beragam dan sangat diminati rakyat Indonesia, maka itu merupakan sebuah pengakuan atas kesahihannya sebagai “orang asing” di negeri sendiri.
Sampai kini Prabowo ataupun Sandi masih konsisten dengan sikap seperti itu. Kejujuran Prabowo Subianto teranyar adalah ketika ia mengatakan akan kembalikan kekayaan rakyat Indonesia. Ia benar. Memang dirinyalah yang pantas mengembalikan kekayaan rakyat Indonesia, sebab memang dialah yang selama ini terang-terangan merampasnya. Beliau sungguh tidak keliru: Hanya orang yang telah mengambil yang patut mengembalikan.
Dengan bicara apa adanya, bahkan lugu, Prabowo mengisyaratkan bahwa sebagian besar kekayaan kita sebagai bangsa sedang berada di bawah sepatunya. Kebebasan berpendapat adalah kekayaan bangsa yang semestinya kita nikmati sekarang ini secara maksimal, tetapi sebagiannya sudah dirampas Prabowo dari para aktivis di penghujung abad 20. Hidup tenang di antara para pemeluk agama adalah kekayaan yang tak ternilai dari bangsa ini, tapi dirampas Prabowo melalui kelompok garis keras yang sedang bersekutu dengannya.
Persamaan hak sebagai warga negara meskipun berasal dari etnis yang berbeda-beda adalah kekayaan yang tak terukur dengan apapun bagi bangsa ini, namun Prabowo telah merampasnya dengan cara memberikan tempat-tumbuh bagi sentimen identitas antar rakyat Indonesia. Menjadi warga negara yang hidup tanpa kecemasan adalah kekayaan turun-temurun bangsa kita, tapi Pak Prabs merampasnya berkali-kali dengan cara menyebarkan ketakutan bahkan membiarkan pendukungnya menjadikan kontestasi politik sebagai perang besar.
Itulah sedikit-banyaknya kekayaan Indonesia yang harus dikembalikan Prabowo Subianto. Syukurlah Prabowo sendiri sudah bertekad untuk mengembalikannya dan tak masalah bila kita terus-terusan menuntutnya. Mulai sekarang, sebagai orang paling jujur di Indonesia, Prabowo harus mengembalikannya secara utuh tanpa dicicil sedikitpun, bahkan tak perlu harus repot-repot jadi presiden segala.
Alkisah, pada suatu zaman, di sebuah negeri yang terkenal aman-tentram, tersiarlah kabar tentang hilangnya seekor angsa milik salah seorang rakyat. Setelah berhari-hari, tidak diketahui siapa pencurinya. Tidak ada satupun yang mengaku. Pemimpin negeri itu juga bingung memecahkan masalah itu. Akhirnya, pemimpin yang bijaksana di negeri itu mengumpulkan semua rakyat di sebuah tempat. “Alhamdulillah, sekarang kita sudah tahu siapa pencuri angsa itu,” kata sang pemimpin. Rakyat menjadi tidak sabar menunggu siapakah orangnya. “Sekarang, pencuri itu ikut berkumpul bersama-sama kita,” lanjut sang pemimpin.
Rakyat pun saling melihat satu sama lain tapi tak ada yang mengaku, hingga suasana menjadi gaduh. “Tenang rakyatku sekalian. Di atas kepala pencuri tersebut ternyata masih tertinggal sehelai bulu angsa yang hilang itu,” kata sang pemimpin. Ketika sang pemimpin mengatakan itu, tiba-tiba seseorang dari rakyat tersebut terlihat langsung memeriksa kepalanya. “Nah, itulah pencurinya,” kata sang pemimpin sambil menunjukkan orang tersebut. Maka, dengan begitu, terbongkarlah teka-teki pencurian angsa di negeri tersebut.
Di Indonesia, dalam suasana menjelang Pilpres ini, sehelai bulu angsa itu tidak sekadar tertinggal di kepala para tokoh politik kita, melainkan dengan gamblang mereka jadikan sebagai perhiasan diri. Dengan demikian, seseorang yang sudah terbukti jujur seperti Prabowo Subianto tak perlu dibuktikan lagi, kita tak perlu repot-repot membuat tak-tik sebagaimana yang dilakukan sang pemimpin itu.