Rabu, April 24, 2024

Ganja dan Negara

Saroel
Saroel
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kolumnis di Geotimes.

Beberapa waktu lalu, tepat pada tanggal 26 Juni, diperingati sebagai Hari Anti Narkotika Internasional (HANI), hari dimana kita memperingati bahwa narkotika merupakan musuh dari kemanusiaan yang jelas berdampak buruk terhadap kehidupan sosial kita.

Pada hari itu juga, ditangkapnya kasus perdagangan opium oleh Lin Zexu, yang telah beroperasi hampir satu dekade yakni 1785-1851 di Humen, Guangdong, Tiongkok. Momen penangkapan kasus perdagangan opium oleh Lin Zexu ini dijadikan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) untuk mencanangkan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) pada tanggal 26 Juni pada tahun 1988.

Sejarah dan latar belakang dari ditetapkannya Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) memiliki korelasi yang erat hubungannya dengan negara, karena memang Lin Zexu merupakan seorang pejabat pemerintahan yang hidup pada masa Kaisar Daoguang dari Dinasti Qing, seseorang yang keras menentang perdagangan opium di Tiongkok oleh bangsa-bangsa lain, terutama oleh Inggris.

Fidelis, Ganja dan Sejakala Hukum Indonesia

Sebelum kepada pembahasan yang lebih jauh, mungkin apa yang menimpa pada Fidelis dapat menjadi gambaran mengenai situasi kita hari ini. Ya, Fidelis Ari Sudarto, seorang laki-laki yang berjuang untuk menyembuhkan istrinya, Yeni Riawati, yang terkena Syrigomyelia, penyakit langka berupa tumbuhnya kista pada sumsum tulang belakang pada tubuhnya.

Fidelis pun setidaknya menanam 39 pohon Ganja di halaman belakang rumahnya, dan meracik sendiri tanaman Ganja tersebut untuk obat bermodalkan informasi yang dia dapatkan dari internet.

Usahanya ini mulai menuaikan hasil, keadaan istrinya, Yeni, perlahan mulai membaik, terasa mulai signifikan; mulai dari nafsu makan yang membaik, hingga sudah mampu bergerak sedikit demi sedikit. Meskipun keadaan mulai melihat titik terang, justru malapetaka terbesar baru akan dihadapi oleh Fidelis dan Istrinya.

Pada 19 Februari 2017, Fidelis ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau di kediamannya, Fidelis ditangkap dengan alasan memenuhi unsur pada Pasal 111 dan 116 UU nomor 35 tentang Narkotika.

Tak usai sampai situ, pada tanggal 25 Maret 2017, Fidelis harus rela mendengar kabar bahwa istrinya telah meninggal dunia.  Meskipun demikian, persidangan demi persidangan terus berjalan, hingga tepat pada Rabu, 2 Agustus 2017, merupakan hari dimana kemanusiaan dan rasa cinta dikalahkan oleh instrumen negara —hukum. Fidelis dinyatakan bersalah dengan vonis majelis hakim delapan bulan penjara dan denda 1 miliar subsider satu bulan.

Kontrol Negara dan Perjuangan

“Saya ingin mengatakan kalau negara ini bersikap mubazir, karena itu perjalanan panjang bermanfaat, tapi kok kita menutup diri? Menyia-nyiakan sesuatu yang diberikan! Kita harus memanfaatkan, itu lebih utama daripada melegalkan”

Kutipan diatas merupakan statement dari Dhira Narayana pada acara Rosi yang bertajuk Ganja: Mitos atau Fakta, yang dilaksanakan pada 6 Februari 2020 lalu. Dhira merupakan lulusan Psikologi UI, yang juga dapat dikatakan sebagai aktivis Ganja. Dhira berada di Lingkar Ganja Nusantara (LGN) yang didirikan pada Juni 2010 ini, aktif membicarakan ide-ide tentang legalisasi dan manfaat ganja bagi bangsa.

Dhira bersama Lingkar Ganja Nasional (LGN), merupakan antitesis dan berupaya melawan negara, dimana negara terus mengartikulasikan nilainya dalam melihat Narkotika (dalam hal ini, secara spesifik adalah Ganja), dan mengontrol masyarakatnya untuk sesuai dengan apa yang diinginkan negara. Tania Li (2005) dalam Abrams (1998) telah mengatakan bahwa Negara bukanlah fakta sosial, melainkan klaim, sebagaimana yang diungkapkannya, “the state is at most a message of domination—an ideological artifact attributing unity, morality and independence to the disunited, amoral and dependent workings of the practice of government”.

Perlu diingat, bahwa negara memiliki skema hukum untuk melarang ganja yang diatur dalam UU Narkotika No. 35 Tahun 2009, ganja dimasukan dalam narkotika golongan 1, yang mana artinya memiliki kandungan yang berbahaya dan perlu pengawasan yang ketat, sekalipun untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan.

Bagi LGN, sikap negara terhadap ganja ini bukanlah upaya yang efektif dan ekonomis, justru LGN mempertanyakan mengapa negara menggolongkan ganja sebagai bagian dari narkotika golongan 1, padahal belum pernah ada riset mumpuni yang secara intens membahas soal Ganja. Hal tersebut memancing rasa skeptis bagi LGN yang diwakili oleh Dhira dalam podcast Dedy Corbuzier di Youtube, dan menyatakan bahwa hal tersebut ada hubungannya dengan kepentingan politik.

Hal ini sejalan dengan logika simplifikasi James C. Scott (1998) dalam bukunya yang berjudul Seeing Like a State yang menyatakan bahwa negara dalam hal yang dilakukan, selalu berdiri atas dasar simplifikasi, dimana simplifikasi negara ini adalah upaya penyederhanaan realitas dan kenyataan yang kompleks agar lebih mudah untuk diatur dan mengontrolnya.

Jika dalam hal ini adalah ganja, negara tidak melihat ganja sebagai sesuatu yang perlu untuk dilihat secara spesifik kandungan dan fungsinya secara ilmiah, namun lebih kepada didasari pada justifikasi asumtif bahwa ganja tidak memiliki manfaat dan berkecenderungan merugikan; secara kesehatan maupun moralitas.

Padahal dalam buku Hikayat Pohon Ganja, LGN menyatakan bahwa ganja memiliki hubungan yang akrab dengan masyarakat nusantara, contoh yang paling sederhana adalah pada masyarakat Hindu Bali yang tercatat dalam kitab Ayurveda (kitab pengobatan Hindu), dimana ganja merupakan salah satu obat terbaik. Bahkan di Aceh, secara budaya memang sudah terbiasa mengkonsumsi ganja sebagai makanan, dan telah lama digunakan oleh penduduk setempat sebagai bumbu masakan dengan cara mengolah biji dari tanaman ganja dengan bumbu dasar masakan.

Kenyataan sejarah tersebut mungkin saja sengaja dinafikan oleh negara, sebagaimana yang diungkapkan Scott (1998), bahwa negara melihat segala sesuatunya sebagai blank slate, yakni sebagai sesuatu yang bisa diciptakan; ditulis dan dibangun sesuai dengan keinginan negara.

Dalam konteks ganja ini, negara justru bersikap konservatif; memalingkan muka terhadap sains dan riset-riset akademis, dan memilih menjadi instansi yang melanggengkan dogma dengan dasar-dasar moralitas. Sikap LGN jelas, yakni membuka seluas-luasnya posibilitas yang memungkinkan dari ganja, maka dari itu, LGN mendorong pergeseran paradigma dalam melihat ganja sebagai sesuatu yang bermanfaat, bukan untuk dilegalkan.

Sehingga dengan apa yang terjadi pada Fidelis, seharusnya bisa menjadi momen rekonstruksi penggunaan ganja sebagai medis dengan pengaturan yang lebih mutakhir dan aplikatif dengan memperhatikan fakta penelitian keilmuan. Namun apa daya, Negara, simplifikasi dan instrumen hukumnya berada selangkah di depan ketimbang sains dan kemanusiaan. Sebagaimana konsep Foucault mengenai governmentality dalam Tania Li (2005), bahwa cara baru negara berpikir adalah“right manner of disposing things”.

Dengan demikian, fungsi negara yang pada hakikatnya untuk melindungi warga negaranya, justru memonopoli dengan instrumen hukumnya, menegakkan narasi tunggal dan terus mengartikulasikan nilainya. Lantas, apakah ganja semenakutkan itu bagi kita semua?

Saroel
Saroel
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia. Kolumnis di Geotimes.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.