Sore itu aku berada kampus untuk sekedar nongkrong bersama teman-teman. Sore itu juga kebetulan hujan deras dan rokok kami juga telah habis. Tak ada yang mau keluar untuk memberli rokok karena memang tidak ada yang bawa mantel. Salah satu teman menawarkan solusi dengan menggunakan jasa Grab. Di sana ada fitur Grab Asisten, yang memungkinkan kita untuk meminta bantuan kepada pengemudi grab untuk membeli barang. Walhasil, masalah kami selesai. Dalam beberapa menit, rokok pasti datang.
Saya membayangkan bagaimana kala itu, ketika kami kehabisan rokok dan belum mengenal atau bahkan belum ada teknologi jasa berbasis transportasi online semacam Grab atau Gojek. Mungkin saja diantara kami harus ada yang rela basah kuyup demi membeli sebungkus atau dua bungkus rokok. Teknologi punya andil cukup besar bagi kehidupan. Memberi kita kemudahan. Namun teknologi juga membuat kita semakin malas. Inilah dilema yang terjadi sekarang. Kita diberi banyak pilihan. Kita tidak punya kesempatan mengelak.
Perubahan pola bisnis memang banyak dipengaruhi oleh teknologi. Kemajuan teknologi membuat perusahaan-perusahaan layanan jasa tumbuh subur lewat aplikasi-aplikasi di ponsel pintar. Semua kecanggihan dan kemajuan teknologi yang hadir hari ini dapat kita rasakan manfaatnya. Memesan jasa angkutan, berkomunikasi secara instan, berbelanja tanpa perlu mengunjungi toko fisik. Katakanlah, Uber adalah perusahaan taksi (jasa angkutan) terbesar di dunia tanpa kendaraan, Facebook adalah perusahaan media paling popular yang tak bikin konten, lalu Alibaba, peritel bervaluasi tinggi tanpa inventaris.
Semua perusahaan itu hadir hanya sebagai perantara antara penyedia dan konsumen lewat sebuah aplikasi. Kehadiran perusahaan-perusahaan itu memang cukup membuat dilema usaha konvensional yang sudah berjalan di jalur yang sama. Sebagian bisnis konvensional dengan segala keterbatasannya, hari ini sedang mempertaruhkan eksistensinya.
Katakanlah, sosial media semacam Facebook, Twitter (kini X), dan Instagram yang justru kehadirannya mengancam eksistensi media cetak yang sudah mulai usang dan ditinggalkan pembacanya. Atau ojek yang hari ini mulai bergeser ke kecendrungan ojek online yang mulai diserap oleh uber dan aplikasi serupa, serta tutupnya kios-kios belanja konvensional karena hari ini persoalan usaha tidak memulu membutuhkan kios fisik.
Kita akan lebih banyak waktu tinggal dalam rumah, bekerja secara daring dengan komputer, berkomunikasi melalui video conference, melakukan olahraga di dalam rumah dengan mesin, sesekali bermastrubasi dengan bantuan teknologi virtual reality, lalu memesan makanan dengan aplikasi. Kita telah dikutuk dengan bayang-bayang kenikmatan masa depan. Atau malah akan menjadi dystopian?
Pernahkah kamu menonton sebuah video atau film karena Youtube atau Netflix merekomendasikan kepadamu? Atau pernahkan kamu menambahkan dan mengikuti seseorang di Facebook, Instagram dan Twitter dari daftar “orang yang mungkin kamu kenal?” dan bagaimana facebook atau X memutuskan status/tweet? mana yang akan ditampilkan di beranda kamu.
Platform media sosial tersebut bukan tanpa sebab melakukan hal-hal di atas. Platform tersebut didorong oleh sebuah program algoritma, yang memungkinkan memberi peringkat dan dapat merekomendasikan konten untuk kita berdasarkan data kita.
Di facebook, kabar terbaru yang berkeliaran di beranda kamu adalah hasil penyaringan dari jejak digitalmu. Yang muncul adalah update dari teman yang paling sering berinteraski dengan pengguna. Facebook juga menyaring kabar dari orang-orang yang punya kesamaan dengan penggunanya. Di saat bersamaan, facebook juga menjauhkan pengguna dari orang-orang yang tidak punya kesamaan secara algoritma.
Ini tentu saja karena tujuan utama dan fungsi algoritma facebook adalah untuk memudahkan melacak data, dan juga menghadirkan kemudahan untuk industri periklanan. Dengan algoritma, pengiklan dengan mudah menyasar pasarnya. Hal itu tak cuma terjadi di Facebook, media sosial lain dan mesin pencari juga melakukan hal yang sama. Lary Page, Chief Executive Google pernah bilang, “mesin pencari utama akan mengerti dengan tepat apa yang anda maksud, dan mengembalikan apa yang anda inginkan.”
Algoritma adalah resep digital. Semacam formula khusus untuk mencapai hasil, menggunakan seperangkat bahan. Biasanya, bagi perusahaan teknologi, capaiannya adalah menghasilkan uang dengan meyakinkan kita untuk membeli sesuatu atau membuat kita terus menggulir agar iklan dapat lebih banyak tampil di beranda kita.
Bahan yang digunakan adalah data yang kita berikan melalui tindakan seperti interaksi like, comment, dan pencarian, tanpa disadari atau tidak. Setiap kali kita menyukai postingan, menonton video, atau membeli sesuatu, kita sebenarnya telah memberikan data yang dapat digunakan untuk membuat prediski langkah kita selanjutnya.
Perkembangan teknologi dan internet memang dapat memberi kita banyak kemudahan, akses, kebebasan berekspresi dan lain sebagainya. Namun, ruang digital sebenarnya menyimpan kerentanannya.
Orang-orang pengguna media sosial atau yang biasa disebut netizen seringkali mengekspresikan dan membagikan berbagai hal lewat narasi, foto atau video tanpa bisa membedakan mana yang privat, rahasia, dan umum. Yang harus kita tahu adalah bahwa media sosial adalah ruang publik. Sebuah ruang baru yang lebih luas dan mempertemukan berhagai macam spektrum kebaharuan warna.