Sabtu, Oktober 18, 2025

Cari Pasangan “Sejak Masih Nol”

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
- Advertisement -

Pernyataan “cari pasangan sejak masih nol” terdengar romantis, namun sebenarnya mengandung paradigma keliru yang justru kontra-produktif. Mari kita telusuri secara runut mengapa argumen ini bermasalah dari pondasinya.

Pertama-tama, argumen ini berangkat dari mindset transaksional yang keliru, dengan memandang cinta seperti investasi finansial: “beli saat harga rendah, jual saat harga tinggi”. Padahal, hubungan manusia bukan transaksi ekonomi yang bisa direduksi menjadi kalkulasi untung-rugi. Dengan memperlakukan pasangan sebagai “aset yang diamankan sejak dini”, kita mengabaikan esensi cinta sejati yang tumbuh dari pilihan aktif sehari-hari, bukan dari “utang budi” masa lalu.

Lebih dalam lagi, pola pikir ini mengungkap ketidakdewasaan emosional yang mencari jaminan eksternal untuk ketidakamanan internal. Alih-alih mengelola ketakutan akan penolakan secara sehat, pemilik argumen ini justru berusaha mengontrol ketidakpastian masa depan dengan “mengikat” pasangan sejak dini. Ironisnya, upaya mencari kepastian ini justru menciptakan hubungan yang dipenuhi kecemasan dan ketidakpercayaan.

Tak berhenti di situ, argumen ini secara tak langsung menghambat pertumbuhan individu kedua belah pihak. Dengan berfokus pada “mengamankan” status quo, hubungan semacam ini cenderung menciptakan comfort zone yang mematikan potensi. Banyak pasangan yang akhirnya tumbuh menjadi orang yang berbeda di kemudian hari, menyadari bahwa ikatan yang dibangun sejak “nol” justru menjadi sangkar yang membatasi evolusi diri mereka.

Masalah semakin kompleks ketika kita melihat bias gender tersembunyi dalam argumen ini. Asumsi terselubung bahwa laki-laki harus sukses finansial dan perempuan harus bersedia “menunggu” merupakan warisan patriarki yang sudah ketinggalan zaman. Dalam realitas modern, partnership setara terbukti lebih sehat dan sustainable dibanding model provider-dependent yang tidak lagi relevan.

Yang paling ironis, argumen ini justru menciptakan self-fulfilling prophecy kegagalan hubungan yang ditakutkannya sendiri. Dengan berusaha mati-matian “mengamankan” pasangan sejak dini, justru tercipta hubungan berbasis ketakutan bukan cinta, menarik partner yang mungkin tidak kompatibel jangka panjang, dan berpotensi mengalami perceraian ketika ketidakcocokan tak terbendung. Data statistik pernikahan usia muda menunjukkan fakta pahit ini.

Lalu apa alternatif yang lebih sehat? Kita perlu beralih dari mindset scarcity ke abundance. Daripada menghabiskan energi mencari “jaminan” dengan timing yang tepat, lebih baik investasikan energi untuk menjadi pribadi yang matang dan partner yang baik. Fokus pada membangun relationship resilience melalui komunikasi dan pertumbuhan bersama, bukan pada mengontrol masa depan dengan “mengamankan” pasangan sejak dini.

Pada akhirnya, hubungan yang langgeng bukan ditentukan oleh kapan kita mulai, tetapi oleh bagaimana kita melanjutkan. Cinta sejati lahir ketika dua individu yang sudah relatif utuh memilih untuk tumbuh bersama, bukan ketika dua setengah pribadi saling mencari pelengkap karena takut kesepian. Percayalah bahwa dengan menjadi versi terbaik diri kita sendiri, kita justru akan menarik dan mempertahankan partnership yang bermakna dan sustainable.

Fahad Adzriel
Fahad Adzriel
Atau dikenal dengan nama asli Abdullah Hasanudin; Penulis, sekaligus seorang mahasiswa Islamic Studies of Islamic Open University, Gambia Afrika
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.