Sabtu, April 27, 2024

Tragedi Hardin, Kritik Ostrom, dan Demokrasi Indonesia

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.

Desember lima puluh tahun lalu, Garret Hardin menerbitkan sebuah artikel berjudul suram, Tragedy of the Commons di majalah Science yang segera memantik debat berkepanjangan. Di sana, ia meminta pembaca membayangkan sebuah padang gembala dengan akses terbuka. Ia menamai padang semacam ini sebagai commons, dan nasib semua commons pasti berujung tragedi.

Bagaimana tragedi itu terjadi?

Begitu para gembala tahu bahwa ternak siapa pun bisa bebas memamah rumput di padang tersebut, besoknya mereka datang dengan lebih banyak ternak. Ketika peternak lain tahu, semakin banyak gembala datang membawa lebih banyak ternak. Ujung dari pengandaian ini mudah ditebak, rumput akan tandas. Padang itu tak sanggup menanggung beban populasi dan akhirnya punah.

Hardin menulis, para gembala melakukan itu karena merasakan manfaat langsung secara individual, dan bila kelak rumput habis seluruh gembala akan menanggung akibatnya secara bersama—ongkos tertunda yang dirasakan oleh semua.

“Setiap orang terkurung dalam sebuah sistem yang mendorongnya untuk menambah jumlah ternak tanpa batasan—dalam sebuah dunia yang terbatas. Manusia berbondong-bondong berjalan menuju kehancuran, masing-masing membawa kepentingan sendiri dalam sebuah masyarakat yang percaya pada kebebasan [memanfaatkan] commons.”

Bagi Hardin, semua commons (ia artikan sebagai sumber daya yang terbuka bagi semua) pasti akan mengalami eksploitasi berlebih dan akhirnya hancur.

Pandangan ini segera mendapatkan sambutan dan sanggahan.

Pihak yang menyambut positif kesimpulan Hardin ialah mereka yang setuju bahwa pengelolaan seluruh commons memang harus diambil alih sepenuhnya oleh negara atau dikelola lewat mekanisme pasar (via privatisasi). Intinya, para gembala yang egois dengan nalar ‘rasional’ mereka—pengandaian dari seluruh umat manusia—pasti akan memusnahkan harta milik bersama. Mereka akan menghabiskannya sampai batang rumput terakhir.

Lalu datanglah gelombang demi gelombang kritik yang sampai hari ini menjadikan esai Hardin sebagai samsak. Oleh mereka, teori Hardin dijelaskan hanya untuk diruntuhkan. Kepada generasi demi generasi mahasiswa, karya Hardin diperkenalkan sebagai contoh buruk ketika orang berpikir tentang commons. Karena fungsi itulah artikel Hardin masih dibaca di banyak universitas. Karena itu pula, nama Garret Hardin masih sering disebut-sebut.

***

Elinor Ostrom, seorang ekonom perempuan AS dan penerima Hadiah Nobel bidang ekonomi tahun 2009, adalah salah satu pengkritik Hardin paling terkenal. Dalam banyak kesempatan ia membuka kuliah atau ceramah, buku atau esai ilmiah, dengan mengutip Hardin sebelum meruntuhkannya.

Menurutnya, pertama-tama, padang gembala yang dibayangkan Hardin tidak ada dalam dunia nyata, itu cuma contoh hipotetis, khayalan. Ostrom tidak main-main dengan sanggahannya. Ia sudah terlibat dalam puluhan, mungkin ratusan, penelitian selama setengah abad, dan berpergian ke seluruh penjuru dunia, dari Filipina sampai Guatemala, menemui ratusan kelompok masyarakat yang mengelola sumber daya bersama. Ia membaca ratusan, mungkin ribuan, laporan serupa.

Dari sana ia menyimpulkan: padang khayalan Hardin lebih tepat disebut padang bebas akses, bukan commons (sumber daya yang dikelola secara bersama). Bersama para peneliti lain, Ostrom menyebut tragedi Hardin sebagai ‘tragedi akses bebas’.

Dalam dunia nyata, menurut Ostrom, commons selalu punya batas dan sekelompok masyarakat pengelola yang membatasi akses lewat pelbagai aturan demi mengusahakan kesetaraan pemanfaatan oleh para anggotanya, sekaligus memastikan keberlanjutan sumber daya tersebut.

Selain itu, menurut Ostrom, Hardin juga keliru ketika mengatakan bahwa hanya negara dan pasar yang bisa mengelola sumber daya, dan kelompok masyarakat pasti akan gagal.

Ia dan banyak peneliti lain membuktikan kesimpulan itu lewat puluhan penelitian selama puluhan tahun, di banyak lembaga penelitian. Ia sendiri terlibat, pada pertengahan 1980-an, menyeleksi ribuan kasus untuk kemudian mempelajari ratusan kasus demi menemukan deretan variabel yang memberi andil terhadap keberhasilan pengelolaan sumber daya oleh sekelompok masyarakat.

Untuk membayangkan keluasan perjalanan penelitian Ostrom, kita bisa mengintip esai ilmahnya yang terbit di American Economic Review tahun 2010, Beyond Markets and States: Polycentric Governance of Complex Economic Systems.

Setelah menjumpai sangat banyak kelompok warga pengelola commons, secara langsung maupun lewat penelitian orang lain, Ostrom menyimpulkan bahwa para gembala bukanlah individu ‘rasional’ (istilah yang ironis) sebagaimana digambarkan Hardin. Mereka bisa berdiskusi, bekerja sama, dan membentuk aturan-aturan kolektif. Mereka tidak hanya memikirkan diri sendiri dan bisa mempertimbangkan keberlanjutan.

***

Mengapa Hardin dan Ostrom relevan buat kita?

Di Indonesia, kondisi sumber daya bersama memang kian menyusut atau mengalami degradasi. Tapi keadaan itu lebih disebabkan oleh struktur ekonomi politik yang sudah berlangsung beberapa dekade terakhir, ketimbang karena ulah ‘para gembala’ dungu dan egois.

Individualisasi lahan antara lain terjadi lewat program sertifikasi tanah yang berlangsung sejak 1980-an. Penutupan kawasan yang dimanfaatkan bersama (enclosure) lewat konsesi lahan untuk tambang dan perkebunan raksasa menciptakan beraneka tekanan terhadap masyarakat adat dan hak ulayat mereka. Individualisasi sistem cocok tanam lewat modernisasi pertanian ala Revolusi Hijau juga turut menyurutkan kerja kolektif petani di banyak tempat.

Semua itu berpilin dengan pemberangusan dan kooptasi organisasi-organisasi rakyat dan partai politik selama masa Orde Baru, ‘privatisasi’ lembaga-lembaga negara lewat pelbagai macam ‘pranata informal’ (informal institution) dalam bentuk ikatan patron-klien atau oligarki, dan tentu saja privatisasi perusahaan-perusahaan negara.

Institusi negara yang nyaris sepenuhnya bekerja sama dengan dan menurut mekanisme pasar adalah sebuah keadaan yang diisyaratkan Hardin sebagai kondisi ideal untuk mencegah terjadinya tragedi pengelolaan sumber daya. Hardin menyebut kondisi seperti ini sebagai ‘kekerasan yang diperlukan’.

Hasilnya bukan hanya kerusakan dan ketimpangan kronis penguasaan sumber daya dan penetrasi institusi-institusi pasar ke dalam lembaga negara. Tapi tak kalah pentingnya, di banyak tempat, keadaan ini berhasil menyusutkan kemampuan rakyat mengorganisir diri dalam kerja jangka panjang merawat pranata ekonomi dan politik yang demokratis.

Dalam kondisi seperti ini negara dan pasar tampak menjadi satu kekuatan yang bekerja menekan rakyat. Mereka dipaksa berjuang secara individual, dalam gelanggang pertarungan yang timpang, tidak jarang dengan taruhan nyawa, untuk bisa terus mengakses sumber daya yang jumlah dan kualitasnya semakin susut.

Dengan semakin meluasnya individuasi dan privatisasi sumber daya, dan remuknya organisasi-organisasi rakyat, mereka punya lebih sedikit alasan untuk berhimpun membicarakan persoalan bersama. Rakyat dituntun untuk menjadi gembala egois sebagaimana dibayangkan Hardin, agar mereka melihat setiap persoalan lebih sebagai masalah pribadi.

Namun, pengalaman berkunjung di banyak desa menunjukkan kepada saya betapa di bawah tekanan dahsyat, kerja kolektif rakyat masih hidup. Kelompok-kelompok pengguna air, misalnya, bisa bekerja efektif melawan kecenderungan individuasi—mungkin karena air lebih sulit dipetak-petakkan.

Dari setidaknya lima penelitian di mana saya terlibat, saya belajar bahwa kelompok-kelomok rakyat masih bisa mengelola sumber daya secara bersama, seperti saluran irigasi, petakan danau atau laut, dan petakan hutan atau lahan. Saya pun belajar bahwa pranata yang mereka bangun untuk kepentingan tersebut sangat penting untuk menjaga kerja kolektif (collective action).

Keberadaan sumber daya bersama ‘memaksa’ masyarakat di sekitarnya untuk duduk bersama demi membicarakan bagaimana mengelolanya—sebagaimana ditemukan Ostrom di banyak penjuru dunia. Sumber daya bersama bisa mempertahankan pranata sosial sebuah masyarakat yang bersifat deliberatif, redistributif, dan transparan.

Keberadaan sumber daya bersama bisa kita pahami sebagai prasyarat bagi demokrasi. Sebuah demokrasi yang organik.

***

Ostrom pun sudah mengingatkan, rakyat tidak secara otomatis menjadi demokratis begitu aturan-aturan untuk menuju ke sana telah ditetapkan dan diterapkan. Rakyat masih butuh latihan mengelola sumber daya bersama secara demokratis agar bisa menjadi demokratis.

Itulah yang sedang terjadi di Indonesia. Undang-Undang Desa yang telah diterapkan selama hampir empat tahun, berdiri di atas sejumlah asas: asas rekognisi, subsidiaritas, partisipasi, kesetaraan, dan demokrasi, untuk menyebut beberapa.

Bersandar sangat banyak penelitian, Ostrom membuat abstraksi dengan bertanya bagaimana sebuah sumber daya bersama dapat dikelola dengan baik oleh sekelompok warga. Dari sana ia menyarikan delapan prinsip pengelolaan yang ia namai ‘Design Principles’. (Dalam satu kuliah Ostrom bilang, harusnya ia menamainya ‘best practice’ saja biar lebih mudah dipahami orang).

Asas-asas UU Desa, dalam banyak hal, sejalan dengan ‘prinsip-prinsip disain’ Ostrom.

Asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa, misalnya, bisa kita temukan dalam beberapa prinsip Ostrom seperti: keberadaan tapal batas yang jelas terhadap sumber daya yang dikelola, hak penguasaan minimum para pengelola terhadap sumber daya, pengelolaan sumber daya yang disesuaikan dengan kondisi setempat, dan keberadaan sistem tata kelola yang terdesentralisasi (nested) apabila sumber daya tersebut berada di dalam sistem lebih luas.

Sementara asas partisipasi, demokrasi dan kesetaraan dalam UU Desa, dapat kita lihat dalam prinsip pengaturan tata kelola yang melibatkan seluruh pihak yang terkena dampak dari pemanfaatan sumber daya, keberadaan sistem monitoring terhadap pengguna maupun kondisi sumber daya itu sendiri, keberadaan sanksi bagi pelanggar aturan, dan sistem resolusi konflik yang bersifat lokal, cepat, dan murah.

Tapi, sekali lagi, sebuah masyarakat tidak otomatis menjadi demokratis hanya oleh keberadaan aturan pendukungnya. Sejumlah aturan turunan dari UU Desa dilaporkan justru memaksa pemerintah-pemerintah desa untuk mememangkas atau melewatkan banyak dari asas yang mendasari UU Desa. Aturan tentang rangkaian pengkajian dan diskusi untuk menghasilkan rencana pembangunan desa yang memakan waktu, misalnya, sering kali harus dipersingkat untuk memenuhi kebutuhan administratif.

Sebagai produk ilmiah, tentu pendekatan institusional Ostorm bukan tanpa kelemahan. Contohnya, relasi kuasa yang timpang di dalam desa dan keterkaitannya dengan hubungan patron-klien di luar desa, yang menghambat demokratisasi dan pembangunan desa pasca-UU desa, masih sulit ditelisik lewat pendekatan Ostrom.

Tapi lima puluh tahun setelah Garret Hardin menulis Tragedy of the Commons, debat tentang pengelolaan sumber daya bersama yang dipicunya masih terus melahirkan teori, kebijakan, dan beraneka praktik. Sebuah jurnal ilmiah bahkan diterbitkan khusus untuk itu, International Journal of the Commons.

Dari sana, kritik dan revisi terhadap pendekatan Hardin dan Ostrom masih akan terus mengalir.

Nurhady Sirimorok
Nurhady Sirimorok
Peneliti isu-isu perdesaan; Pegiat di komunitas Ininnawa, Makassar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.