Sepuluh orang narator dan kritikus The Heptameron mengajukan teka-teki yang tidak dapat mereka jawab setelah tujuh puluh cerita. Hal ini dinyatakan oleh Parlamente (mungkin Marguerite sendiri) sebagai berikut: “Anggap saja saya dapat menyebutkan nama seorang wanita yang benar-benar jatuh cinta, yang diinginkan, dikejar dan dirayu, namun tetap menjadi wanita yang jujur, menang atas tubuhnya, menang atas cintanya dan menang atas dirinya akan menjadi kekasih. Maukah Anda mengakui bahwa hal seperti itu mungkin terjadi?” (h. 120).
Ia kemudian menceritakan kisah Amador dan Florida (Kisah 10), di mana seorang pria muda yang setia akhirnya mencoba memperkosa wanita yang dicintainya karena dorongan nafsu semata. Namun Florida menolak pria itu, Amador. Ia mempertahankan kehormatannya, menutup semua pintu akses masa depan bagi Amador terhadap dirinya, namun Florida tidak berhenti mencintai Amador.
Kesembilan pendengarnya tidak semua menerima penafsirannya. Hircan bersikeras bahwa karena Florida hanya berteriak, ia tidak benar-benar melawan, sementara Oisille menganggap percobaan pemerkosaan sebagai bukti bahwa cinta Amador itu palsu. Keseluruhan tujuh puluh cerita tersebut bergerak menuju dilema yang sama—dapatkah cinta sejati dihormati dan dipuaskan?
Seratus dua puluh tahun kemudian, Madame de La Fayette mengadopsi teka-teki tersebut dalam novelnya yang paling terkenal dan menjawabnya dengan lebih berhasil, dengan menggambarkan potret psikologis yang lebih rumit dan mendalam dari pasangan suami dan istri, Monsieur de Clèves, Madame de Clèves, dan kekasihnya, duc de Nemours. Madame de La Fayette mengambil latar novelnya di istana Henri II, putra François I dan keponakan Marguerite. Ia juga menyinggung karya Marguerite, sebagai kisah dongeng. Cerita Florida ini menjadi kisah The Princess of Clèves (1678). Ini adalah penerapan bentuk novel pertama yang betul-betul berhasil.
Madame de La Fayette melakukan beberapa hal yang belum pernah dilakukan oleh novelis sebelumnya. Pertama, ia menggunakan karakternya berdasarkan tingkat kepentingan dan minat masing-masing, dan ia konsisten menempatkannya. Ia memusatkan sebagian besar tulisannya kepada Madame de Clèves (yang akan berumur delapan belas tahun sepanjang novel—keseluruhan novel menyangkut kehidupan emosional gadis remaja dan pasangan mereka yang agak lebih tua) yang menghadapi dilema yang tidak lazim.
Sosok kedua adalah Monsieur de Clèves dengan dilemanya sendiri dan ketiga adalah duc de Nemours dengan masalah yang terkesan plos. Ketiganya memiliki kerabat dan pelindung masing-masing, yang berperan mempromosikan, memperumit, menyaksikan dan mengomentari setiap tindakan yang diperbuat. Kerabat dan pelindung mereka adalah raja Prancis, ratu Prancis, Dauphin, ratu Dauphine, Mary of Scots (Madame de La Fayette sendiri adalah seorang istri bangsawan alias countess, jadi ini adalah produksi kelas penguasa seperti The Heptameron). Begitu ia mengatur karakternya menurut seberapa menariknya mereka, ia menjaga fokusnya padanya dan mencegah dirinya tidak terganggu oleh hal-hal menarik lainnya—seperti yang dilakukan Cervantes.
Tak kalah pentingnya, ia selalu mempertahankan narasi menyangkut pertanyaan tentang bagaimana setiap karakter memahami perasaan mereka, mengapa mereka merasakannya dan bagaimana mereka bertindak. Sadar atau tidak, Madame de La Fayette menemukan bahwa semua tindakan dan perasaan dapat direpresentasikan, bahkan yang tampaknya sulit dipercaya, jika seorang novelis menunjukkan kemajuannya langkah demi langkah dan membuat hubungan yang ada rasional. Dengan kata lain, ia mampu memasukkan keunikan ke dalam konteks konvensional dan melakukannya dengan halus dan alamiah—inilah fungsi esensial novel sebagai sebuah bentuk. Singkatnya, The Princess of Clèves berhasil karena pengarang sangat piawai mengatur, memusatkan, dan memikirkan materinya dan semua upaya ini bekerja sama untuk mendorong alur.
The Princess of Clèves dengan indah mengilustrasikan hubungan antara novel dan gosip. Latar novel, istana Prancis, adalah ruang gosip yang berbahaya. Kekuasaan, cinta, pengaruh, politik, status, peperangan, perdamaian, dan aliansi nasional semuanya bergantung pada intrik dan pergeseran kesetiaan. Setiap orang di istana waspada terhadap bahasa tubuh orang lain, sigap menyimpulkan perasaan yang tersembunyi dengan hati-hati dan berani mengutarakan dugaan.
Informasi mendalam menjadi modal yang akan digunakan dalam pertukaran kekuasaan dan pengaruh secara terus-menerus. Perempuan bermain sama tegasnya dengan laki-laki. Taruhannya tinggi, seperti yang diilustrasikan lewat kematian Raja Henri. Dalam beberapa jam setelah kematiannya, figur yang difavoritkan akan menggantikannya tersingkir, tokoh baru mendapatkan jabatan dan pengaruh, dan seluruh keseimbangan kekuasaan telah bergeser. Seperti yang diketahui dengan baik oleh sepuluh orang narator The Heptameron, hanya ada sedikit ruang untuk kepolosan atau kebajikan, namun dosa adalah permainan yang berisiko.
Keberanian terbesar Madame de Clèves adalah bergerak dan bergabung dengan kalangan orang-orang istana yang dipenuhi nafsu yang tidak mampu diungkapkannya dengan cara apa pun. Satu-satunya yang membuatnya lega adalah ia punya kesempatan untuk meninggalkan istana dalam menjalankan tugas rutinnya. Tapi novel ini mengilustrasikan dosanya karena dengan berbagai cara.
Untuk satu hal, penulis menyisipkan beberapa kisah peringatan atau ilustratif, seperti yang dilakukan Cervantes. Hanya saja ia menambahkannya dengan keindahan yang cemerlang layaknya gosip. Kisah-kisah ini tidak hanya cocok, yang merupakan interaksi yang signifikan antara karakter, tapi juga mengembangkan tema dan alur tanpa menggagalkan tindakan.
Namun, secara khusus, fokus Madame de La Fayette terletak pada suasana pikiran karakter perempuan. Upayanya untuk menyelidiki hal ini mengungkapkan kepekaannya bagaimana motivasi manusia adalah sesuatu yang alamiah dan menarik, baik secara umum maupun khusus. Hanya gosip yang ulung dan cerdik yang bisa memasuki alam karakternya sepenuhnya.
Madame de La Fayette bangga dengan penggambaran hidupnya seolah ia hidup 120 tahun sebelum waktunya. Ia bangga bahwa ia mendapatkan fakta dan sejarahnya secara langsung seraya dengan mulus memperkenalkan pasangan fiktifnya, dan tidak ada yang secara serius mempertanyakan apa yang dilakukannya.
Namun demikian, perbandingan The Princess of Clèves dan The Heptameron menunjukkan bahwa ada sesuatu yang berubah dalam 120 tahun yang memungkinkan pengarang melihat karakter dan wujudnya dengan cara yang lebih modern. Marguerite dan teman-temannya tidak sepenuhnya dapat memahami kisah nyata yang mereka ceritakan—mereka tidak begitu memahami apa itu cinta dan kebajikan, dan meskipun mereka membahas materi yang sama berkali-kali, mereka tidak dapat menyelaraskan keduanya. Tidak ada akhir yang bahagia. Pemerkosaan, kematian, pemenjaraan, dan kekejaman lainnya merajalela, dan praktik keagamaan yang eksplisit tidak banyak membantu karakter atau mencerahkan penggambaran mereka tentang dunia di sekitar mereka.
Apa yang Madame de Clèves berani lakukan bahwa ia berada dalam krisis (ketika ia mengaku kepada suaminya bahwa ia mencintai orang lain, dan ketika ia mengaku kepada duc de Nemours bahwa ia mencintainya tetapi tidak bisa menikah dengannya) adalah kejujuran. Ia melawan penilaian semua orang yang ia kenal terhadap dirinya, dan mempercayai pria yang mengatakan bahwa mereka mencintainya.
Dengan kata lain, ia mengungkapkan cinta dan keyakinan sejati—kehidupan batinnya dengan cara yang bertentangan dengan gagasan cinta dan keyakinan yang merupakan kesepakatan zaman (gairah, semangat, ketertarikan fisik). Kedua laki-laki itu heran betapa mereka sangat mencintainya meskipun ia tidak memberikan apa yang mereka inginkan. Ia memberi mereka sesuatu yang jauh lebih langka (seperti yang mereka ketahui secara naluriah) dan meminta mereka untuk memberinya sesuatu yang sama anehnya—hak atas perasaannya sendiri.
Sementara karakter The Princess of Clèves tidak menganggap diri mereka senang di akhir novel. Masing-masing mencapai kedamaian—sang Putri melalui upaya mengejar pemikiran yang lebih tinggi secara aktif, Nemours lewat perjalanan waktu, dan Monsieur de Clèves melalui pembelajaran kebenaran tentang kebajikan istrinya. Pembaca, bagaimanapun, mengalami akhir yang sangat bahagia ketika sang putri membuat anatomi gagasan tentang cinta yang santun dan bersandar padanya untuk selamanya.
Pembaca modern mencari novel yang sangat menarik, yakni yang melibatkan pembaca. Meskipun ini agaknya bukanlah kelabihan terbesar novel ini, namun ia adalah daya tarik terbesarnya, sebuah bonus yang melepaskan, menenangkan, dan merelaksasikan pikiran pembacanya, tidak peduli seberapa menggelisahkan pokok bahasannya. Ini adalah sebuah paradoks, betapa bacaan yang sangat mengganggu justru “dicintai” oleh jutaan pembaca.
Karya-karya awal yang telah kita baca sejauh ini, meski layak dan terkadang hebat, belum secara konsisten punya daya melibatkan pembaca. Apa yang berhasil dilakukan Madame de La Fayette adalah mengambil sumber-sumber tradisional dan menggunakannya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Ia memiliki cerita yang menarik; ia mampu menggambarkan karakter individu dan lingkungan sosial mereka; ia mengatur materinya sehingga berkembang tanpa henti tetapi tidak dapat diprediksi; ia memikirkan tema-temanya, meneliti latarnya, memiliki belas kasihan terhadap karakternya.
Namun, yang terbaik dari semuanya, ia berhasil menegosiasikan aspek paling penting dari novel tersebut, dilihat dari cara karakter individu membedakan dirinya dari dunianya sambil mengakui tekanan untuk menyesuaikan diri. Hasilnya, The Princess of Clèves tidak hanya layak atau hebat, ia adalah karya menarik dan modern.