Minggu, November 3, 2024

Tetap Teguh Walau Langit Runtuh

Gde Dwitya
Gde Dwitya
Gde Dwitya adalah Kandidat PhD, Departemen Ilmu Politik, Northwestern University.
- Advertisement -

Saya ingin mengenang Arief Budiman, aktivis dan sarjana yang melegenda di kalangan mahasiswa itu, dengan menziarahi debatnya dengan kawan dan muridnya sendiri, Rizal Mallarangeng, di medio 1996.

Di tahun 1996 itu Arief baru saja dianugerahi penghargaan Hellman/Hammet oleh Human Rights Watch (HRW) bersama dengan 44 penulis lain dari 23 negara. Penghargaan ini memang ditujukan pada para penulis yang menjadi korban persekusi politik. Di catatan HRW Arief adalah seorang penulis “yang mengkritisi sistem politik di Indonesia termasuk sebuah kritik tajam pada pembredelan surat kabar di tahun 1994”. HRW juga mengetahui kalau Arief baru saja disingkirkan dari jabatannya sebagai pengajar di studi pembangunan UKSW.

Menanggapi pemberian penghargaan tersebut Rizal menulis sebuah artikel di Gatra yang dimuat pada tanggal 17 Agustus 1996. Rizal, saat itu masih seorang mahasiswa doktoral di Ohio State University di bawah bimbingan Bill Liddle, menyambut hangat inisiatif HRW. Menurut Rizal, HRW telah mengukuhkan Arief sebagai seorang aktivis hak asasi manusia.

Namun, di saat yang sama Rizal—sebagai seorang kawan lama Arief—juga menggelitik Arief lewat sebuah gugatan. Inti gugatan Rizal menohok sikap teguh Arief yang tetap mengamini teori-teori sosialisme ketika eksperimen sosialisme di berbagai tempat sejak akhir dekade 80an jelas menunjukkan kebangkrutan.

Kita harus maklum, di pertengahan 90an itu para intelektual, termasuk Rizal, sedang gandrung dengan tesis Fukuyama yang baru saja memproklamirkan kemenangan ideologi pasar dan akhir sejarah. Mereka yang skeptis pada cita-cita sosialisme seakan mendapat pembenaran ketika Uni Soviet dan Jerman Timur runtuh. Di saat yang sama penganut Teori Dependensia mulai dihinggapi keraguan ketika di tahun 80an negara-negara pinggiran seperti Korea Selatan, dan juga Indonesia, mampu mengalami pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan.

Sikap bersiteguh pada sosialisme ini dapat dimaklumi jika kita melihat Arief hanya sebagai seorang aktivis. Seorang aktivis, menurut Rizal, “mulai dari sebuah kepastian dan berakhir dengan kepastian.” Bahkan realitas empiris pun tak akan mampu mengubah kepastian pendirian seorang aktivis.

Namun Arief juga adalah seorang ilmuwan, seorang sosiolog lulusan Harvard, dan bukan semata-mata seorang aktivis. Seorang ilmuwan seyogyanya berani merevisi pendiriannya ketika data menunjukkan hal yang bertentangan. Dus, Rizal menggugat lagi, bisakah Arief mempertahankan integritas seorang ilmuwan ketika jelas tampak eksperimen sosialisme telah gagal? Ataukah Arief akan menjadi ideolog tertutup yang tetap membela ajaran-ajaran sosialis? A hero with a lost cause, pungkas Rizal.

Mereka yang mengikuti karir Arief tentu maklum bahwa Arief mulai bergulat lebih intens dengan ide-ide sosialisme semenjak ia melanjutkan studi doktoral di Amerika. Di sana ia berguru dengan intelektual progresif seperti Daniel Bell dan Theda Skocpol.

Ketika ia harus menulis disertasi doktoralnya di Harvard, Arief dengan sengaja menulis tentang Chile. Sebabnya tak lain karena menurut Arief, Chile telah menunjukkan jalan demokratis menuju sosialisme itu mungkin. Di Chile, Unidad Popular—aliansi partai-partai kiri—mampu memenangkan pemilu dan berkuasa untuk beberapa waktu di bawah pimpinan Allende. Arief tentu berharap pelajaran dari Chile dapat diterapkan di Indonesia.

Artikel Rizal di Gatra ini menuai polemik hangat. Tercatat Bur Rasuanto ikut merespon dengan menulis artikel tanggapan di mingguan yang sama yang terbit tanggal 23 November.

- Advertisement -

Namun balasan yang ditunggu-tunggu tentu dari Arief sendiri. Tak perlu waktu lama, seminggu kemudian di tanggal 27 Agustus Arief menulis artikel tanggapan pada Rizal di harian Kompas.

Artikel tanggapan Arief adalah sebuah masterclass tentang filsafat ilmu, terkondensasi dalam sempitnya ruang seribu kata artikel opini.

Rizal, menurut Arief, semata-mata berlaku ala ilmuwan positivis-empiris yang beriman pada realitas sosial yang diyakini objektif dan tak dapat diubah. Rizal seakan lupa bahwa pemahaman atas dunia—atau hubungan antara kesadaran manusia dan realitas—tidak dimonopoli oleh kaum positivis-empiris. Ilmu sosial juga mengakui bahwa realitas sosial bisa saja adalah konstruksi yang dibentuk oleh manusia atau dibentuk oleh kekuasaan.

Khusus untuk memahami kapitalisme, tulis Arief lagi, kita perlu memahami sejarah munculnya sistem ekonomi dan relasi sosial yang dominan ini. Dengan kata lain, ia tidak terberi dan ada secara serta-merta. Kapitalisme adalah pertama-tama realitas sosial yang muncul dalam suatu lintasan sejarah tertentu. Ada faktor-faktor sejarah yang membuatnya terlihat “objektif” dan dominan.

Dengan demikian, jelas Arief, pemahaman bahwa kapitalisme adalah realitas objektif dan usaha untuk mengubahnya adalah hal yang sia-sia merupakan pemahaman sempit kaum positivis-empiris. Kegagalan untuk memahami sempitnya pandangan kaum positivis-empiris akan membuat kita, mengutip kata-kata Arief: “…tanpa sadar, menjadi alat dari kekuasaan yang ada di masyarakat, karena mengira bahwa realitas buatan manusia sebagai dunia obyektif yang tidak bisa diubah.”

Debat menggairahkan ini saya baca sewaktu saya masih menjadi mahasiswa di Bulaksumur. Waktu itu—saya tidak akan menyembunyikannya—saya adalah pengagum Rizal Mallarangeng. Disertasinya yang diterbitkan oleh Kompas berjudul Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia memukau saya seorang mahasiswa culun yang jadi ingin sekali belajar ekonomi politik. Sebagai akibatnya, saya cenderung melihat argumen Rizal—dengan prosanya yang memikat dan bernas—lebih meyakinkan.

Namun, alas, di kemudian hari saya ditakdirkan bertemu dengan guru-guru yang bukan saja berpandangan seperti Arief namun juga ternyata teman seperjuangan Arief. Mungkin itu sebabnya ketika saya baca ulang debat ini, argumen Arief—yang sederhana dan mudah dicerna—menemukan tempatnya kembali.

Saya rasa Rizal benar ketika menyebut Arief adalah tipe manusia Kantian yang “akan terus memperjuangkan kebenaran walaupun langit runtuh.”

Namun, kita juga tahu kalau kebenaran versi Arief bukanlah kebenaran ala kaum positivis-empiris. Kebenaran sejarah menurut Arief barangkali adalah kebenaran ala seorang historical-materialist: kebenaran yang diusahakan secara dialektis oleh ikhtiar manusia. Dan Arief barangkali tidak dapat dilihat sebagai hanya seorang sarjana ataupun hanya seorang aktivis. Arief adalah dua-duanya sekaligus.

Ada baiknya kita mungkin meminjam ungkapan Gramsci—seorang pemikir yang kerap Arief kutip dalam tulisan-tulisannya—untuk memahami sang sarjana dan aktivis: I am a pessimist because of intelligence, but I am an optimist because of will. Arief barangkali adalah seorang sarjana ketika ia pesimis secara intelektual: meragukan terus-menerus realitas yang tampak di permukaan. Namun ia juga seorang aktivis ketika ia tetap optimis berikhtiar memperjuangkan cita-cita sosialisme walaupun realitas tampak menunjukkan eksperimen sosialisme telah gagal.

Selamat jalan Prof, selamat berkumpul lagi dengan rekan-rekan seperjuangan. You will be sorely missed.

Jogjakarta, 25 April 2020.

Gde Dwitya
Gde Dwitya
Gde Dwitya adalah Kandidat PhD, Departemen Ilmu Politik, Northwestern University.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.