Batas ambang psikologis jumlah orang terinfeksi Covid-19 di Indonesia, satu juta kasus, sudah terlampaui, Selasa, 26 Januari 2021 lalu. Sementara kenaikan kasus positif harian dalam dua pekan terakhir selalu di atas 10.000. Sedangkan jumlah total yang tewas sudah 28 ribu orang lebih.
Di pihak lain, daya tampung rumah sakit untuk pasien Covid-19 sudah melewati ambang kritis. Di atas 75 persen. Bahkan beberapa rumah sakit rujukan, termasuk tempat perawatan dan isolasi di Wisma Atlit Jakarta, tingkat huniannya sudah di atas 80 persen. Kondisi ini sudah termasuk darurat.
Yang memprihatinkan, dalam kondisi itu, rerata positivity rate di atas 20 persen. Bahkan 10 Januari 2021 lalu, positivity rate-nya menyentuh 30,4 persen, 6 kali lipat lebih dari standar WHO (Organisasi Kesehatan PBB), 5 persen. Ini berarti, setiap 3 orang yang dites, satu di antaranya positif. Tragisnya dalam kondisi mencemaskan itu, warga masyarakat masih terlihat kurang disiplin menerapkan protokol kesehatan. Di RRI Pro3 88.8 FM Jakarta banyak cerita keluhan dari pemirsa, bahwa di tempat tinggalnya masyarakat abai terhadap protokol kesehatan. Mungkin sudah bosan dan jenuh, katanya. Entahlah.
“Dengan angka kasus positif satu juta, lalu positivity rate 25-30 persen, itu menunjukkan bahwa terlalu banyak kasus positif di masyarakat yang tidak terdeteksi, yang mengakibatkan kenaikan beban di fasilitas kesehatan,” ujar epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman kepada wartawan BBC Selasa (26/0l/021).
Dengan melihat jumlah positivity rate yang tinggi, penyebaran covid yang luas — kini sudah menyebar ke suluruh provinsi dan kabupaten– lalu banyaknya kasus positif yang tersebar acak, maka diduga jumlah kasus positif yang real, mencapai tiga kali lipat lebih dari angka yang tercatat di Satgas Covid Nasional.
Sampai hari ini, banyak kasus positif yang tak dilaporkan. Entah karena takut secara finansial, takut terstigmasi secara sosial, dan tidak mengerti jika terinfeksi (OTD). Ketiga hal ini niscaya banyak terjadi karena distribusi penduduk Indonesia yang acak (terkonsentrasi di Pulau Jawa) dan pola kehidupannya secara kultural (mangan ora mangan kumpul) rentan penularan covid.
Di samping itu, kata Dicky, minimnya deteksi kasus karena tingkat pengetesan dan pelacakan yang rendah, membuat selebrasi angka satu juta kasus positif Covid-19 memiliki makna penting. Keterlambatan dalam deteksi dini, ujar Dicky, membuat kasus-kasus yang terdeteksi selama ini “tidak mencerminkan kemampuan kita dalam mendeteksi kasus dalam jumlah sebenarnya”. Jadi dugaan jumlah kasus positif yang sebenarnya mencapai 3 juta lebih tidak asal bicara.
Sementara itu, pakar permodelan matematika dari Institut Teknologi Bogor (ITB) Nuning Nuraini memperkirakan, kasus positif Covid-19 di Indonesia akan naik terus. Trennya, berdasarkan statistik, terus meningkat, dengan puncak terjadi pada bulan Juli 2021. Ini akan memperberat beban fasilitas kesehatan dan tenaga medis. Pemerintah harus siap menghadapi kondisi kritis dan darurat tersebut.
Tentu saja, prediksi ahli epidemiologi dan ahli matematik di atas, ada disclaimernya. Jumlah korban positif virus makin berkurang dan tren kenaikan grafik kasus positif makin landai jika vaksinasi berhasil sesuai dengan rencana pemerintah. Dan masyarakat ketat mengikuti disiplin protokol kesehatan (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak).
Sebaliknya, jika program vaksinasi amburadul dan masyarakat abai prokes, jumlah kasus positif akan naik tajam. Tren kenaikan jumlah kasus positif pun akan makin tinggi lagi. Jika hal itu terjadi, kondisinya sulit dikendalikan. Kita berharap, hal di atas, tidak akan terjadi!
Menggali kubur sendiri
Jakarta baru mengumumkan kasus positif covid pertama 2 Maret 2020. Tapi WHO menyatakan, kasus positif di Indonesia sudah ada jauh sebelum itu. Bahkan sebelum akhir tahun 2019. Hanya saja, Jakarta terlambat mendeteksinya.
Saat itu pemerintah gamang. Dan tampak menyembunyikan fakta untuk menghibur diri sendiri. Nah begitu diumumkan, 2 Maret 2020, barulah ribut. Masyarakat dan pemerintah tampak kedodoran. Sampai-sampai antara warga dan pemerintah saling menyalahkan.
Di sosmed keriuhan itu terlihat jelas. Termasuk keriuhan kaum hoaxer yang menyatakan bahwa virus coroba buatan Israel untuk melenyapkan negara Islam dan vaksin Sinovac mengandung nano chips untuk merekam semua aktvitas pemakainya. Di pihak lain tak sedikit orang yang memprovoksi masyarakat agar tidak mempercayai pemerintah dalam menanggulangi pandemi. Tragisnya tak sedikit pula yang terpengaruh kebohongan para hoaxer. Bahkan tak sedikit orang yang masih menganggap bahwa Covis-19 benar-benar ada. Tampaknya, hal-hal itulah yang menyebabkan sebagian masyarakat enggan mengikuti protokol kesehatan.
Saat ini, jumlah kasus positif di Indonesia sudah mencapai lebih dari separuh jumlah total kasus positif ASEAN. Jumlahnya pun terus bertambah dari hari ke hari. Kekhawatiran atas lonjakan kasus ini disampaikan pemerintah lewat Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dan Ketua Satuan Tugas Covid-19 Doni Monardo. Tim Pakar Satgas sempat memperingatkan, jika tidak ada perubahan cara pandang dan perilaku masyarakat, sesungguhnya mereka sedang menggali kuburnya sendiri.
Menyedihkan! Saat ini tingkat hunian rumah sakit rujukan di Jawa dan Bali sudah lebih dari 80 persen dan ICU di atas 90%. Ini mengerikan karena jauh di atas bed occupancy rate (BOR) ideal. Di pihak lain, jumlah ventilator dan ruang ICU yang amat dibutuhkan pasen covid masih terbatas. Jauh di bawah jumlah pasen yang dirujuk ke rumah sakit. Akibatnya terjadilah hukum survival of the fittest. Bila ini terjadi akan membuat kolaps manajemen kesehatan. Kenapa?
PasIen yang tidak tertangani makin banyak dan penularan virus makin luas. Sementara fasilitas kesehatan terbatas. Over capacity ini sangat membahayakan, bukan saja karena ketersediaan jumlah layanan yang sangat terbatas, tapi juga berdampak pada buruknya mutu pelayanan kesehatan itu sendiri. Hal ini akan memicu tingginya tingkat kematian. Tingginya tingkat kematiann linier dengan tingginya kasus positif yang menjadi super spreader maupun micro spreader.
What next? Pemerintah harus bekerja keras untuk mengatasi pandemi yang makin luas ini. Masyarakat harus disiplin menerapkan protokol kesehatan. Hanya dengan cara itu, vaksinasi akan berhasil. Lalu terbentuk herd immunity. Tentu saja untuk mencapai herd immunity perlu ada kerjasama antar semua pihak terkait. Pemerintah, politisi, tenaga medis, masyarakat, relawan, dan semua warga kudu peduli terhadap penyebaran virus corona dan berusaha keras untuk menghentikan pandemi ini; baik secara individual maupun sosial.