Jumat, April 19, 2024

Teman Ahok dan Perbaikan Fungsi Partai Politik

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
teman-ahok
Relawan Teman Ahok menunjukkan data KTP dukungan warga Jakarta yang sudah terkumpul di sekretariat relawan Teman Ahok di kawasan Graha Pejaten, Jakarta, Selasa (21/6). ANTARA FOTO/Reno Esnir/

Di luar kontroversi dan beragam tuduhan yang ditujukan pada Teman Ahok, kita patut mengapresiasi pencapaian relawan yang mampu mengumpulkan lebih dari satu juta kartu tanda penduduk (KTP) dukungan dari warga DKI Jakarta untuk calon gubernur yang akan mereka usung dalam pemilihan kepala daerah.

Jumlah dukungan yang dikumpulkan Teman Ahok jauh melebihi perolehan suara gabungan tiga partai politik—dalam Pemilu Legislatif 2014—yang sudah resmi menyatakan dukungan terhadap Ahok: Partai Nasdem (206.117 suara/5 kursi); Partai Hanura (357.006 suara/10 kursi); dan Partai Golkar (376.221 suara/9 kursi).

Karena pencapaiannya itulah, Teman Ahok menjadi fenomena relawan politik yang pada saat ini keberadaannya paling banyak menyita perhatian publik. Padahal munculnya relawan politik bukan hal baru di negeri ini. Booming relawan politik pernah terjadi saat menjelang Pemilihan Presiden 2014, yang pada saat itu mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Sebagai relawan, kemunculan Teman Ahok agak mirip dengan organisasi-organisasi relawan pendukung Jokowi-Kalla pada pilpres lalu, bahkan bisa dikatakan sebagian besar Teman Ahok adalah juga mantan relawan pendukung Jokowi-Kalla. Bedanya, secara fungsional Teman Ahok lebih maju ketimbang relawan Jokowi-Kalla, karena di samping sebagai pendukung juga berfungsi sebagai “kendaraan politik”.

Fungsi Teman Ahok sama dengan partai politik yang bisa menyediakan tiket untuk pencalonan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Bedanya, tiket yang disediakan Teman Ahok berada di jalur perseorangan. Kesamaan fungsi inilah yang membuat keberadaan Teman Ahok kerap dianggap sebagai bagian dari gerakan yang berupaya mendistorsi peranan partai politik (deparpolisasi).

Karena itu pula, banyak di antara (aktivis) partai politik yang, dengan berbagai cara, berupaya menihilkan fungsi Teman Ahok, di antaranya dengan mempersulit persyaratan calon perseorangan dalam pilkada. Mereka khawatir Teman Ahok akan menggeser fungsi partai politik.

Upaya demikian akan sia-sia karena hanya membuat Teman Ahok makin militan. Dengan tingkat soliditas yang makin kuat, gerakan mereka menunjukkan hasil yang maksimal. Sampai kolom ini ditulis (Sabtu, 25/6)—sebagaimana dilaporkan dalam situs temanahok.com—Teman Ahok sudah berhasil mengumpulkan KTP dukungan sebanyak 1.024.632, hampir dua kali lipat dari syarat minimal jumlah dukungan calon perseorangan (532.213).

Jika Teman Ahok tetap konsisten dan mampu meningkatkan (minimal mempertahankan) kinerjanya, hingga tenggat waktu jadwal penyerahan dukungan calon perseorangan (Agustus 2016), saya yakin jumlah dukungan (KTP) yang mereka kumpulkan akan melampaui perolehan suara PDIP dalam Pemilu legislatif 2014, yang “hanya” meraih 1.231.843 suara (28 kursi).

Tapi, apakah dengan demikian Teman Ahok bisa menggantikan fungsi partai politik? Jawabannya tidak, karena fungsi partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi tak bisa digantikan oleh lembaga politik apa pun. Karenanya, tidak benar pula tuduhan kemunculan Teman Ahok (atau relawan politik pada umumnya) sebagai bagian dari skenario deparpolisasi.

Fungsi partai politik tidak berkurang sedikit pun dengan hadirnya relawan politik. Hanya saja, pada saat publik lebih mempercayai relawan politik, itu artinya alarm agar partai politik segera berbenah memperbaiki diri. Partai politik harus introspeksi dan segera mencari jawaban mengapa publik lebih percaya pada relawan politik ketimbang partai politik.

Pada saat rakyat dengan sukarela menyalurkan aspirasi melalui pemungutan suara, tapi kemudian hanya dianggap cek kosong atau dengan seenaknya dimanipulasi oleh partai politik untuk kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentingan rakyat, maka pada saat itulah rakyat akan berpaling mencari saluran aspirasi politik selain partai politik.

Jadi, kemunculan relawan politik terutama disebabkan karena disfungsi partai politik. Disfungsi yang disebabkan terutama karena kekuatan oligarki yang menguasai dan memanfaatkan partai politik sesuai dengan kepentingan kelompok (primordial) dan atau keluarganya (politik dinasti).

Kekuatan oligarki, selain bersumber dari kekuatan primordial dan dinasti, juga bersumber dari kekuatan kapital. Karena memiliki modal besar, misalnya, seseorang bisa dengan mudah menguasai partai politik.

Penguasaan partai politik dengan kekuatan modal kapital, dalam praktik, bisa berproses dari dalam partai politik (dengan menguasai jabatan-jabatan kunci), atau dari luar partai politik, seperti yang dilakukan para pemilik modal yang berambisi menjadi kepala daerah (bupati, wali kota, gubernur) dengan cara “membeli” atau bahkan “memborong” kursi partai politik atau gabungan partai politik.

Keberadaan oligarki dalam pencalonan kepala daerah inilah yang menutup peluang calon-calon kepala daerah yang baik dan berintegritas muncul dari partai politik. Pada saat terjadi seperti ini, terobosan politik sangat dibutuhkan agar calon-calon yang baik dan berintegritas juga bisa tampil sebagai calon kepala daerah.

Dalam perspektif inilah tampilnya relawan Teman Ahok merupakan terobosan politik yang berupaya mencalonkan Ahok sebagai gubernur petahana yang (menurut survei) baik dan berintegritas. Jalur perseorangan menjadi pilihan terbaik bagi Ahok. Sebab, selama menjadi gubernur (menggantikan Joko Widodo), dia tidak mau bekerja sama dengan partai politik yang dinilainya semakin jauh dari kepentingan dan aspirasi rakyat.

Jika pendapat ini benar, maka upaya perbaikan fungsi partai politik sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan rakyat sama artinya dengan upaya melepaskan partai politik dari kekuatan oligarki, bukan dengan menafikan fungsi relawan politik. Relawan politik seperti Teman Ahok malah bisa menjadi pendorong perbaikan fungsi partai politik. Dan, setidaknya tiga partai politik (Nasdem, Hanura, dan Golkar) telah menangkap isyarat ini.

Di sisi lain, kini, yang patut diuji dan kita tunggu adalah bagaimana jika jerih payah para relawan politik ini akhirnya berujung di pangkuan partai politik? Bagaimana pendapat Anda?

Abd. Rohim Ghazali
Abd. Rohim Ghazali
Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.