Persaudaraan antar Sunni dan Syiah. “Hentikan konflik Sunni-Syiah, kalian bersaudara,” kata Syekh Ahmad Muhammad Ahmad at-Thayyib. Mungkin, pesan ini yang paling disoroti, dibincangkan, hingga diputar-balikkan dari ceramah-ceramah Imam Besar Al-Azhar, Kairo, Mesir, itu dalam kunjungannya ke Indonesia beberapa waktu lalu. Pesan utamanya tentang persatuan (ukhuwah) Islam.
“Ketika saya berdialog dengan sejumlah tokoh mereka (Syiah) tentang mencaci sahabat, mereka mengatakan, ‘Mereka bukan representasi kami’,” kata Syekh at-Thayyib melanjutkan.
Sebuah pandangan yang jernih dan mendasar dalam melihat fenomena Sunni-Syiah: menegaskan keduanya sesama muslim yang bersaudara, mengakui adanya oknum yang bisa muncul dari kedua mazhab tersebut dengan pandangan yang ekstrem, dan meminta agar penganut keduanya tak terpancing oleh provokasi oknum semacam itu yang riskan menjebak keduanya dalam konflik.
Pesan itu pun diikuti dengan keteladanan beliau mengajak Mufti Syiah Libanon, Syekh Ali al-Amin, dalam rombongannya pada kunjungannya ke Indonesia itu.
Sebagian pihak terkejut, bahkan heran, dengan pesan Syekh Ahmad at-Thayyib tersebut. Keterkejutan itu bisa muncul dari dua kemungkinan. Pertama, ketidakpahaman, keterasingan, atau bahkan ketidaktahuan sama sekali pada pemikiran, paradigma, dan fatwa keislaman Syekh Ahmad at-Thayyib selama ini.
Seperti ulama-ulama Mesir lain pada umumnya, Syekh Ahmad at-Thayyib merupakan seorang ulama yang selama ini memang dikenal alim, moderat, dan maju. Maka, sudah pasti ia akan menyampaikan pesan damai dan meneduhkan semacam itu. Fatwanya tentang ketidaksesatan Syiah, misalnya, sudah pernah disampaikannya pada 2010. (baca:di sini).
Bahkan, lebih jauh lagi, terkait ucapan (tahniah) selamat merayakan Natal, Syekh Ahmad at-Thayyib mengingatkan Majelis Ulama Indonesia bahwa pendapat fikih lama semacam itu mesti dikoreksi (ta’qīb). “Larangan ini dirumuskan dalam keadaan relasi sosial antara umat beragama yang kurang lebih bermusuhan, sementara sekarang keadaannya telah berubah,” katanya sebagaimana dikutip Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Prof Muhammad Machasin, di akun Facebooknya pada 23 Februari 2016 lalu.
Karena itu, Islam mengajarkan agar kita yang awam atau tak tahu tentang suatu perkara sebaiknya ber-husnudhon (berbaik sangka) agar tak terjebak pada dosa yang disebabkan oleh ketidaktahuan kita. “Musuh terbesar Islam adalah orang bodoh yang bersikap mengkafirkan sesama,” kata Ibn Rusyd. “Dan fitnah atas nama agama adalah senjata paling ampuh untuk menguasai orang-orang bodoh,” kata Ibn Rusyd lagi.
Kedua, keterkejutan itu muncul dari ketidakrelaan terjadinya persatuan dalam Islam. Mereka ini adalah kalangan takfiri (mereka yang gemar mengkafirkan sesama muslim). Sehingga, selalu menolak pesan-pesan damai Islam. Tak peduli meski itu muncul dari seorang ulama sekaliber Syekh Al-Azhar sekalipun.
Dalam konteks Indonesia, ulama dan pakar tafsir Al-Quran sekelas Prof. Quraish Shihab pun kerap menjadi sasaran kebencian mereka. Yang dilakukan mereka kemudian adalah–jika bisa–memelintir pesan gamblang itu atau–jika mustahil–dengan meragukan atau bahkan menolak otoritas keulamaannya.
Maka, berseliweranlah perlakuan semacam itu, khususnya di media sosial pada Syekh Ahmad at-Thayyib tempo hari, termasuk saat beliau masih di Indonesia. Bahkan, yang paling memprihatinkan, hingga disebarkan foto dengan keterangan fitnah bahwa Syekh Ahmad at-Thayyib berciuman dengan sesama lelaki. Naudzubillah!
Jika kita membaca literatur tentang Al-Azhar, sama sekali tak ada yang perlu dikagetkan dari pesan Syekh Ahmad at-Thayyib tersebut. Alih-alih pesannya itu justru seperti pengulangan saja dari pesan-pesannya sebelumnya atau pesan-pesan ulama-ulama atau institusi Al-Azhar sejak dulu.
Bahkan Al-Azhar sebenarnya didirikan oleh kontribusi Syiah. Lembaga itu dibangun oleh Dinasti Fatimiyah yang bermazhab Syiah. Kala itu, Dinasti Fatimiyah di bawah kepemimpinan Khalifah Al-Mu’iz li Dinillah, dan pembangunan cikal-bakal Al-Azhar dilakukan dengan memerintahkan panglimanya yang bernama Jauhar ash-Shiqilli. (baca: azhar.edu)
Nama “Al-Azhar” sendiri diambil dari nama Sayyidah Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad yang diagungkan oleh Syiah maupun Sunni. Aktivitas pengajaran di sana dimulai pada Ramadhan, tepatnya Oktober 975, ketika Ketua Mahkamah Agung Abu Hasan Ali bin Al-Nu’man mulai mengajar dari buku Al-Ikhtisar mengenai topik yurisprudensi Syiah.
Belakangan, menjelang Abad Pertengahan, barulah lembaga ini menjadi universitas Sunni hingga kini. Sebuah dialektika dan dinamika yang biasa terjadi dalam khazanah Islam masa lalu, saat Sunni dan Syiah tak dibentur-benturkan oleh kepentingan maupun rezim politik.
Di Indonesia pun, fenomena semacam itu lumrah terjadi. Seperti dicatat Ali Hasymi (Medan: Al-Ma’arif, 1981), pergantian kepemimpinan antara Sunni dan Syiah juga terjadi di Kerajaan Perlak sejak kepemimpinan sultan kelima Kerajaan Perlak: Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat. Maka, tak heran jika almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur hingga menyebut Nahdlatul Ulama adalah Syiah minus Imamah. Sebab, Islam Nusantara lahir dari dialektika dan saling pengaruh ajaran serta tradisi Sunni dan Syiah.
Dalam perkembangannya, ketika Sunni-Syiah mulai dibentur-benturkan dan masuk dalam iklim sentimen, Al-Azhar melalui para ulamanya yang berada di bawah pimpinan Grand Syekh Mahmud Syaltut pada 1950-an langsung bersikap dengan menggagas proyek pendekatan antar mazhab (at-taqrîb bain al-madzâhib). Sebuah proyek berbasis paradigma, kesadaran, dan komitmen keislaman moderat yang terus dipegang teguh oleh lembaga Islam tertua di dunia itu hingga kini (baca: taghrib.org).
Al-Azhar terus menjaga dan melestarikan komitmennya itu. Bahkan, lembaga itu menjadi benteng bagi persatuan Islam. Ulama-ulamanya terus berada di garis depan dalam berbagai proyek dan konferensi persatuan Islam maupun pendekatan antarmazhab. Termasuk, yang paling populer dan terbesar adalah dalam Risalah Amman 2005 (baca: ammanmessage.com), yang–selain ditandatangani oleh beberapa ulama dan mufti Mesir seperti Ali Gomaa dan Syekh Ahmad at-Thayyib sendiri, juga ditandatangani oleh Grand Syekh Al-Azhar saat itu: Muhammad Sayyid Tantawy (baca: di sini).
Akhirnya, selain sebagai lembaga pendidikan Islam tertua dan salah satu simpul peradaban Islam dunia, Al-Azhar juga menjadi monumen persatuan Islam. Namun, dengan segala kegemilangannya itu, Grand Syekh Al-Azhar Ahmad at-Thayyib tetap saja terpukau melihat Islam Indonesia. Hingga ia memuji tak terhingga dengan berkata dalam ceramahnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: “Mungkin saya tidak berlebihan jika saya memuji bangsa Indonesia dengan mengatakan bahwa Indonesia telah Allah pilih sebagai negeri tempat menyebarkan Islam sebagai agama yang menyerukan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat serta menjaga orisinalitas dengan tetap menerima segala hal baru yang keduanya dipadukan secara baik dalam individu maupun masyarakat Indonesia.”
Tentu, Imam Besar Al-Azhar itu tak sedang berbasa-basi atau berdiplomasi. Ia bukan politisi. Islam Indonesia yang moderat, toleran, damai, dan bersatu ini memang sedang menjadi kiblat bagi dunia Islam, khususnya setelah Islam di Timur Tengah dilanda krisis lantaran “perselingkuhannya” dengan politik. Alih-alih menjadi obat bagi krisis politik di sana, Islam di Timur Tengah justru terseret menjadi isu seksi yang dipermainkan oleh pemangku kepentingan di sana.
Karenanya, kita harus sadar akan semua ini, lalu bersyukur dengan menjaga, melestarikan, dan mengembangkan corak Islam kita. Apa pun nama yang kita sematkan padanya: Islam Nusantara, Islam berkemajuan, atau yang lainnya.