Asian Games segera berakhir. Tentu saya ikut senang dan memberi selamat kepada seluruh pihak yang memungkinkan keberhasilan perhelatan ini dan terdongkraknya prestasi Indonesia pada edisi kali ini. Saya cuma punya satu catatan: tentang drama from zero to hero para atlet kita yang disuguhkan di banyak berita.
Setidaknya sejak Juli lalu, kita sudah kedatangan gelombang berita tentang seorang sprinter juara dunia junior yang ‘ternyata’ lahir dari keluarga pas-pasan di Lombok, Lalu Muhammad Zohri. Narasi seperti itu kemudian susul-menyusul selama perhelatan Asean Games, entah sebagai kerangka utama atau sebagai sisipan, seolah jalan nasib semacam itu adalah sesuatu yang luar biasa bagi para atlet kita, mulai dari pemain takraw kembar putri, Lena dan Leni, sampai Wewey Wita, pesilat putri yang juga meraih medali emas.
Di sana mereka digambarkan sebagai individu-individu ajaib yang telah berhasil melewati aneka macam kesulitan hidup untuk bisa dikalungi medali di hadapan bendera negara.
Padahal, atlet yang terlahir dari keluarga menegah bawah yang kemudian sukses bergelimang medali, bonus dan kontrak, bukanlah kasus unik. Jalur hidup seperti itu justru mendominasi dunia olah raga, di seluruh benua. Bintang-bintang sepakbola dunia, misalnya, yang bisa bergaji miliaran rupiah per pekan, banyak yang berasal dari keluarga proletar. Cristiano Ronaldo dan Diego Maradona adalah segelintir contoh yang kerap disebut. Sebagian dari mereka bahkan berasal dari keluarga imigran yang meninggalkan negeri mereka untuk mencari hidup lebih baik, seperti Romelu Lukaku.
Sangat banyak atlet sukses memang berasal dari kelas proletar, dan menjadi atlet memang salah satu jalur populer bagi mereka untuk lepas dari kesusahan hidup. Mereka memang tumbuh sebagai anak-anak yang tertempa sedemikian rupa sehingga sanggup memeras keringat setiap hari untuk durasi yang panjang.
Sebaliknya, banyak dari anak-anak yang sudah hidup nyaman biasanya berguguran seiring naiknya level turnamen. Saya melihatnya ketika masih menjadi atlet. Kompetisi olahraga punya banyak tangga, mulai dari kelas tarkam sampai tingkat olimpiade atau kejuaraan dunia yang diadakan terpisah untuk masing-masing cabang olahraga. Semakin tinggi level yang bisa dicapai seorang atlet, pelatihan yang harus mereka lewati akan semakin panjang, intensif, dan tentu saja semakin berat. Saingan semakin banyak dan kuat.
Sebagai gambaran, saya pernah menjadi anggota tim provinsi yang bertanding di kejuaraan level nasional. Untuk bisa sampai ke sana saya harus latihan secara teratur selama sekitar enam tahun. Tiga tahun terakhir dari kurun itu saya harus berlatih nyaris setiap hari; dan menjelang setiap turnamen, porsi dan durasi latihan akan bertambah. Mereka yang ingin mencapai tim nasional rata-rata melewati proses semacam itu selama lebih dari sepuluh tahun, tentu dengan porsi latihan lebih berat dan durasi per hari yang lebih panjang.
Namun prasyarat menjadi calon atlet bukan hanya soal latihan intensif. Biasanya, ketika seorang atlet tiba pada level tertentu, ia harus membuat keputusan besar dalam hidupnya: mau terus menjadi atlet atau segera banting setir. Ini bukan keputusan main-main.
Pada saat itu, usia sang atlet biasanya sudah mengharuskan mereka memilih jalur masa depannya. Bila anda ingin terus menjadi atlet—menjadi olahragawan profesional—anda harus yakin bahwa anda siap bekerja keras untuk mencapai level lebih tinggi, anda harus yakin bahwa anda cukup berbakat, dan anda harus yakin bisa hidup dari sana atau mendapat karier permanen lain dari sana.
Anda tak bisa melanjutkan studi atau melakoni pekerjaan lain secara serius sembari menyiapkan diri menjadi atlet nasional. Sebagian klub olahraga atau badan pemerintah memang menyediakan fasilitas bersekolah kepada atlet muda, tetapi itu terjadi ketika anda sudah diterima sebagai bagian dari setidaknya salah satu institusi tersebut.
Untuk bisa berlatih secara intensif selama bertahun-tahun dan menyasar level kompetisi lebih tinggi, seorang atlet butuh peralatan yang memadai, lapangan standar, sepatu yang cocok, dan diet makanan yang tepat. Semua itu butuh biaya besar, hanya bisa ditanggung institusi seperti klub atau pemerintah. Anda butuh masuk ke sana untuk bisa berhasil.
Setelah keputusan menjadi atlet diambil dan anda sudah menjadi bagian dari klub atau badan pemerintah yang mengurus cabang olahraga anda, risiko lain masih mengintai. Bila anda mengalami cedera serius yang menghentikan karier anda, atau anda gagal mempertahankan prestasi di klub yang menampung dan menghidupi anda, semua kemewahan itu bisa segera lenyap.
Tipisnya prospek masa depan dari cabang olahraga yang digeluti seorang atlet juga bisa berpengaruh menghentikan langkah seorang atlet. Misalnya, bila di kota atau provinsi anda tidak ada klub yang terlibat dalam kompetisi reguler di cabang olah raga anda, peluang anda menjadi atlet profesional menjadi tipis.
Dengan demikian, berlanjut tidaknya pelatihan seorang atlet, yang sangat berpengaruh pada prestasinya, lebih bergantung pada kehadiran sebuah institusi olahraga yang bisa menampung mereka daripada keajaiban nasib sang atlet itu sendiri. Sehingga prestasi olahraga sebuah negara lebih bergantung pada kualitas dan kuantitas institusi semacam itu daripada perjuangan individual sang atlet.
***
Bagi anak-anak dari keluarga proletar, proses pelatihan itu sendiri—lebih tepatnya fasilitas institusi yang dinikmati selama pelatihan panjang itu—sudah merupakan kemewahan. Makanan bergizi yang teratur, tempat tinggal yang lebih layak, peralatan dan pakaian olahraga yang sudah lama diimpikan, pendapatan teratur dan sesekali bonus besar, serta kemewahan-kemewahan lainnya, jauh melampaui seluruh hambatan yang mungkin mereka jumpai untuk menjadi seorang atlet sukses.
Semua fasilitas itu terlalu mewah hanya untuk dihalangi oleh prasyarat kerja keras yang memang sejak kecil sudah menjadi makanan mereka. Bahkan, kemungkinan sebaliknya lebih menakutkan bagi mereka: kerja keras itu boleh jadi tetap akan mereka lakoni tanpa menerima limpahan kemewahan sebagai seorang atlet.
Karena itulah, menggambarkan para atlet kita sebagai individu unik yang secara ajaib dapat berlari keluar dari belitan kemiskinan, bisa membuat kita melewatkan satu hal penting. Mereka bisa ada di sana karena hadirnya aneka sistem pendukung: mulai dari orang tua dan kerabat yang merawat dan mendukung mereka sejak kecil, klub dan sekolah yang menampung mereka, serta badan-badan pemerintah terkait yang menopang semua itu.
Capaian anak-anak dari kelas pekerja di Asean Games bukan lahir dari keajaiban individual, melainkan buah dari kerja segala sistem di mana sekarang mereka berada.