Sabtu, November 2, 2024

Sudan dan Tragedi Tiada Akhir

Moddie Wicaksono
Moddie Wicaksono
Pegiat GASPOLIAN (Gerakan Sadar Politik Internasional) Yogyakarta.
- Advertisement -

“Selama 11 hari, sejak saya pertama kali di sini, saya menyiapkan teh, kopi, dan zalabya untuk para revolusioner. Mereka tak memiliki sesuatu untuk dimakan dan diminum. Maka, saya berjuang dari dapur dengan menyiapkan segala kebutuhan perut mereka.”

Namanya Awadeya Mahmoud Koko. Ia akrab disapa Koko. Bagi sebagian masyarakat Sudan, ia hanya dikenal sebagai pembuat teh. Tapi bagi kaum revolusioner, ia adalah Mother of Revolution. Bahkan lebih dari itu, dia yang menggerakkan masyarakat Sudan untuk memprotes pemerintahan Sudan, meski hanya melalui teriakan dan tepuk tangan.

Mimpinya sederhana. Suatu saat perempuan di Sudan, yang notabene umumnya hanya di dapur, bisa bergerak dalam pemerintahan dan duduk di parlemen. Ia menginginkan perempuan hadir yang tidak hanya meneriakkan aspirasi melainkan juga menentukan kebijakan yang mumpuni. Lebih tepatnya lagi, ia menginginkan kesetaraan, baik laki-laki maupun perempuan. Sesuatu yang tidak terlihat selama kepemimpinan Omar El-Bashir.

Nama yang disebut terakhir adalah penguasa Sudan hampir 30 tahun. Memperoleh kekuasaan tahun 1989 dengan jalan “berdarah” kemudian dengan tangan besi, bagi masyarakat Sudan, Omar El-Bashir mencoba menguasai tak hanya sumber daya alam melainkan sumber daya manusia agar tak mudah memberontak di hadapannya.

Dan itu ia buktikan ketika pecah konflik Darfur pada tahun 2003. Orang-orang di luar Sudan menyebutkan Perang Sipil Jilid II. Menurut data dari PBB, lebih dari 300.000 orang meregang nyawa karena mempertahankan wilayah Darfur yang diklaim memiliki sumber daya alam terpendam.

Enam tahun kemudian, Mahkamah Internasional menjatuhkan hukuman kepada Omar atas tindakan genosida. Namun, ia menolaknya. Ia meyakini kebijakan saat itu perlu dilakukan karena masyarakat mencoba membangkang. Bahkan, yang paling parah, andai masyarakat tak membangkang, justru Sudan aman dan tenteram. Oleh masyarakat Sudan, Omar disebut memiliki penyakit jiwa karena dengan mudah “membunuh” orang.

Yang lebih mengerikan, sesudah hukuman itu dijatuhkan, Omar masih yakin bahwa dirinya terpilih sebagai presiden pada Pemilu 2010. Dan keyakinannya terbukti. Bahkan dua kali. Ia terpilih pada tahun 2010 dan 2015. Meskipun oposisi memboikot pemilu, dalam catatan pemerintahan, Omar-lah yang memimpin Sudan.

Catatan kelam tersebut bertambah setelah di tahun 2011 pecah referendum yang menginginkan Sudan Selatan terpisah dari Sudan. Dan ternyata berhasil. Mungkin Omar kaget, tak menyangka masyarakat Sudan Selatan berani melakukan hal demikian. Tapi, kekagetannya tak berarti apa-apa. Toh, kenyataannya, pada 2015 Omar terpilih menjadi presiden.

Akumulasi kekesalan masyarakat Sudan baru terwujud pada akhir tahun 2018. Pasalnya, bahan makanan pokok menipis, bensin langka, dan uang tunai susah didapatkan. Gelombang protes menjalar di Atbara, salah satu kota industri di Sudan. Sejak pagi ratusan orang mengelilingi kota dan berunjuk rasa di sebuah pom bensin. Malamnya, kericuhan terjadi. Aparat menahan setidaknya delapan orang dalam kericuhantersebut. Penahanan atas delapan orang tersebut justru semakin menyulut kemarahan masyarakat Sudan.

Bersama asosiasi pekerja profesional, kelompok oposisi membentuk Aliansi untuk Kebebasan dan Perubahan (AFC) pada awal Januari 2019. Demonstrasi kian merebak. Korban tewas makin bertambah. Negara-negara asing mulai menaruh perhatian kepada Sudan. Mereka mengutuk pemerintahan Omar El-Bashir yang dinilai menggunakan kekerasan dalam membendung amarah masyarakat.

- Advertisement -

Di saat terdesak Omar masih berusaha mengendalikan pemerintahan. Setelah jalanan berusaha dikendalikan, giliran sebuah universitas di Khartoum justru ikut bergolak. Penyerangan oleh tentara dengan membawa senjata saja sudah membuat pelajar bergidik, apalagi dengan tembakan gas air mata. Maka, kericuhan tak terhindarkan. Di sisi lain, Mahkamah Pengadilan Internasional terus mengincar Omar karena kasus konflik Darfur belasan tahun lalu.

Dari Atbara menuju Khartoum, protes semakin membara. Sebab, setelah puluhan korban berjatuhan, dua ribu orang ditahan aparat. Mereka menduga Rapid Support Forces (RSF), yang juga terlibat dalam peristiwa Darfur, yang membentengi pemerintahan Omar. Selama aparat membentenginya, maka demonstran semakin merebak. Di saat itulah muncul seorang perempuan bernama Alaa Salah.

Jika Koko berjuang dari dapur, Salah muncul ke depan membawakan orasi dan mengungkapkan kekecewaan kepada pemerintahan Sudan, khususnya Omar. Dan kejatuhannya barangkali mirip dengan Soeharto. Orasi dari kaum terpelajar yang akhirnya membuat Omar El-Bashir meletakkan jabatan presiden selama hampir 30 tahun. Meskipun versi yang lain menyebutkan ada percobaan kudeta, dan itu sukses dilakukan oleh militer yang terwakili oleh RSF.

Kendati Omar sudah turun, masyarakat tak sepenuhnya puas. Mereka masih menginginkannya untuk masuk ke dalam penjara. Dialah yang bertanggungjawab atas kericuhan, kelangkaan, dan kekejaman. Protes tak kunjung mereda. Militer yang mengambil alih kepemimpinan sementara justru kewalahan. Yang ada gelombang kematian malah bertambah.

Masyarakat pun berharap revolusi. Dan yang diinginkan sederhana: mereka tak ingin lagi didikte oleh antek pemerintahan yang dulu maupun militer. Selama militer masih berada di pucuk kepemimpinan, maka kemungkinan Omar-Omar baru akan tetap hadir. Negosiasi yang diharapkan antara militer dan masyarakat pun mentok. Negosiasi terhambat dan jumlah korban semakin banyak.

Bulan Ramadan yang seharusnya diharapkan menjadi sarana untuk menambah kebaikan, yang terjadi di sana justru sebaliknya. Bukan pahala yang berdatangan melainkan peluru yang beterbangan. Lebih dari 100 orang dikabarkan tewas. Yang lebih memprihatinkam, hal tersebut kian memuncak di saat Ramadan berakhir dan menjelang Idulfitri.

Salah seorang pemuka agama, Paus Francis, ikut berkomentar mengenai konflik di Sudan, “Kami berdoa untuk mereka, berharap kekerasan segera berakhir dan dialog untuk menuju kebaikan tercapai.”

Konflik di Sudan memang mengerikan. Jalan mereka untuk menggapai demokratisasi sepertinya masih jatuh dari terang. Jikalau mereka tak lagi percaya kepada siapa pun yang ada di Sudan, lantas kepada siapa mereka berharap mewujudkan Sudan sebagai negara demokrasi yang diharapkan?

Moddie Wicaksono
Moddie Wicaksono
Pegiat GASPOLIAN (Gerakan Sadar Politik Internasional) Yogyakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.