Jumat, Maret 29, 2024

Perlunya Anak Muda Belajar dari Gerakan Anti-Korupsi di Rusia

Alvin Nicola
Alvin Nicola
Program Support Officer di Transparency International Indonesia.

Sejumlah massa aksi menuntut pengusutan kasus korupsi Perdana Menteri Rusia Dmitri Medvedev. [Sumber: www.washingtonpost.com]
Pada 26 Maret lalu, terjadi demonstrasi terbesar terhadap rezim Vladimir Putin pasca protes Bolotnaya di tahun 2011. Sekitar 60.000 warga di 82 daerah memprotes dugaan praktik korupsi yang dilakukan Perdana Menteri Rusia Dmitri Medvedev.

 

Hal ini dilatarbelakangi oleh pemimpin oposisi dari Progress Party dan aktivis anti-korupsi Alexei Navalny yang merilis video investigasi bahwa Medvedev telah memanfaatkan kewenangannya untuk membangun sebuah kerajaan properti menggunakan skema korupsi berdasarkan jaringan amal. Medvedev menimbun kekayaannya tersebut untuk membeli rumah mewah, kapal pesiar, dan kebun-kebun anggur.

Perlawanan terhadap rezim kleptokrasi Kremlin ini mengalir deras ke seluruh penjuru Rusia, dari Moskow, Vladivostok, hingga ke Makhachkala, daerah tempat Putin mengantongi suara lebih dari 90%. Putin melalui polisi menanggapi aksi ini dengan membangun barikade yang represif, menekan mundur jurnalis, dan melakukan penangkapan massal di seluruh Rusia. Menurut organisasi pemerhati HAM, setidaknya lebih dari 700 orang ditangkap paksa di Moskow, termasuk Navalny.

Korupsi di Rusia dan Munculnya ‘New Kids on the Block’

Di balik riuhnya demonstrasi tersebut, protes di seluruh Rusia pada Minggu lalu menandai kedatangan musuh baru bagi Kremlin: generasi muda Rusia. Jika demonstrasi Bolotnaya sebelumnya diisi oleh para aktivis dan masyarakat paruh baya, 60% aksi kali ini justru dipelopori oleh anak muda berusia 13-25 tahun yang seringkali dianggap sebagai generasi paling apolitis Rusia.

Partisipasi anak-anak muda Rusia dalam gerakan anti-korupsi ini setidaknya didorong oleh beberapa alasan. Pertama, kondisi politik Rusia yang korup. Demonstrasi ini merupakan bagian dari perjalanan panjang Rusia dalam melawan korupsi. Tingkat rata-rata suap di Rusia meningkat selama lima tahun terakhir. Bahkan menurut Corruption Perception Index 2016, peringkat Rusia terjun 12 peringkat dari posisi 119 ke 131 dengan skor 29. Praktik korupsi sistemik ini menunjukkan lemahnya aturan hukum dan upaya pemberantasan korupsi yang setengah hati.

Korupsi terlembaga ini juga diperkuat oleh relasi pemerintah-parlemen-sektor bisnis yang “akrab” mengambil uang masyarakat Rusia. Dari hasil Indeks Kroni Kapitalisme 2016, Rusia menempati peringkat terburuk: kekayaan negara dari sektor kroni mencapai 18% dari total PDB Rusia. Para kroni kapitalis–individu yang mendapatkan kekayaan berkat “hubungan baik” mereka dengan pemerintah tersebut jelas sedang menikmati masa keemasannya saat ini.

Akhirnya penduduk Rusia-lah yang harus membayar korupsi ini, termasuk anak muda. Lembaga-lembaga yang seharusnya melayani masyarakat, seperti aparat penegak hukum dan pelayanan kesehatan-pendidikan, justru dinobatkan sebagai sektor terkorup akibat menjadikan korupsi sebagai “pekerjaan” mereka sehari-hari.

Peningkatan pesat dalam tarif untuk perumahan, air, gas, dan listrik yang secara signifikan melebihi tingkat inflasi, adalah akibat langsung dari volume tinggi korupsi. Hal ini turut diperburuk setelah Uni Eropa memperpanjang sanksi ekonominya terhadap Rusia hingga pertengahan 2017 akibat campur tangan di Krimea.

Kedua, anak-anak muda di Rusia saat ini dapat dikatakan merupakan “generasi asli Putin”: mereka yang sama sekali tidak memiliki ingatan “Rusia tanpa Putin” di kepala mereka. Praktis selama hidupnya, secara sadar maupun tidak, anak-anak muda ini memiliki pengalaman ketertindasan akibat korupsi: sistem pendidikan yang buruk, perampasan hak menyampaikan pendapat, dan pelayanan publik yang tidak berpihak pada anak muda.

Akibat rezim ini pula, tingkat pengangguran tetap tinggi berada di angka 5,6% di tahun ini. Ketidakpastian kerja ini dirasakan sekali oleh anak muda. Unjuk rasa ini tidak lain merupakan ekses dari meluapnya frustasi ekonomi dan melebarnya kesenjangan yang terjadi di Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Pada titik itulah kemarahan warga akan sistem politik yang kronis dan standar hidup masyarakat di Rusia yang semakin buruk semakin terakselerasi.

Perlawanan anak muda kemudian merupakan langkah mereka untuk merebut status quo yang membuat anak muda selama ini tertindas. Bagi mereka, berbeda dengan orang tua yang menutup mata akan persoalan korupsi, usia muda merupakan hak istimewa dan maka dari itu patut diperjuangkan untuk menentang penguasa yang korup. Gelombang demonstrasi ini juga menunjukkan bahwa generasi muda yang selama ini dilabel apatis, nampaknya tidak ingin lagi merasakan 6-7 tahun di bawah stagnasi dan ingin menentukan masa depan Rusia di tangan mereka.

Ketiga, internet. Kehadiran internet dan terhubungnya jaringan global membantu anak-anak muda ini mendapatkan informasi secara cepat, membantu mengorganisir massa, dan memasifkan pemberitaan. Bahkan video yang dirilis Navalny menyebar cepat melalui YouTube hingga menembus angka 13 juta kali tonton. Hal yang menarik, pergeseran generasi aktivisme dalam protes ini ditunjukkan dengan cara khas abad ke-21: membombardir petugas dengan selfies dan video-blogging.

Mereka membuat dan menyebarkan petisi online. Pesan tentang demonstrasi dibagikan melalui chat group di aplikasi pesan. Bahkan, anak-anak muda ini menggunakan meme bergambar bebek karet kuning yang ditujukan untuk merendahkan Medvedev yang diduga memiliki salah satu perkebunan mewah untuk seekor bebek.

Mobilisasi besar-besaran anak muda di Rusia dapat dijelaskan oleh fakta bahwa Navalny adalah representasi generasi internet. Dia mempublikasikan berbagai penyelidikannya mengenai korupsi pemerintah bukan pada media konvensional, tetapi melalui media sosial dan blog pribadinya. Navalny tepat menangkap gejolak perubahan ini. Alasannya sederhana: generasi saat ini tidak lagi menonton TV.

Saluran TV negara adalah pendukung utama tuas kekuasaan Vladimir Putin; mereka bahkan lebih penting daripada pengadilan dan parlemen yang ia kontrol. Namun sayangnya, Kremlin gagal membentuk sikap politik nasionalis anak-anak muda Rusia melalui saluran TV. Statistik menunjukkan mayoritas penonton TV negara di Rusia saat ini berada pada usia 60 tahun ke atas dengan jumlah penonton muda yang terus berkurang.

Secara psikologis seseorang yang tumbuh di era internet dan tidak, jelas akan berbeda. Anak muda ini memilih diri mereka sebagai subjek, bukan objek, dan dapat memilih sumber-sumber informasi apa yang akan ia konsumsi. Tentu ada aspek negatif dari hal ini, seperti misalnya para populis menggunakan internet untuk menyebarkan berita palsu dan mendorong popularitas pemilu Brexit dan Trump. Tapi di Rusia yang otoriter, budaya baru konsumsi informasi ini adalah tantangan utama untuk rezim. Dari sinilah, Kremlin nampaknya telah kehilangan kekuasaan terhadap kelompok muda karena internet.

Belajar dari Rusia

Walaupun terlalu dini untuk mengatakan bahwa fenomena ini akan menjadi tantangan serius bagi Kremlin secara jangka panjang, perjuangan anak-anak muda ini patut diapresiasi. Anak-anak muda Rusia yang ikut berunjuk rasa menunjukkan bahwa mereka percaya mereka dapat menentukan masa depan mereka sendiri; masa depan yang dicuri oleh pihak berwenang saat ini. Anak-anak muda Indonesia patut belajar dari semangat tersebut. Hal ini dikarenakan pengalaman ketertindasan dan dampak korupsi yang bisa dikatakan relatif serupa, terlebih justru 69% anak muda rentan melakukan suap karena terjebak dalam sistem yang korup.

Alasan mengapa anak muda perlu terlibat dalam gerakan anti-korupsi, bukan hanya semata-mata karena korupsi adalah sebuah kejahatan atau menyalahkan kembali “peran” anak muda, tapi juga untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Terlebih dari sekitar 7 juta pengangguran di Indonesia, 60% di antaranya justru adalah anak muda. Anak muda yang sudah bekerja pun masih dihantui ketidakpastian kerja. Dana pendidikan dan jaminan kesehatan yang dikorupsi, misalnya, juga akan berdampak pada kebutuhan anak muda secara jangka panjang. Korupsi e-KTP yang mencapai Rp 2,5 triliun juga dapat mengancam akses anak muda terhadap hak menikmati pelayanan publik.

Belajar dari Rusia, anak-anak muda Indonesia harus mulai mengorganisir diri. Di Porto Alegre, Brasil, anak muda berkunjung ke Balai Kota untuk menuntut kebijakan publik yang tidak adil. Di Amerika Serikat, anak-anak muda membuat serikat kerja. Mereka berkumpul, berorganisasi, dan menuntut kebijakan yang manusiawi bagi pekerjanya. Di Indonesia sendiri, ada Youth Report Center yang diinisiasi Transparency International Indonesia terkait isu pemantauan pelayanan publik oleh anak muda.

Sekarang, publik internasional sedang menunggu cemas perkembangan dari demonstrasi ini: apakah akan berakhir buruk seperti aksi protes 2011 atau justru berhasil head-to-head dengan Putin. Gerakan anti-korupsi global juga patut menyusun kembali strategi anti-korupsi melawan rezim represif seperti di Rusia. Terlebih pasca demonstrasi, Putin akan tetap mempertahankan kontrolnya melalui berbagai metode represi.

Kondisi korupsi di Indonesia yang masih masif perlu ditanggapi serius oleh anak mudanya. Jika gerakan anak muda anti-korupsi di Rusia masih jauh mengancam eksistensi Kremlin, anak muda Indonesia patut belajar dari Rusia yang berani menentang status quo dan tegas menentukan masa depannya sendiri.

Alvin Nicola
Alvin Nicola
Program Support Officer di Transparency International Indonesia.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.