Sabtu, April 20, 2024

MLM itu Najis dan Ini Manusiawi

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman

Saya bukan penggemar pemasaran dengan skema piramida atau sistem yang, katanya, digunakan sejumlah biro umrah bermasalah. MLM, nama populer skema ini, adalah sistem yang merendahkan, vulgar, dan tak masuk akal. Tak perlu ada predikat apa pun untuk menghaluskannya.

Ada satu adegan dalam film Quickie Express, pionir komedi seks Indonesia, yang sangat berkesan buat saya. Sewaktu Jojo, sang tokoh utama yang diperankan Tora Sudiro, ditawari pekerjaan menjadi gigolo, ia kontan menolak. Ia butuh uang. Tetapi, pekerjaan menjadi gigolo menurutnya sangat hina.

Pria yang menawarinya pekerjaan berpikir sejenak. Tak lama, ia terpikir pekerjaan lain yang lebih cocok untuk Jojo.

“Apaan tuh?” tanya Jojo.

“Em-el-em.” [MLM]

Jojo kontan merespons dengan mimik jijik. “Mending gue jadi gigolo!”

Dan Jojo pun menjadi gigolo.

Ketika saya mendapati adegan di atas, saya ingin tertawa lepas. Tentu saja saya tak benar-benar terpingkal-pingkal. Namun, maksud saya, saya merasa kekesalan saya yang telah menahun sedikit-banyak terlampiaskan. Kekesalan apa? Kekesalan terhadap MLM yang, sebenarnya, tak perlu saya jelaskan lagi.

Suatu hari, karib lama tiba-tiba menghubungi Anda. Anda kira, ia ingin beramah-tamah selayaknya seorang karib yang hilang. Tak lama sedari perjumpaan berlangsung, perbincangan mulai menjurus ke tawaran-tawaran yang tak enak didengar. Anda mulai menyadari, ia tak menjumpai Anda karena perkawanannya dengan Anda. Ia menceritakan kepada Anda satu skema ajaib yang dapat membuat Anda kaya lebih cepat dari pekerjaan apa pun di dunia ini.

Dan tanpa Anda sadari, Anda sudah terperangkap dalam iming-iming yang memaksa Anda menerimanya. Bila menolaknya, Anda seakan-akan orang bodoh yang tak ingin berhasil dalam hidup atau tak menghargai perkawanan dengan karib Anda. Bila menerimanya? Anda menjadi bawahannya, menyerahkan sejumlah uang yang tak kecil untuk para atasan yang tidak pernah Anda kenal, bekerja gratis untuk sebuah perusahaan yang tak jelas komoditas dagangannya.

Terdengar tidak asing?

Pada kesempatan lain, suatu tawaran pekerjaan datang kepada Anda. Anda, katanya, mempunyai semua kompetensi yang diperlukan perusahaan bersangkutan. Hanya Anda, katanya, yang dapat menjajal kesempatan yang mereka berikan. Sesegera Anda mendatangi mereka, Anda terjebak dalam presentasi MLM. Tak sendiri. Anda terjebak bersama puluhan individual kompeten “langka” lainnya yang sama sialnya dengan Anda.

Saya tak akan mengatakan MLM merupakan pada dirinya sendiri penipuan. Tapi, kita pun tak perlu ragu untuk mencerca lelaku yang distandarkannya. Anda, secara telanjang, ibarat kata dijadikan anjungan tunai kerabat dan kolega sendiri demi keberlangsungan sistemnya. Hubungan Anda dengan orang dekat diperah untuk jelas-jelas memperkaya mereka yang berada di hierarki teratasnya.

Dan janji-janji Anda akan menjadi seseorang yang juga makmur dalam skema ini? Iming-iming ini di pengujung hari biasanya tinggal iming-iming. Dari manakah kekayaan diperoleh bila suatu sistem tidak menjajakan komoditas yang memang dibeli banyak orang? Dari orang-orang baru yang direkrutnya—yang diharuskan membayar sejumlah uang ke atasannya. Namun, skema piramida ini tak akan selamanya menemukan “orang baru” yang dapat diperdaya untuk memperkaya “orang lama.”

Sebagian besar, yang tidak mampu merekrut bawahan lagi, dipastikan akan kehilangan uangnya. Dalam penelitian Joh M. Taylor terhadap 350 usaha MLM yang dipublikasikan oleh Komisi Perdagangan Federal AS, 99 persen orang yang direkrut oleh pemasaran berskema piramida akan kehilangan uangnya.

Ini wajar dan masuk akal saja. Semua ada batas jenuhnya. Mereka yang kaya secara menghebohkan di puncak teratas tak mungkin menggali uang dari sumur gaib tak berdasar. Namun, dalam MLM, Anda diajar menjadi tamak. Tamak dan tamak belaka. Dunia adalah ladang penghasilan tak terbatas yang menanti dituai mereka yang cukup ambisius menyambut tantangannya.

Kalau boleh kita tarik hikmah dari preseden-preseden masa silam, kita punya serenteng pembenaran untuk mengecam praktik semacam. Praktik-praktik memperlakukan insan lain sebagai perkakas memperkaya diri tak pernah mendapatkan tempat terpuji dalam sejarah.

Kita tahu, Islam melarang pengutipan riba. Tetapi, di Barat sendiri pun bankir tidak pernah menjadi profesi yang terhormat sampai dengan belakangan. Di Eropa masa lalu, bankir senantiasa berkonsultasi dengan para teolog lantaran menarik bunga dari orang lain merupakan tindakan yang dipertanyakan moralitasnya.

Kita tentu insaf bahwa Yahudi adalah kelompok insan yang begitu dibenci hari ini. Empat abad silam, akar-akar anti-Semitisme disemai terlebih dulu oleh keberadaan mereka sebagai pemberi utang. Orang Kristen, pada masa itu, tidak diperkenankan meminjamkan uang dan membungakannya kepada sesama orang Kristen. Orang Yahudilah yang, konsekuensinya, banyak mengambil profesi menjadi pemberi utang.

Intinya, uang tidak seharusnya dipergunakan untuk mencetak uang yang lebih banyak. Penumpukan kekayaan demi kekayaan itu sendiri adalah kejahatan. Bukan tanpa alasan, di banyak komunitas adat, ekonomi yang berkembang adalah ekonomi berbagi. Hasil kerja satu insan disetor di lumbung bersama untuk kemudian dibagikan dengan asas tak ada yang meraup berlebih-lebih dan tidak ada yang berkekurangan. Dan bukan kebetulan di belahan lain pada satu waktu, Aristoteles menyampaikan, uang tidak seharusnya “beranak pinak” pada dirinya sendiri.

Anda geram dengan MLM? Sudah seharusnya, saya kira. Ia merayakan apa yang semestinya tidak dirayakan manusia: kerakusan. Sayangnya, MLM bukan satu-satunya praktik yang menambatkan kemanusiaan dan watak sosialnya secara blak-blakan di bawah kaki uang pada hari-hari ini.

Saya memasuki dunia kuliah dan saya pertama-tama diajarkan untuk memperlakukan manusia sebagai sumber daya, modal, komoditas. Saya memasuki toko buku, buku-buku yang saya jumpai di depan-depan adalah bagaimana menjadikan uang secara gaib bekerja untuk Anda.

Dan dalam situasi kala uang menjadi panglima sebagaimana hari ini, tak heran MLM selalu menemukan cara baru untuk merangsek kembali ke kehidupan kita. Ketika saya pikir saya tak akan menjumpai tawaran MLM lagi atau saya sudah dapat mengantisipasi setiap modusnya untuk mendekati saya, iming-iming MLM sekonyong-konyong datang lagi.

Beberapa bulan silam, dosen saya tiba-tiba menghubungi saya untuk ikut dalam satu pertemuan yang diikuti oleh figur-figur penting. Tak lama, saya mengetahui, pertemuan ini adalah presentasi MLM.

Saya diminta untuk menginvestasikan sejumlah uang. Dosen saya sendiri telah menanamkan uang yang tak sedikit. Ia hanya akan mendapatkan uangnya kembali bila ia bisa menggiring beberapa orang lain ke dalam labirin celaka ini.

“Profesor dari UNS juga ikut. Saya diajak beliau,” ujarnya berusaha meyakinkan saya.

Saya tak bisa menolaknya mentah-mentah karena saya menghargai relasi kami. Saya tidak bisa bergabung karena saya tak ingin hasil kerja saya memperkaya segelintir orang di rantai teratas yang tak menjajakan apa pun selain mimpi-mimpi kopong. Saya, akhirnya, hanya terpana dengan bagaimana orang-orang terpelajar pun tak sulit terjerumus dalam skema piramida MLM.

Ketika itu terjadi, saya teringat adegan ikonik dalam Quickie Express yang sudah saya ceritakan di atas. Saya tergelitik karena merasa adegan itu benar? Gigolo lebih baik dibandingkan MLM? Saya tak tahu persisnya. Tapi, pekerjaan apa pun, yang tak memperalat orang untuk menjadikan perkawanannya bancakan para punggawa, saya kira, lebih berharga untuk dilakoni dibandingkan MLM.

Kolom terkait:

Biro Haji Ngebet Kaya dan Penistaan Agama

(Bukan) Ekonomi Berbagi: Catatan untuk Rhenald Kasali

Sudah Mabrurkah Hajimu?

Agama dan Korupsi: Dari Patung Yesus hingga Haji dan Umroh

Ibadah Haji dan Jebakan Sindikasi

Geger Riyanto
Geger Riyanto
Esais, sosiolog. Mahasiswa Ph.D. bidang Etnologi, Universitas Heidelberg, Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.