Rabu, November 20, 2024

Merayakan Imlek di Masa Ahok

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
- Advertisement -
Atraksi barongsai menghibur ratusan pengunjung ketika perayaan Tahun Baru Imlek di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (19/2). Sejumlah pusat perbelanjaan menggelar berbagai atraksi budaya Tionghoa sebagai daya tarik bagi pengunjung dalam rangka perayaan tahun baru Imlek 2566. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pd/15.
Atraksi barongsai menghibur ratusan pengunjung ketika perayaan Tahun Baru Imlek di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Kamis (19/2). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/pd/15.

Sabtu, 28 Januari 2017, adalah Hari Raya Imlek. Hari ini biasa dirayakan besar-besaran oleh orang-orang Tionghoa, karena hari ini menandai tahun baru mereka, salah satu tanggal terpenting dalam hidup mereka. Hari raya ini setara dengan Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) bagi kaum Muslim atau Hari Raya Natal bagi umat Kristen di seluruh dunia.

Di Indonesia, Hari Raya Imlek memiliki makna simbolik sangat penting. Hal ini terkait dengan sejarah diskriminasi yang berlangsung sistematis atas warganegara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa, yang antara lain memuncak pada kerusuhan anti-Tionghoa menjelang Reformasi 1998. Diskriminasi sistematis ini sudah kita akui sebagai kesalahan kita bersama sebagai bangsa, meskipun detail masalahnya belum sepenuhnya tuntas diselesaikan.

Sebagai bagian dari langkah-langkah memperbaiki kesalahan di atas, dan sejalan dengan tuntutan Reformasi, dua keputusan penting terkait Imlek diambil Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada 2000, dia mencabut Instruksi Presiden No. 14/1967, yang antara lain melarang perayaan Imlek. Kemudian, pada 2001, dia mengeluarkan Keputusan Presiden No. 19/2001, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (berlaku hanya bagi mereka yang merayakannya). Pada 2002, keputusan ini dilanjutkan pengganti Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menjadikan Hari Raya Imlek sebagai salah satu hari libur nasional.

Dengan kata lain, perayaan Imlek dan penetapannya sebagai hari libur nasional menyimbolkan salah satu capaian penting demokrasi Indonesia, ketika hak-hak WNI keturunan Tionghoa kembali diakui dan hendak ditegakkan. Sebelumnya, sepanjang 32 tahun di bawah Orde Baru, mereka diperlakukan seperti warganegara kelas dua, dengan hak-hak yang dikebiri.

Tak heran jika banyak WNI keturunan Tionghoa mengucapkan banyak terima kasih kepada almarhum Presiden Gus Dur. Beberapa di antara mereka bahkan mengunjungi makamnya di Jombang, Jawa Timur, untuk bersyukur dan mendoakannya pada setiap Hari Raya Imlek.

Sayangnya, tidak seperti tahun-tahun lalu, persiapan perayaan Imlek tahun ini berlangsung kurang meriah. Setidaknya, itulah yang saya rasakan di Jakarta. Saya jarang menyaksikan iklan-iklan televisi atau media cetak dikaitkan dengan Imlek. Hiasan-hiasan terkait Imlek di jalan-jalan raya juga tak seramai tahun-tahun sebelumnya, meskipun beberapa di antaranya bisa ditemukan misalnya di Bandara Soekarno-Hatta.

Mudah-mudahan ini kesan saya saja, anak pinggiran Jakarta yang kebetulan kurang gaul, tidak suka nonton televisi, dan sangat jarang mengunjungi mall-mall. Sayangnya, kesan itu juga direkam Jakarta Post. Beberapa hari lalu, koran berbahasa Inggris dan terbit di Jakarta itu menulis berita berjudul “Jakarta election affects people’s enthusiasm for Imlek.”

Memang, ini hari-hari penuh ketegangan di Jakarta. Seperti sudah ditulis banyak orang, termasuk saya, politik pilkada di Jakarta—yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), salah satu calon gubernur yang kebetulan keturunan Tionghoa—telah meningkatkan sentimen anti-Tionghoa. Diakui atau tidak, sentimen itu mewarnai kampanye anti-Ahok: jika tidak di demonstrasi jalanan, atau di spanduk dan baliho yang tiba-tiba muncul di ruang-ruang publik, kita menemukannya di media-media sosial. Inilah yang mendorong seorang peneliti CSIS keturunan Tionghoa untuk menulis renungan terbuka yang menggugah sekaligus menggugat: “Is Indonesia still Our Home?”

Sebagai tambahan, harus disebutkan bahwa gejala di atas terkait juga dengan dua perkembangan di dunia internasional: (1) makin pentingnya Republik Rakyat China sebagai pemain ekonomi-politik di panggung dunia; dan (2) naiknya para pemimpin populis, seperti Donald Trump di Amerika Serikat, yang dalam kampanye mereka menjadikan China sebagai kambing hitam untuk kemunduran ekonomi di negara mereka.

Peningkatan sentimen anti-Tionghoa di atas adalah gejala tidak sehat dan contoh buruk dari Jakarta. Meskipun ibukota, kota-kota lain di Tanah Air tak perlu, bahkan haram, meniru tabiat jelek Jakarta ini. Syukur bahwa sejauh ini, bahkan dari laporan-laporan Jakarta Post sendiri, persiapan menyambut Imlek tetap ramai di kota-kota lain seperti Semarang, Solo, Riau, Singkawang, dan lainnya.

- Advertisement -

Dengan mengenal Imlek lebih jauh, kita akan lebih mengenal saudara-saudara kita yang merayakannya. Dengan cara itu pulalah kita dapat mulai menyingkirkan stereotipe, bahkan presangka buruk, kita mengenai mereka. Sambil mendengar musik tradisional Tionghoa atau nonton tarian Barongsai di mall-mall di hari Imlek, cobalah google dan baca-baca sedikit mengenai orang-orang ini: Soe Hoek Gie, Tony Wen, Ko Wan Gie, Yap Thiam Hien, dan banyak lagi yang lainnya. Atau, jangan lupa, baca-baca pula kisah pasangan Ong Lien Hiang (Susi Susanti) dan Goei Djien Phang (Alan Budikusumah), yang memberi republik kita medali emas Olimpiade.

Seorang kawan saya bilang, ustadnya mengharamkannya menyampaikan selamat Imlek kepada kawan-kawannya keturunan Tionghoa. Bagi saya, pendapat ustad itu (ya, fatwa-nya), tidak cocok dengan pendapat saya mengenai ajaran Islam yang benar. Dalam pandangan saya, mengikuti fatwa banyak ulama NU, Islam mengajarkan bukan saja persaudaraan seagama (ukhuwah Islamiyah), tapi juga persaudaraan sesama warganegara (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah).

Ariel Heryanto dan Melani Budianta, dua ilmuwan sosial yang tekun mempelajari beragam ekspresi politik dan kebudayaan WNI keturunan Tionghoa, pernah menyebutkan bahwa Hari Raya Imlek banyak mengalami komersialisasi. Saya kira mereka betul—dan yang mereka katakan juga berlaku untuk Hari Raya Lebaran dan Hari Raya Natal. Tapi itu hanya sebuah peringatan agar kita tidak berlebihan dalam apa saja: dalam merayakan Imlek, seperti juga dalam merayakan Natal dan Lebaran.

So, ayo kita ucapkan “Gong Xi Fa Cai” kepada saudara-saudara kita keturunan Tionghoa. Agar kita lebih mengenal mereka, agar ikatan kita sebagai sesama anak bangsa makin kental. Dengan ikut meramaikan Imlek, kita juga sedang merayakan capaian penting demokrasi kita.

“Selamat Merayakan Imlek”, saudara dan saudariku keturunan Tionghoa. Jika kalian kehabisan amplop warna merah untuk saya, mengapa isinya tidak ditransfer saja?

Ihsan Ali-Fauzi
Ihsan Ali-Fauzi
Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.