Suatu ketika saya sedang makan di warung mie ayam langganan saya. Setelah bertahun-tahun makan seporsi mie saya baru menyadari bahwa warna sambal sebagai pelengkap mie sering berganti. Jika rasa mie tidak berubah; tetapi pelengkap mie seperti sambal, asinan lobak, dan pangsit goreng ketersediaannya sering meragukan. Pada suatu ketika sambal dengan warna merah-jingga tersedia di meja, hari lain sambal berubah menjadi hijau.
Pemilik warung menjelaskan bahwa pergantian warna sambal disebabkan oleh fluktuasi harga cabai. Apabila harga cabai rawit merah sedang melambung, penjual mengakalinya dengan mem-blender cabai rawit hijau yang relatif lebih murah sebagai pengganti sambal cabai rawit merah. Fluktuasi harga cabai tidak hanya membuat pedagang mie ayam atau pedagang gorengan beradaptasi, tapi juga mampu membikin menteri pertanian dan perdagangan ketar-ketir.
Melambungnya harga cabai di pertengahan tahun ini juga mempopulerkan pesan misoginis Menteri Pertanian Adi Amran Sualiman yang melimpahkan kesalahan naiknya harga cabai kepada ibu-ibu karena lebih senang bergosip daripada menanam cabai.
Cabai. Bumbu yang dicari karena rasa pedasnya ini akrab dalam masakan Indonesia sehari-hari. Dari setiap colekan sambal yang diicip setiap harinya ini memicu pertanyaan sejauhmana nenek moyang cabai ini sudah berkelana dan bagaimana kisahnya sepanjang perjalanan umat manusia?
Cabai sudah menjadi populer, khususnya di Asia Tenggara, bahkan menjadi bagian dari identitas masakan. Hampir di seluruh masakan Asia Tenggara cabai diolah menjadi pelengkap segala macam masakan. Tulisan ini hendak membahas dimensi sosial cabai dan interaksinya dengan manusia sepanjang sejarah.
Cabai dan Domestifikasi Tumbuhan
Dalam bahasa latin sebagai bahasa resmi ilmu biologi, cabai digolongkan dalam tanaman capsicum jenis keluarga terong-terong dan penggunaannya berada dalam kelompok sayur maupun bumbu. Berasal dari Bolivia, Amerika Selatan, cabai dari dulu digolongkan sebagai penyumbang kekayaan rasa, khususnya rasa pedas.
Sekitar 6.000 Sebelum Masehi domestifikasi cabai rupanya telah dilakukan di Amerika Selatan. Penelitian yang dilakukan oleh Linda Perry, seorang arkeobiologi di Smithsonian Institution’s National History Museum, Washington, menyatakan cabai telah di makan di Ekuador bagian selatan sejak 6.250 tahun lalu.
Domestifikasi tumbuhan diselidiki pertama kali di bagian bulan sabit subur dari pesisir Laut Tengah dan kemudian melengkung dan masuk ke lembah antara sungai Tigris dan Efrat – Mesopotamia – lalu ke Teluk Persia yang kini menjadi wilayah konflik paling panas tempat berlangsungnya Perang Dunia Ketiga antara Israel, Yordania, Libanon, Irak dan Iran Barat.
Hilal subur ini menjadi wilayah pertama diperkirakan manusia bermula mengubah gaya hidup nomaden berburu menjadi menetap dan bertani. Banyak sejarawan berpendapat peralihan pemburu menjadi petani adalah sebuah kesalahan besar bagi perjalanan umat manusia. Sebab, dengan bertani manusia kehilangan pemenuhan diet alami penuh gizi dan waktu yang terkuras habis untuk memelihara tanaman hampir setiap hari sepanjang tahun.
Dibandingkan dengan berburu, manusia cukup menghabiskan dua-tiga hari seminggu untuk mengumpulkan makanan dengan gizi yang cukup. Tap,i di sisi lain, pengalihan gaya hidup sebagai petani yang menetap memungkinkan manusia untuk memiliki surplus makanan yang nanti berkembang menjadi masyarakat yang kompleks dan jarak kelahiran menjadi pendek.
Peralihan pertanian berangsur-angsur ini ditunjang oleh kesengajaan dan ketidaksengajaan manusia dalam mendomestifikasi tumbuhan. Tumbuhan padi yang kita lihat hari ini sangatlah berbeda dengan padi ribuan tahun yang lalu sebelum ditanam oleh manusia. Tumbuhan memiliki mekanismenya sendiri untuk tumbuh dan bereproduksi dan pada awalnya tidak terlalu membutuhkan makhluk lain untuk berkembang.
Sebelum ilmu pengetahuan dan genetika menjadi canggih seperti sekarang, nenek moyang kita melakukan domestfikasi melalui seleksi. Ambil contoh padi atau gandum yang kita makan pada hari ini adalah tumbuhan ‘mutan’ yang bijinya tidak terlepas dari tangkainya setelah masak. Pada umumnya, rerumputan tersebut akan menggugurkan bijinya dan melalui biji tersebut akan berkembang menjadi tanaman baru. Tetapi ada satu tumbuhan yang enggan menggugurkan bijinya sehingga menguntungkan manusia untuk menjadi serealia yang memenuhi kebutuhan kalori.
Oleh manusia tumbuhan tersebut dibawa pulang dan dipelihara. Secara sengaja manusia terus mencari tumbuhan ‘mutan’ yang menguntungkannya dan membudidayakannya. Manusia membalik evolusi tumbuhan hingga 180 derajat dan membuat tanaman-tanaman domestifikasi hari ini sulit tumbuh tanpa campur tangan manusia.
Cabai adalah salah satu tanaman yang perkembangannya juga dipengaruhi oleh manusia. Berbeda dengan apel atau kopi yang bijinya diselimuti oleh daging buah yang ranum dan menggunakan perantara hewan untuk menyebarkan keturunannya melalui biji yang tertelan dan keluar lewat kotoran, cabai tidak berkembang biak dengan cara tersebut. Cabai justru mengusir hewan untuk memangsanya dengan mengeluarkan rasa pedas terbakar yang muncul dari bijinya agar tidak dimakan.
Di sini ironi cabai sebagai tumbuhan muncul. Kehadiran manusia menginginkan cabai karena rasa pedasnya dan ini yang membuat cabai itu dimakan dan dipelihara oleh manusia. Ironi sebuah cabai, sudah membuat dirinya pedas agar tidak dimangsa malah justru dicari karena rasa pedasnya.
Cabai adalah tanaman globalisasi pertama yang berkembang sangat pesat setelah domestifikasinya. Tersebar bersama pelayaran Portugis dalam misinya menguasai perdagangan di Malaka, cabai menyebar ke India dan hampir seluruh Asia. Di Asia Tenggaa, Thailand adalah wilayah pertama yang tercatat mengadaptasi cabai sebagai bumbu masakan.
Cabai menyebar lebih cepat setelah kedatangan Portugis tahun 1500 di Asia Tenggara lebih cepat daripada tanaman kentang dan tomat. Alasannya sederhana, tumbuhan cabai mudah beradaptasi di lingkungan lembab dan tropis dan berbuah sepanjang tahun, baik masa kemarau ataupun hujan.
Kolonialisme dan Eksotisme Rasa Pedas
Selain kemudahan untuk memeliharanya, popularitas cabai tidak bisa dipisahkan dengan rasa pedas sebagai alasan dia dipertahankan. Cabai tersebar bersamaan dengan masa pelayaran dan perdagangan Eropa ke Asia. Walau bibitnya dibawa oleh perjalanan Colombus yang ‘nyasar’ itu dari Amerika Selatan ke Spanyol, tanaman cabai ditanam dan berkembang dalam kuliner Asia mulai dari India, Cina hingga Asia Tenggara.
Pelayaran Ferdinan Magellan dari Portugis dalam misinya menemukan dunia baru disebut-sebut membawa serta bibit cabai serta ide eksotisme dunia Timur sekitar pada abad yang sama Portugis menjejakkan kaki di Malaka untuk mencari Maluku. Selain itu, perdagangan antar kerajaan Sumatera dengan India juga turut serta memperkenalkan penggunaan cabai sebagai bumbu yang berpengaruh dalam kuliner Sumatera hingga hari ini.
Kepopuleran cabai sebagai bumbu juga dipengaruhi oleh kondisi geografis dan ekonomi Asia Tenggara. Rasa pedas dalam cabai memperkaya rasa dan mengurangi jumlah pengunaan bahan makanan seperti daging dan sayur-sayuran yang mahal. Cabai memberikan kemewahan rasa dalam bumbu yang murah karena mudah ditanam dan diakses semua masyarakat dari berbagai lapisan.
Selain itu, rasa pedas adalah candu tersendiri yang membuat cabai begitu populer. Rasa pedas didapat dari enzim kapsaisin yang larut pada air liur memberikan sensasi terbakar pada lidah. Efek mengkonsumsi pedasnya cabai mirip-mirip dengan rasa jatuh cinta seperti jantung berdebar dan panas dan memicu hormon endorphin yang memberikan efek bahagia. Karena sensasi pedas terbakar tersebut, manusia Asia Tenggara berlomba-lomba membudidayakan cabai dan memasukannya dalam berbagai sajian kuliner.
Rasa pedas Asia juga kurang lebih merupakan konstruksi kolonialisme yang melihat Asia sebagai wilayah yang eksotis dan menggairahkan. Rempah yang lebih dahulu memberikan rasa mewah dan panas diasosisasikan dengan seksi, libido juga kesuburan. Rasa pedas seringkali digambarkan sebagai Ratu Timur jauh dalam dongeng-dongen Nabi Sulaiman yang merangsang.
Rasa panas dan pedas dikenal oleh Eropa sebagai afrodisiak yang membangiktkan nafsu bercinta dan karena itu penggunaan rempah dan bumbu yang memberikan rasa pedas dipergunakan berikut dengan wilayah yang menghasilkannya.
Pedas adalah sebuah rasa pesona Timur jauh yang diciptakan karena sesuai dengan penggambaran Asia yang menggairahkan. Rasa ini dilestarikan dalam kuliner sebagai yang eksotis. Pedas dan panas identik pemicu seks dan kesuburan berdasarkan mitos-mitos kolonial dan menjadikan Asia sebagai wilayah eksotis nan misterius. Walau sebagai konstruksi kolonial, masakan pedas selalu menjadi andalan sekaligus rasa yang selalu kita rindukan apabila kita jauh merantau ke negeri yang tidak eksotis karena tidak mengenal rasa cabai.
Sambal dan kebanggan kita yang menoleransi pedas, karena kita adalah yang eksotis itu sendiri.