Kembalinya Caesar bergoyang di layar kaca memicu berbagai reaksi yang intinya menyayangkan usaha “hijrah” penari itu harus gagal di tengah jalan. Kurang jelas apa yang dimaksud “hijrah” itu. Apakah meninggalkan dunia hiburan yang—mungkin—dipandang sebagai dunia gemilang dosa ke kehidupan spiritualitas yang menjanjikan ketenangan dan kedamaian hati; tidak mengejar materi dan terus mendekatkan diri kepada Ilahi agar kelak berbahagia di akhirat nanti.
“Hijrah” dan Sumbangan
Tentu hak seseorang dalam menentukan nasib dan pilihan hidupnya sendiri. Dan tulisan ini tidak ditujukan untuk menghujat pandangan “berhijrah”. Saya hanya ingin menyentuh reaksi sebagian masyarakat yang mencoba mencegah Caesar “berdosa” lagi. Karenanya, tidak hanya doa yang dipanjatkan, tetapi juga nasihat baik dari kalangan artis yang sudah “berhijrah” agar Caesar tidak berjoget lagi di televisi.
Dalam perkembangannya, para netizen menggalang dana untuk mencegah Caesar kembali ke jalan yang salah karena ada laporan penari itu sedang kesulitan uang. Mereka memperoleh berita bahwa usaha Caesar dagang cilok, tahu, dan ayam kremes tidak sebagus yang diberitakan.
Sementara itu, ada kebutuhan dana yang mendesak hingga Caesar menyetujui ajakan stasiun TV untuk berjoget lagi. Caesar dikabarkan memerlukan dana besar untuk istrinya yang sakit.
Para pendukung kehidupan ”berhijrah” bahkan bertekad akan mengumpulkan dana berapa pun yang Caesar butuhkan, termasuk membayar pinalti yang mungkin ada dalam perjanjian kontrak Caesar dengan stasiun televisi. Mereka berikrar sumbangan yang digalang melalui online bisa tembus Rp 100 juta untuk menunjukkan betapa serius usaha mereka agar Caesar tetap “berhijrah”.
Tapi belakangan informasi ini ternyata salah. Istri Caesar bilang dia tidak menderita sakit serius. Ini berkebalikan dengan pernyataan dia sendiri setahun lalu bahwa dia mengidap penyakit kulit langka; kulit yang menebal membuat persendian seperti terkunci hingga sakitnya minta ampun.
Informasi bahwa Caesar membutuhkan dana untuk mengobati istrinya juga dibantah oleh penari itu sendiri. Penggalangan dana yang, konon, mencapai Rp 30 juta telah diserahkan Caesar kepada saudaranya yang sakit. Tidak jelas siapa saudaranya itu. Sedikit pun Caesar tidak mengambil dana tersebut.
Baik Caesar dan istrinya nampaknya dengan halus menolak bantuan dana yang dikumpulkan oleh para simpatisan. Meskipun sang istri keberatan dengan keputusan Caesar, dia juga menolak dibantu. Dia mengatakan sebaiknya penggalangan dana itu disalurkan untuk membantu rakyat Palestina saja.
Seni Memberi
Reaksi para simpatisan dalam berbagai postingan mereka menunjukkan ada kekecewaan dari sebagian mereka akan sikap Caesar dan istrinya itu. “Kok, tidak tahu terima kasih. Sudah didukung habis-habisan kok menolak.” Mungkin itu yang terbersit dalam benak mereka. Mereka sangat berharap Caesar membatalkan kontraknya di sebuah stasiun TV. Namun, sampai sekarang Caesar tidak memberikan keterangan apakah dia terus berjoget atau mengikuti seruan para mereka agar terus “hijrah”.
Dari sini nampak ada blunder yang membuat semua pihak terkunci. Blunder pertama, penggalangan dana nampaknya dilakukan tanpa persetujuan yang bersangkutan dan tidak disertai data dan informasi latar belakang yang akurat. Pengalangan dana nampaknya karena “komporan” segelintir orang yang nyinyir bilang, ”jangan cuma doa atau hujatan saja dong. Bantu dia. Galang Dana.”
Rupanya “komporan” itu manjur hingga penggalangan dana dilakukan.
Blunder kedua adalah sifat penggalangan dana untuk Caesar nampaknya lebih didasarkan pada faktor emosi ketimbang fakta di lapangan. Para simpatisan nampaknya melupakan perasaan orang yang ingin dibantu. Bahkan tanpa sadar mereka yang tujuannya baik sebenarnya telah melukai perasaan orang yang ingin ditolongnya.
Psikolog dari California, Leon F. Seltzer, Ph. D yang banyak menulis buku dan artikel , mengatakan setidaknya ada empat penyebab mengapa orang menolak bantuan. Yang pertama, gengsi. Kedua, pendidikan keluarga sejak kecil bahwa seseorang harus mandiri dan tidak boleh menerima bantuan, meski menderita karena itu sebuah kekalahan.
Yang ketiga, seseorang menolak bantuan karena merasa bantuan yang diberikan itu justru mengekang dirinya untuk bertindak sesuai dengan keinginan dirinya sendiri. Yang bersangkutan menolak karena merasa ada kewajiban yang harus dijalankan jika menerima bantuan itu.
Yang keempat, dan ini terkait dengan penyebab nomor tiga, yakni yang bersangkutan khawatir pemberian bantuan itu justru akan membuat dirinya terpojok di masa mendatang sekiranya dia berbuat sesuatu yang menurut para penyumbangnya bertindak tidak layak.
Nampaknya Caesar tidak suka dibantu dengan cara gembar-gembor seperti sekarang ini. Bagaimanapun dia adalah “mantan orang besar” di dunia hiburan. Ada gengsi tersendiri untuk menerima donasi seolah-olah dia sedang dalam kesulitan keuangan yang akut dan darurat. Lagi pula sebagai pribadi mungkin dia tersinggung dengan cara-cara penggalangan dana seperti ini yang seolah melecehkan kemandiriannya dalam mencari nafkah.
Ini yang mungkin dilupakan. Niatnya baik tapi caranya salah dan hasilnya salah.
Caesar adalah manusia dewasa yang punya cara tersendiri dalam mengartikan dan menempuh kehidupan dan penghidupannya. Dia punya harga diri yang seharusnya juga dihormati, apa pun pilihan hidup yang ditempuhnya nanti.