Ketukan palu majelis hakim pada perkara korupsi KTP Elektronik (E-KTP) akhirnya menghukum Setya Novanto 15 tahun penjara. Putusan pengadilan tindak pidana korupsi ini bisa dianggap sebagai penanda, bahwa kesaktian Setya Novanto sudah mencapai batasnya. Setelah berhasil menghilang dari bayang-bayang sejumlah skandal korupsi, pada akhirnya Novanto harus terjungkal dalam skandal korupsi E-KTP.
Putusan terhadap Setya Novanto memperpanjang daftar terpidana korupsi pengadaan E-KTP. Setelah sebelumnya Irman, Sugiarto, dan Andi Agustinus menjadi terpindana dalam perkara ini. Jika melihat nama-nama tersangka, KPK tentu saja masih punya banyak pekerjaan rumah. Masih ada tersangka lain seperti Anang Sugiana, Markus Nari, Irvanto Hendra Pambudi serta mantan bos PT Gunung Agung, Made Oka Masagung yang harus diproses secara hukum. Selain itu, Hakim Pengadilan Tipikor juga menyebutkan peran atau keterlibatan sejumlah anggota legislatif, eksekutif dan swasta dalam pertimbangannya. Artinya tugas KPK untuk mendalami peran dan tanggung jawab nama-nama tersebut adalah pekerjaan rumah yang menanti.
Jika ada yang mempertanyakan berat atau ringan hukuman terhadap Setya Novanto, tentu saja bisa dianggap ringan. Selain lebih ringan 1 tahun dari tuntutan Penuntut Umum, vonis ini juga hampir sama dengan vonis terhadap Irman, terpidana korupsi E-KTP yang merupakan pejabat sekelas Dirjen di Kementerian Hukum dan Ham. Hakim Artidjo Alkostar, memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara pada tahapan kasasi.
Makna lain dari putusan ini adalah, berakhirnya perdebatan ada atau tidaknya korupsi anggaran dalam skandal E-KTP. Peran Setya Novanto, sebagai pihak yang mengarahkan proses penganggaran, dijelaskan dengan sangat gamblang dalam putusan. Tahap selanjutnya adalah proses hukum terhadap anggota legislatif lainnya yang juga terlibat dan diuntungkan dalam perkara ini. Karena tidak mungkin skenario mengarahan anggaran hanya dilakukan oleh Novanto seorang diri.
Menerapkan pencucian uang
Pertanyaan mendasar pada sejak persidangan perkara E-KTP mulai bergulir adalah menghindarnya KPK dari penggunaan delik pencucian uang. Padahal sejak awal surat dakwaan perkara-perkara E-KTP dibacakan, Jaksa Penuntut umum mengurai banyak sekali transaksi-transaksi yang mengalir ke sejumlah pihak yang diduga berasal dari uang haram E-KTP. Baik mengalir kepada sejumlah individu, maupun menguntungkan sejumlah korporasi.
Khusus perkara Setya Novanto, Hakim meyakini dengan dalil Jaksa Penuntut umum. Bahwa dalam perkara E-EKTP, Setya diuntungkan/diperkaya 7,3 juta USD atau pada kurs 2010 setara dengan 71 miliar rupiah. Penuntut umum menguraikan dengan sangat terperinci dari mana dan bagaimana uang 7,3 USD itu mengalir, sampai akhirnya bisa diteruskan ke Setya Novanto. Bahkan di persidangan, KPK menghadirkan pengusaha money changer untuk memberikan kesaksian.
Penjelasaan di persidangan mengungkapkan banyak hal menarik. Perputaran uang yang ternyata melibatkan dan menggunakan jasa beberapa perusahaan money changer, sebut saja seperti PT Inti Valuta di Indonesia dan PT. Raja Valuta. Selain itu, pengadilan juga mengungkapkan sejumlah nama-nama yang dianggap terlibat dalam perkara E-KTP seperti Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang juga merupakan keponakan dari Setya Novanto.
Dalam persidangan juga terungkap dengan jelas dari mana uang tersebut berasal. Salah satunya adalah PT. Biomorf Mauritius milik Johanes Marlim. Uang yang mengalir dari PT. Biomorf merupakan bagian pembayaran PT Quadra Solution kepada Johannes Marliem melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia. Kemudian uang tersebut ditransfer ke rekening Made Oka Masagung di Singapura yang diteruskan ke Novanto.
Fenomena semacam ini sebenarnya bisa dikembangkan dan diusut lebih jauh oleh KPK, mengingat 7,3 juta USD merupakan bagian kecil dari skandal E-KTP. Kerugian negara dalam perkara E-KTP mencapai 2,3 triliun rupiah. Sehingga sangat relevan jika KPK juga menerapkan delik pencucian uang selain delik tindak pidana korupsi. Apalagi dalam pemeriksaan kasus ini, KPK melibatkan beberapa wilayah yurisdiksi. Di antaranya Singapura, Mauritius dan Amerika Serikat.
Jika prinsip-prinsip dalam pencucian uang digunakan, ada banyak benefit bagi pengungkapan perkara ini. Seperti sanksi yang lebih berat bagi pelaku, karena selain korupsi pelaku juga diganjar dengan pidana pencucian uang. Upaya penyelamatan aset pun bisa lebih maksimal, karena dalam pengungkapan perkara E-KTP tidak hanya menelusuri pelaku-pelakunya (follow the suspect) tetapi juga menelusuri kemana uang mengalir (follow the money).
Proses pembuktian pun bisa semakin mudah karena dalam perkara pencucian uang, prinsip pembalikan beban pembuktian bisa digunakan (reverse burden of proof). Pihak-pihak yang diduga diuntungkan dari perkara E-KTP sebagaimana dijelaskan dalam surat dakwaan diminta menjelaskan asal usul uang yang diterima. Jika gagal membuktikan, sekurang-kurangnya bisa dirampas oleh negara melalui putusan pengadilan.
Kasus Nazarudin merupakan kisah sukses KPK dalam menerapkan delik pencucian uang. Semula KPK mengungkapkan keterlibatan Nazar dalam suap pengadaan wisma atlet. Tetapi kemudian, perkara Nazarudin berkembang menjadi 3 perkara. Dari 3 perkara tesebut, sekurangnya Rp 735 miliar rupiah diproses sudah oleh KPK. Bagaimana dengan E-KTP dan Setya Novanto?
Menjajaki pidana korporasi
Skandal korupsi E-KTP tidak hanya menyingkap tabir segelintir individu yang diuntungkan, baik pihak eksekutif, legislatif, maupun swasta. Tetapi juga menjelaskan dengan gambling bahwa korporasi pun menjadi pihak yang diuntungkan dalam perkara ini. Lebih mengerikan lagi, sejak dakwaan Irman dan Sugiarto dibacakan, masyarat dikejutkan dengan uang ratusan miliar yang mengalir ke partai politik.
Jika merujuk pada penjelasan undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU), yang dimaksud sebagai korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dari penjelasan sederhana ini bisa disimpulkan bahwa tidak berbadan hukum saja bisa dianggap sebagai koporasi, apalagi berbadan hukum.
Memasukkan para pihak dalam surat dakwaan pada prinsipnya memiliki konsekuensi secara hukum. Karena artinya, KPK harus membuktikan apa yang sudah dia dalilkan. Jika benar ada pihak yang menikmati uang haram E-KTP, wajib hukumnya bagi KPK dengan sekuat tenaga untuk merampas kembali hak milik Negara, milik masyarakat. Lantas bagaimana dengan partai politik yang diuntungkan? Jika menafsirkan bunyi penjelasan UU TPPU, sudah barang tentu partai politik termasuk dalam korporasi.
KPK tidak perlu ragu apalagi malu-malu untuk menjerat korporasi. Tak peduli korporasi tersebut perusahaan swasta maupun partai politik, sepanjang KPK yakin dan percaya diri dengan bukti yang dimiliki, teruskan saja proses hukumnya. Apalagi, sejak 2016 lalu, Mahkamah Agung sudah bikin peraturan (Perma) yang memberikan jalan bagi penegak hukum untuk mengusut korporasi yang terjerat pidana.
Putusan perkara terhadap Setya Novanto bukan akhir dari pengungkapan korupsi E-KTP. Sebaliknya, putusan ini harus dianggap tahapan baru pengungkapan skandal E-KTP dari sisi korupsi anggaran. Dukungan publik terhadap KPK sangatlah besar dalam penuntasan kasus ini, mengingat dampak kerusakan akibat korupsi E-KTP dirasakan langsung oleh semua lapisan masyaraat. KPK tentu saja punya tanggung jawab besar, bukan hanya menjerat koruptor dengan ancaman maksimal, tetapi juga melakukan pemulihan aset yang raib akibat korupsi E-KTP.