“A worker who had never learned how to write and yet tried to compose verses to suit the taste of his times was perhaps more of a danger to the prevailing ideological order than a worker who performed revolutionary songs.”
Jacques Ranciere.
Memahami seni pada hakikatnya sama dengan membuat dunia tempat kita tinggal, yang hiruk pikuk, menjadi lengang. Hal tersebut merupakan sebuah usaha agar orang-orang lebih banyak bicara dengan mata, dengan telinga, dan dengan indra perasanya lebih daripada memakai lisan. Setidak-tidaknya begitu yang penulis tafsirkan secara liar dari sajak Jeffrey McDaniel, “The Quiet World”, yang telah dialihbahasakan menjadi “Dunia yang Lengang” oleh Aan Mansyur dan dipublikasikan pada blog pribadinya (Mansyur, 2011).
Lebih dari itu, tulisan ini akan bercerita tentang apa saja usaha yang penulis buat untuk dapat mengungkap kompleksitas dunia yang tidak memiliki buku petunjuk ini melalui salah satu medianya—seni, penulis memberi suntingan pada sebuah larik dalam sajak tersebut: “filsuf-filsuf lampau telah menghabiskan semua jatahnya, maka aku pelan-pelan berbisik: aku mencintaimu. sebanyak lima belas kali.”
Pepatah mengatakan, “tak kenal maka tak cinta.” Oleh sebab itu alinea ini ditulis untuk memenuhi ritus tersebut. Secara etimologi, bilamana kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata seni memiliki arti keahlian membuat karya yang bermutu, dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya dan sebagainya. Dalam kamus oxford, seni adalah ekspresi atau penerapan keterampilan dan imajinasi kreatif manusia, menghasilkan karya yang dihargai terutama karena keindahan atau kekuatan emosionalnya.
Sedangkan pembahasan mengenai terminologi seni merupakan hal panjang yang sepertinya tidak akan berkesudahan, mencoba mencari yang “asyik”, maka penulis mengambil contoh dari Collingwood (1970) dalam (Kemp, 2020), bahwasanya seni adalah karya buatan manusia, dibedakan dari karya alam, tidak terkait dengan kepentingan praktis, dibedakan dari craft, menimbulkan pengalaman estetik.
Definisi yang dirumuskan oleh Collingwood bukanlah dan tidak pernah akan menjadi sebuah tafsir tunggal, sebagaimana yang telah tertulis di atas, karena mendapat kritik dari pemikir atau praktisi lainnya. Semisal, aliran post-modernisme, yang menjelma sebuah gerakan artistik membuat suasana kehidupan berkesenian menjadi semakin asyik dengan melayangkan kritiknya pada rumusan makna dengan menolak klaim status istimewa dari seni yang meng-estetik-an fenomena sehari-hari, fokus pada style, bahasa, produk seni sebagai subjek, makna dari si pengarang tidak lagi penting dan berada dalam situasi ketidakpastian–pementasan karya tergantung pilihan bebas dan spontan dari para pelaku seni di pentas (Ali, 2011, hal. 232-234).
Mendefinisikan seni bukanlah suatu perkara yang mudah, ia hidup dan berubah bentuk serta pengertian bersamaan dengan arah jarum jam yang terus bergerak hingga hari kiamat tiba.
Mendobrak dan Membangun
Menciptakan karya seni sama dengan menghadirkan sebuah dunia yang berbeda dengan realita, bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana yang dirasakan dan dipahami oleh seorang seniman. Berangkat dari hal tersebut, menjadi seniman atau menciptakan sebuah karya seni adalah memberontak, dan pemberontakan inilah hal asyik yang selalu ikut bersama dengan seni dalam tiap lintasan zaman.
Memahami seni, juga memahami pemberontakannya dapat diartikan sebagai sikap politis dikarenakan sebuah seni tidak hadir dari kekosongan budaya, lalu dengan kerangka berpikir seperti ini maka wajarlah tujuan yang ingin dicapai selain kepuasan batin dari pencipta dan penikmat, adalah sebuah kesetaraan dalam proses berkesenian itu sendiri. Meminjam bahasa Robertus Robet pada esainya, Yang Estetis, Yang Politis (Robet, 2011, hal. 47).
Kesetaraan yang coba dicapai dalam seni bukanlah hal yang bersifat distributif aritmatis dalam konsep umum melainkan tindakan subjektivisasi yang menantang, menunda, dan mematahkan tatanan sensibilitas yang dialamiahkan. Merujuk pada kalimat pembuka dalam artikel ini, “seorang buruh yang belajar bagaimana menulis dan menyusun sebuah syair yang cocok untuk zamannya barangkali jauh lebih mengancam keutuhan tatanan ideologis ketimbang mereka yang menyanyikan lagu-lagu revolusioner.”
Seni berperan mendobrak struktur yang diciptakan oleh struktur dengan menumbangkan kutukan platonis bahwa kelas pekerja hanya boleh bekerja dan itu saja di tempatnya (pabrik), urusan estetika dan batin disamping pekerjaan utamanya sebagai buruh harus dikesampingkan dan pada titik ekstrimnya harus ditiadakan.
Seni seperti pemberontakan, hal tersebut merupakan sebuah gerakan yang pada waktu bersamaan bersifat mengagungkan sekaligus mengingkari. “Tidak seorang pun seniman dapat menerima kenyataan,” ujar Nietzsche, itu adalah kebenaran. Namun, Albert Camus, meskipun turut membenarkan, juga memberikan anggapan bahwasanya “tidak seorang pun seniman dapat hidup di luar kenyataan” (Johan, 2017). Camus juga menilai, kenyataan yang terjadi adalah permusuhan terhadap (sebuah aliran) seni terus digaungkan oleh revolusioner yang membuka lembaran zaman baru suatu bangsa.
Oleh karena itu, bagi Camus, seniman adalah orang yang menolak sekaligus menerima dunia. Seorang seniman ingin mengubah dunia yang ada menjadi lebih indah, teratur, dan bermakna. Lukisan, drama, ukiran, semuanya itu sebagai usaha manusia untuk menghadirkan dunia khayal yang diimpikan.
Dalam paham klasik, seni berbahaya sekaligus rendah karena bisa memerangkap manusia dalam kepalsuan. Namun, sepertinya anggapan tersebut kini dapat dipatahkan. Jacques Ranciere dalam (Robet, 2011, hal. 50-51) mengatakan bahwa di dalam seni—sejauh ia sekaligus yang politis—seni justru menjadi andalan bagi upaya untuk menggeser koordinat situasi yang bisa menghancurkan partisi-partisi/batasan-batasan yang tidak dapat ditembus dengan rasionalitas.
Semua pemikiran yang diilhami oleh semangat pemberontakan selalu disinari oleh suatu retorika, atau dapat dikatakan sebagai semangat yang berada dalam sebuah semesta yang tertutup. Gerakan tersebut dianggap sebagai seni, sehingga seniman mengolah kembali dunia sesuai dengan seleranya.
Bentuk dan definisi seni yang berubah-ubah dan proses perumusannya yang tidak berkesudahan pada satu sisi dapat digunakan sebagai alat dari spektrum politik manapun untuk menjalankan kepentingan kelas (Salamini, 1981, hal. 198). Namun, Gramsci meletakkan seni dalam upaya pembentukan hegemoni dan budaya baru. Ia juga memberikan pandangannya bahwa seni membawa ideologi (superstruktur) yang kohesi sosialnya dijamin kelompok dominan. Ideologi ini merupakan bentuk nyata pemberontakan hegemoni (hegemoni tandingan) atas hegemoni kelas penguasa yang dipertahankan melalui anggapan palsu bahwa kebiasaan dan kekuasaan penguasa merupakan kehendak Tuhan atau produk hukum alam.
Bagaimana seniman harus bertindak? Kalau tuhan tidak ada, hanya dengan dunia yang ada ini, bagaimana seniman harus bertindak? Dengan menyunting pidato sambutan Albert Camus saat menerima Hadiah nobel sastra di Swedia, “Seniman-seniman yang sejati tidak meremehkan apa pun. Mereka selalu mewajibkan dirinya untuk memahami, bukan menghakimi. Bila mereka memilih berpihak pada sesuatu di dunia ini, maka tidak lain dan tidak bukan hanyalah pada masyarakat, seperti kata Nietzsche, di mana ‘bukan lagi hakim yang berkuasa, melainkan para pencipta’, entah dia itu seorang pekerja atau seorang intelektual”.
Daftar Acuan
Ali, M. (2011). Estetika: Pengantar Filsafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxor.
Johan, Z. F. (2017). Seni dan Pemberontakan dalam Perspektif Albert Camus. Dipetik Agustus 5, 2021, dari Steemit: https://steemit.com/writing/@fadhi/seni-dan-pemberontakan-dalam-perspektif-arbert-camus-5cd5318aaed0b
Kemp, G. (2020, Juli 2). Collingwood’s Aesthetics. Dipetik September 17, 2021, dari The Stanford Encyclopedia of Philosophy: https://plato.stanford.edu/archives/fall2020/entries/collingwood-aesthetics/
Mansyur, A. (2011, September 18). dunia yang lengang. Dipetik Agustus 4, 2021, dari @hurufkecil: https://hurufkecil.wordpress.com/2011/09/18/dunia-yang-lengang/
Robet, R. (2011). Yang-Politis, Yang-Estetis, dan Kesetaraan Radikal: Etika Politik Jacques Ranciere. Dalam B. Takwin, F. B. Hardiman, R. Robet, A. S. Wibowo, & T. H. Tjaya, Empat Esai Etika Politik. Jakarta: Srimulyani.net.
Salamini, L. (1981). The Sociology of Political Praxis an Introduction to Gramsci’s Theory. London: Routledge & Kegan Paul.