Senin, Oktober 7, 2024

Sastra dan Naturalisme

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Pada tahun 1890-an, realisme memudar. Fiksi baru muncul dengan penekanan baru yang khas, yang kemudian disebut naturalisme. Naturalisme berasal dari kata “nature” yang  berarti alam, kodrat, tabiat. Tiga faham mewarnai lanjutan realisme, yaitu saintisme, positivisme, dan determinisme. Manusia dianggap sebagai produk yang tak berdaya terutama karena sifat-sifat bawaan dan lingkungan tempat dia dibesarkan. Lingkungan  digambarkan secara cermat karena lingkungan menentukan tingkah laku pelaku.

Penulis-penulis fiksi, antara lain, adalah Stephen Crane, Jack London, Frank Norris, dan Theodore Dreisers. Mereka menekankan adanya kekuatan lingkungan, misalnya situasi dan kondisi kota yang menguasai manusia. Manusia hanya dapat sedikit bertahan dalam menghadapi situasi yang ada, dan alam acuh tak acuh pada manusia. Crane dalam cerpen “The Open Boat” dan London dalam “To Build A Fire” menggambarkan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kekuatan alam yaitu laut dan dinginnya Alaska yang seolah-olah mengolok-olok manusia dalam usahanya mempertahankan hidup.

Dipengaruhi oleh ide Darwin tentang kekuatan lingkungan dalam membentuk kehidupan manusia dan bentuk-bentuk lain dari deterministik ilmu pengetahuan, pada tahun 1890 naturalisme menggantikan fiksi regional atau warna lokal. Mereka menolak regionalisme sebagai suatu aliran dan mengingkari dominasi penulis perempuan.

Kegelisahan akan terbitnya fiksi yang didominasi oleh penulis perempuan disebarkan oleh penulis James Lane Allen dan Frank Norris yang memainkan peran menghentikan kekuasaan  fiksi warna lokal sebagai  aliran sastra yang serius. Dipengaruhi oleh teori Herbert Spenser, Charles Darwin dan naturalis dari Perancis, antara lain, Emile Zola, tidak melihat  kehidupan pedesaan pada masa lalu, tetapi lebih menekankan pada kehidupan urban pada saat ini. Mereka mengkaji sifat dasar manusia, khususnya kelas bawah yang hidup di kota.

Ciri warna lokal yang menekankan pada tokoh dan kedaerahan yaitu berupa suku bangsa, epos, dan lingkungan menjadi skema deterministik naturalisme. Komponen-komponen tersebut berasimilasi ke aliran baru yaitu naturalisme. Allen mengatakan bahwa kesusatraan Amerika telah terbagi menjadi dua dengan prinsip yang saling bertolak belakang.

Fiksi berwarna lokal mempunyai ciri-ciri kehalusan, kepekaan, keanggunan, dan kebijaksanaan yang disebut sebagai prinsip-prinsip feminin, sedangkan naturalime bercirikan kejantanan, kekuatan, kebesaran, dan keterbukaan yang disebut sebagai prinsip maskulin. Prinsip maskulin mempunyai visi yang lebih akurat mengenai kebesaran  bangsa Anglo Saxon dalam sejarah Amerika. Mereka tidak takut menghadapi kebudayaan yang tinggi dan yang primitif. Ketahanan, kekuatan, insting, dan ketenangan merupakan isi dan tema penulis naturalis.

Tidak berbeda dengan Allen, Noris mengatakan bahwa realisme terlalu jinak, peristiwa-peristiwa yang digambarkan tidak bervariasi, dan terlalu memfokuskan perhatian pada masalah-masalah permukaan kehidupan kelas menengah. Dia juga menganggap bahwa realisme terlalu feminin.

Pernyataan Noris itu didukung oleh Dreiser dan Lewis yang menyebut realisme sebagai “tea-table gentility.” Lewis mengatakan bahwa “ Mr. Howells was one of the gentlest, sweetest, and most honest of men, but he had the code of a pious old maid whose greatest delight was to have tea at the vicarage” (Tuan Howells adalah salah satu di antara orang-orang yang paling santun, manis, dan jujur, tetapi ia mengikuti aturan-aturan seorang pelayan perempuan tua yang alim, yang kesenangan utamanya adalah minum teh di pasturan).

Penganut naturalis merasa bahwa sastra telah berjalan melenceng. Unsur-unsur feminin telah melampaui batas. Pasar dikuasai oleh penulis perempuan atau penulis warna lokal. Penganut naturalism tidak hanya menentang realisme, tetapi  juga menentang dominasi penulis  perempuan.

Bell dan Broadhead dalam Cultures of Letters (1993) mengatakan. “The ways in which the naturalists’ response to women’s local color fiction was shaped not only by literary generation or by genre, but by gender as well” (Cara-cara yang digunakan kaum naturalis dalam menanggapi fiksi warna lokal yang ditulis perempuan dibentuk tidak hanya oleh generasi kesusasteraan atau genre, melainkan juga oleh gender).

Penulis naturalis merasa cemas terhadap seni dan tema tulisan hanya berputar pada isu gender. Mereka merasa cemas karena pada 1889-1901 penulis perempuan, misalnya Jewett, menulis sebanyak 13 cerita dan dua buku, sedangkan penulis naturalisme, Frank Norris dan Jack London, hanya menulis sebuah karya  di Atlantic Monthly. Jewett sebagai salah seorang penulis Amerika menunjukkan kemampuannya bukan sebagai anggota komunitas perempuan, tetapi sebagai penulis profesional seperti yang terlihat dalam tulisan-tulisannya di Atlantic Monthly.

Sebaliknya naturalis melihat setiap individu mengalami perubahan, bahkan kehilangan jati diri karena terserap  oleh  kebudayaan di sekelilingnya. Howard menambahkan bahwa fiksi naturalistik dipenuhi oleh tokoh-tokoh yang  kurang mempunyai kesadaran diri.

Namun, baik karya naturalis maupun karya warna lokal, keduanya  mempunyai persamaan yaitu  penggambaran yang akurat dan detail mengenai manusia,  hereditas, dan kekuatan lingkungan. Hal lain yang paralel  pada keduanya adalah sudut pandang. Pengarang dalam karya-karyanya berfungsi sebagai orang  luar atau pengamat. Mereka tidak ikut mengeinterpretasikan, tetapi  hanya memberikan gambaran seperti apa adanya. Penulis naturalis merasa terancam dengan fiksi ‘feminin’,  dan mengeluh tentang majalah yang enggan menerbitkan karya mereka.

Dalam naturalisme, tokoh utama digambarkan labil wataknya, sering akibat faktor warisan. Biasanya para tokoh sering berasal dari kalangan bawah. Tokoh perempuan dianggap sebagai other atau orang lain dalam suatu sistem sosial yang tidak adil. Perempuan digambarkan  stereotip yaitu perempuan yang jatuh karena faktor ekonomi.

Bagi naturalis, perempuan tidak hanya digambarkan stereotip dan sensasional, tetapi juga dijadikan obyek yang berharga untuk dikaji. Penggambaran perempuan tunasusila dilakukan untuk menunjukkan kehidupan yang sebenarnya. Pemilihan perempuan tunasusila sebagai tokoh  mempunyai arti bahwa  mereka  dapat menjadi baik, demikian pula sebaliknya. Tidak selamanya  mereka  menjadi  orang  terbuang.  Inilah  kehidupan sebenarnya. Alasan lain adalah para naturalis mendeskreditkan perempuan.

Dari uraian di atas terlihat  bahwa penulis naturalisme memposisikan diri mereka lebih tinggi  daripada  penulis realisme dan penulis warna lokal. Apabila dilihat dari metode dan tema  yang disampaikan oleh pengikut naturalisme, aliran ini merupakan kelanjutan dari  aliran warna lokal dan realisme. Hal ini merupakan ekstensi atau kelanjutan realisme—hanya ada sedikit perbedaan.

Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan bahwa penulis naturalisme lebih tinggi daripada kedua aliran tersebut karena dalam kenyataan aliran-aliran tersebut saling mendukung dalam proses pencarian jati diri atau identitas, baik identitas individu maupun etnis, bahkan pencarian identitas bangsa.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.