Jumat, April 26, 2024

Sastra dan Dekonstruksi

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kenapa kita perlu membangun, membongkar (mendekonstruksi), dan membangun kembali (rekonstruksi)? Ketika melihat sebuah tatanan, adakalanya kita melihat sesuatu yang tidak logis. Ada yang tampak mencurigakan dan irasional. Lebih khusus lagi, mengapa kita membangun sesuatu hanya untuk kemudian didekonstruksi atau dibongkar? Lalu untuk apa dibangun?

Saya ingin membawa Anda kembali ke tahun 1966 pada tanggal 21 Oktober, saat filsuf Prancis terkenal Jacques Derrida memberikan pidato dalam sebuah kuliah umum di Universitas John Hopkins. Kuliah ini dihadiri oleh berbagai profesor dan filosof ternama, antara lain Roland Barthes, Michel Foucault, dan Paul de Man. Mereka mendengarkannya berbicara. Derrida membuat pernyataan mengejutkan bahwa ‘bahasa tidak memiliki makna’ (language has no meaning).

Pernyataannya ini sebagai sanggahan terhadap pikiran filsuf strukturalisme abad ke-19, Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa dan filsuf Swiss. Dia berpendapat bahwa bahasa memiliki struktur untuk menghasilkan makna. Derrida, puluhan tahun kemudian, berpendapat tidak demikian. Gagasan Derrida ini cukup ‘mengerikan’ karena jika tidak memiliki makna lalu apa sebenarnya tujuan hidup? Inilah yang disebut dekonstruksi.

Apa artinya dekonstruksi? Derrida menyatakan bahwa untuk menemukan makna maka kita harus melakukan pemisahan. Kita bisa cermati dalam penggunaan bahasa bagaimana kata-kata bermakna bagi kita. Kata-kata juga dapat memiliki dampak emosional tergantung pada apa jenis kata-kata itu. Ini juga sangat bergantung pada pengalaman kita, di mana kita menempelkan pengalaman itu kepda signifikansi kata-kata tersebut. Namun Derrida berpendapat bahwa bahasa tidak diperbaiki (fixed). Tidak ada finalitas pada kata tertentu. Apa yang dimaksud Saussure bahwa sebuah kata adalah unit. Ketika kita merangkai kata-kata untuk membentuk kalimat maka terbentuklah aturan. Kita memiliki aturan tertentu yang dibangun oleh bahasa, oleh kata-kata itu sendiri.

Ambillah sebuah kata ‘damai’. Menurut Derrida, sebuah kata memang memiliki satu makna petanda. Ini memiliki beberapa makna yang berarti yang berlanjut untuk selamanya. Dilihat dari definisi kamus, damai berarti kebebasan dari gangguan. Definisi ini bisa dimengerti. Sekarang ambillah kata ‘kebebasan’ dengan baik, apa arti kebebasan? Ia berarti kekuatan dan hak untuk mengekspresikan ide dan tindakan secara mandiri. Lalu apa arti kata ‘kekuatan’? Ia berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau perilaku. Sekarang kita lihat arti ‘mempengaruhi’? Artinya perkembangan perilaku atau dampak dari perilaku tertentu yang memberikan efek pada perilaku seseorang. Lalu apa yang dimaksud dengan ‘efek’? Ia adalah perubahan sebagai akibat dari suatu sebab. Demikian selanjutnya.

Kembali ke pertanyaan, bagaimana memahami bahwa bahasa memiliki petanda (signified) dan penanda (signifier)? Bagaimana ia mengarah pada dekonstruksi? Bagaimana kita bisa benar-benar memahami makna dengan memisahkan sesuatu? Saya ingin mencontohkan sebuah novel karya Tony Morrison, Sula. Novel ini dimulai tepat setelah Perang Dunia Pertama. Novel ini memiliki karakter utama Shadrack. Adegan pembuka adalah ketika dia kembali dari Eropa dan terkejut. Rumahnya berada di Medallion of Ohio, sebuah kota kecil di Midwest. Ia adalah daerah warga African-American yang tinggal di bagian Medallion yang disebut the Bottom. Daerah tidak terletak di bagian bawah, seperti namanya. Namun ia berada di puncak bukit yang gersang. Tidak banyak yang tumbuh di sana. Tapi daerah ini dinamakan the Bottom.

Kita kembali kepada apa arti kata, apa arti bahasa. Ketika Shadrack kembali, dia sangat terkejut. Caranya menghadapi dan berasimilasi kembali dengan masyarakatnya disebut Hari Bunuh Diri Nasional. Apa yang dilakukannya? Suatu hari dia keluar rumah dengan tanda sekali setahun dan meminta siapa saja yang ingin bunuh diri untuk datang mengikutinya sendirian. Ini benar-benar memecah dan menyentakkan masyarakat karena ini terjadi untuk pertama kalinya. Seiring berjalannya tahun, kegiatan ini berjalan nyaris menjadi konvensi dalam budaya mereka.

Dengan kata lain, arti sebenarnya dari bunuh diri di komunitas itu berada di bawah mereka. Mereka bukanlah korban. Itu adalah penanda bunuh diri, tetapi mereka memutarbalikkan kata itu dan cara kata itu digunakan dalam masyarakat menunjukkan mereka memberontak melawan konvensi. Mereka memberontak terhadap makna petanda bunuh diri.

Seiring berjalannya cerita, novel ini menitikberatkan kisah dua gadis muda, Sula dan Nel. Mereka adalah ‘konco palangkin‘ sedari kecil. Lalu sebuah peristiwa tragis menimpa Sula. Ia berasal dari cara hidup yang sangat tidak konvensional — ibunya tidak menikah, dia tumbuh bersama neneknya, kakinya dipotong oleh ibunya oleh kereta api. Dia dapat mengumpulkan perusahaan asuransi untuk membantu mendukung keluarganya.

Nel berasal dari situasi rumah tangga yang menjadi konvensi umum. Ia memiliki kedua tua yang komplit, selalu bersama. Mereka memiliki kehidupan keluarga yang normal dalam hal sekolah dan pendidikan. Di permukaan gambaran mereka adalah layaknya kehidupan ideal keluarga inti. Tapi bukan demikian cara hidup Sula. Kedua gadis yang berasal dari latar belakang berbeda ini menjadi sahabat karib.

Seusai pulang sekolah pada sore hari, Sula dan Nel bertemu seorang bocah dan mengajaknya bermain ayunan. Saat mereka berada di dekat sungai, Sula melepaskan anak itu dari genggaman tangannya sehingga dia hanyut dibawa aliran sungai. Sula dan Nel hanya berdiri dan melihatnya tenggelam. Mereka kaku, terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Mereka melupakan peristiwa itu, meninggalkan tempat kejadian dan setelah itu hubungan mereka tidak pernah sama lagi.

Ketika beranjak dewasa, Nel mulai memiliki kehidupan yang stabil; menikah, memiliki anak, dan menetap di Medallion, Ohio. Sementara  Sula sudah pergi meninggalkan daerahnya pada usia 18 tahun. Dia pergi ke kota besar dan menjalani hidupnya sendiri. Tiba-tiba, dia muncul kembali di Medallion sepuluh tahun kemudian. Ada banyak kecurigaan yang terjadi di sekitarnya. Dia tidak terlihat seperti gadis berusia tiga puluh tahun; masih terlihat muda. Dia belum menikah dan tidak punya anak. Semua warga kota tahu betul seperti apa ketika dia masih muda.

Ketika dihujat, Sula tidak bereaksi dengan ketakutan tetapi menyayat jarinya, sambil memberi tahu mereka yang menghujatnya, “Jika aku bisa melakukan ini kepada diriku, maka pikirkan saja apa yang bisa-ku untuk kamu.” Itu merupakan reaksi ketakutan. Kembali ke Medallion, dia tinggal bersama neneknya, Eva. Sang nenek selalu bertanya, “Kenapa kamu tidak menikah? Kenapa kamu tidak punya anak? Kenapa kamu tidak punya bayi?” Sula hanya menjawab, “Saya tidak ingin melahirkan orang. Saya ingin membuat diri saya sendiri.”

Saat itu, 1973, sangat berbeda secara budaya dan sosial dibandingkan dengan bagaimana kita hidup sekarang di abad ke-21. Ketika kita berpikir tentang peran pria dan wanita, wanita tidak mengejar kehidupan yang lebih mandiri pada saat itu. Sula dan Nel kembali bersatu dan mulai menghabiskan waktu secara bersama. Celakanya, Sula berselingkuh dengan suami Nel, Jude. Dia pergi dan tidak pernah kembali. Sula pada waktu itu sudah punya reputasi jelek suka mengambil banyak suami orang dan berselingkuh. Berbeda dari ibunya yang melakukan hal yang sama, Sulla melakukan hal yang paling kejam. Ketika dia berselingkuh dengan banyak pria, dia meninggalkan mereka dan tidak pernah mengganggu mereka lagi.

Kita sebagai pembaca secara langsung berasumsi bahwa Sula membawa kekacauan untuk kehidupan orang lain, tetapi itu bukan yang sebenarnya terjadi. Jika kita kembali ke pertanyaan bahasa, bagaimana mungkin suatu karakter dianggap sebagai antagonis akan membawa perdamaian di dalam komunitas itu. Jawabannya karena ketika Sula meninggalkan pria-pria tersebut, mereka kembali ke istri masing-masing. Alih-alih merasa diabaikan dan ditinggalkan karena berselingkuh, para wanita ini mulai menaruh belas kasihan kepada suami mereka, merawat mereka seperti yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Pria-pria ini akhirnya menjadi ayah yang lebih baik kepada anak-anak mereka. Mereka tidak lagi mengonsumsi minuman keras, mendapatkan pekerjaan layak, menghasilkan uang, dan menjalani rumah tangga yang lebih baik.

Tindakan Sula adalah ironis, ia menciptakan sebuah tatanan dalam masyarakat tersebut. Untuk memahami masyarakat, kita harus memecah, membagi atau menghancurkannya sehingga kita memahami bagaimana kekuatan masyarakat benar-benar bekerja. Kita hanya dapat memahami ketika kita memeriksa setiap komponen dan menyatukannya untuk dibangun kembali. Sayangnya Sula akhirnya membuat kesalahan terbesar dengan melanggar kodenya sendiri; dia akhirnya jatuh cinta pada seseorang dan dia adalah orang yang akhirnya meninggalkannya. Dia bijak dan cukup berpengalaman untuk menyadari bahwa dia tidak pernah kembali. Pada saat itu, dia menyerah dan akhirnya mati. Nel-lah yang datang dan mengunjunginya sebelum dia wafat.

Si pengarang, Toni Morrison, membuat pernyataan yang sangat menarik dan penting, “Kematian tidak terjadi secara kebetulan. Hidup terjadi secara kebetulan. Kematian adalah sesuatu yang disengaja.” (Death does not happen by accident. Life happens by accident. Death is something that is deliberate). Kita melihat bahwa menjadi dirinya adalah menjadi pilihannya. Perselingkuhan dan peristiwa cinta menjadi begitu kuat, mengharukan dan emosional sehingga dia tidak dapat pulih dari itu, baik secara emosional, spiritual maupun fisik. Dia betul-betul telah pergi.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.