Nasib generasi X tidak terlalu indah agaknya. Seolah menjalani masa transisi tiada habisnya. Saat masih kanak-kanak, mereka mengalami didikan keras dari orangtua yang berasal dari Generasi Baby Boomers. Hardikan, pukulan, dan cubitan dianggap sebagai ekspresi sayang sekaligus disiplin dari orangtua dan guru.
Siapa generasi X yang tak mengalami atau setidaknya melihat teman seumurannya dihukum dengan kekerasan? Tak heran saat ada berita seorang guru dipolisikan akibat mencubit siswanya, netizen generasi X banyak yang mencerca. “Ah, saya dulu dipukul guru pakai penggaris kayu. Kalau mengadu ke orangtua, justru makin dimarahi,” komentar seorang dari mereka. “Cuma dicubit aja lapor polisi, kelewatan. Aku waktu SD pernah digampar,” komentar lainnya.
Dapat dikatakan, generasi X ada di posisi “serba salah”. Walau di masa kecil mengalami didikan keras dari orangtua dan guru, mereka kini tak bisa lagi menerapkan ke anak-anaknya. Zaman sudah berubah, konsep Tiger Mom yang menerapkan sistem keras dan disiplin ketat dianggap tak sesuai lagi oleh sebagian pendidik.
Pola didikan superdisiplin disertai kekerasan terbukti tidak berjalan efektif pada suatu eksperimen yang dilakukan UC Riverside Graduate School of Education. Riset yang dilakukan 2014 ini membantah konsep Tiger Mom yang dikemukakan Amy Chua melalui bukunya, Battle Hymn of the Tiger Mother. Di buku itu Amy meyakinkan bahwa pola didik keras yang banyak diterapkan di keluarga Cina adalah yang terbaik. Namun teori ini gugur seiring dengan kemajuan zaman. Makin ke sini, pola didik disertai kekerasan tak lagi disukai.
Mengutip pendapat psikolog Kassandra Putranto, pola asuh Tiger Mom tak bisa diterapkan ke semua anak. Ada anak yang memang membutuhkan sikap tegas dari orangtua, tapi ada pula yang tidak. Dalam banyak kasus, konsep keras Tiger Mom justru lebih banyak memberi efek negatif. Kassandra lebih merekomendasikan pola asuh demokratis agar anak mendapat kebebasan selama masih bersifat baik.
Masalahnya, tidak semudah itu menanggalkan efek dari didikan keras yang dialami generasi X di masa lalu. Sebagian generasi X yang mengalami didikan keras ada yang bersikap protektif terhadap anak-anaknya. Mereka tak mau kekerasan yang dialaminya dulu juga dialami si anak. “Saya dulu langganan dicubiti sampai ungu sama ibu kalau nakal, tapi saya tidak mau anak saya mengalami itu. Traumanya luar biasa,” ungkap perwakilan dari mereka.
Mereka seringkali menjadi terlalu protektif pada anaknya. Sedikit saja anaknya dicolek, mereka kebakaran jenggot. Kasus paling gres, di Makasar seorang guru dipukuli sampai berdarah-darah oleh orangtua siswa. Alasannya? Si guru dianggap menegur sang siswa terlalu keras.
Komedian Ernest Prakasa pernah berkicau di akun Twitter terkait kasus kekerasan guru pada anak beberapa waktu lalu. “Gw gak akan pernah nampar / nyubit anak gw. Jd kalo ada guru berani sentuh anak gw, gw seret ke polisi. Gak ada urusan,” begitu tweetnya yang sempat memancing pro-kontra.
Ernest dapat dikatakan bagian dari pengujung generasi X, mengingat dia kelahiran 1982. Nyaris masuk ke golongan generai Y alias milenial, Ernest merupakan generasi transisi X dan Y. Barangkali dia tak mengalami lagi didikan sekeras generasi X yang di atasnya, sehingga muncul sikap protektif pada anaknya. Tidak terlalu mengherankan, sebab ini juga dialami orangtua-orangtua lain yang menganggap konsep Tiger Mom sudah saatnya ditanggalkan.
Sementara di sisi lain, ada generasi X yang masih setuju dengan pola didik keras ala Tiger Mom. Bahkan menganggap itulah yang terbaik, sebab sudah terbukti di keluarganya. Ada pula kalangan yang ingin melepaskan pola didik keras, tapi dirinya sendiri sulit untuk tidak mengerasi anaknya. Alhasil, terjadi kebingungan dalam diri anak, pola asuh apa sesungguhnya yang diterapkan orangtuanya?
Hal serupa terjadi di kalangan pendidik, dalam hal ini guru. Para guru yang berasal dari generasi X pun mengalami semua yang dialami orangtua siswa. Ada di persimpangan jalan antara anggapan bahwa pola didik keras adalah yang terbaik, atau justru terburuk.
Betul, zaman sudah berubah. Sedikit saja kekerasan pada anak atau siswa terjadi, hukum bisa langsung bertindak. Bahkan sebagian anak-anak sudah paham bagaimana mereka harus melapor ke Komisi Nasional Anak jika menjadi korban kekerasan orangtuanya. Sayangnya ini kadang terjadi kebablasan. Orangtua sendiri sering terbakar emosi ketika mendapat aduan anaknya dihardik atau dipukul guru. Langsung melapor polisi atau main hakim sendiri. Seolah tak ada solusi lain yang lebih baik.
Apakah ini berarti sudah saatnya kita mengucapkan good bye pada pola asuh Tiger Mom? Pola asuh penuh disiplin, keras, yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman?
Dan jangan lupakan juga masih banyak anak-anak yang jadi korban kekerasan orangtua dan guru, termasuk kekerasan seksual. Yang ini tentu bukan akibat dari pola asuh, melainkan penyimpangan yang tak bisa ditoleransi.