Di Indonesia, khususnya Jakarta, air tidak mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Air mengalir ke tempat yang ada uangnya. Siapa yang berpunya, ia yang menikmati air dan sebentuk hak asasi manusia.
Hukum gravitasi seperti itu tidak berlaku alamiah untuk urusan layanan air di Indonesia. Air mengalir deras secara liberal dari mata air di desa atau air perpipaan di kota-kota menuju ke tempat-tempat yang mampu membayar.
Sebagai barang utilitas yang seharusnya dikelola negara, air semakin bergeser menjadi barang komoditas. Upaya terus-menerus memberikan harga terhadap air telah mereduksi nilai utuh air.
Studi-studi yang mengkritik komersialisasi air menyebutkan ada upaya terus-menerus mendidik publik, terutama di negara berkembang, untuk melihat air sebagai barang ekonomi ketimbang barang sosial dan hak. Program Penyesuaian Struktural yang dilansir Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia menyihir segala sumber vital di tengah publik, seperti air, sebagai pendapatan dan untung-rugi ketimbang modal sosial bagi keberlanjutan hidup masyarakat.
Mohamad Mova Al’Afghani, akademisi yang disertasinya meneliti layanan air di Indonesia dan mendirikan Center for Water Governance, mengatakan, ketika layanan air dan sanitasi menjadi bisnis dan pelayanannya diswastanisasi berdasarkan logika full cost recovery (seluruh biaya ditanggung konsumen), seperti di Jakarta, akhirnya terjadi ketidakadilan spasial.
Di berbagai kota di Indonesia, daerah-daerah yang memiliki saluran air dan sanitasi yang baik umumnya berada di sekitar daerah elite. Cirinya memiliki banyak taman hijau resapan, gorong-gorong, dan saluran air. Adapun di daerah menengah ke bawah, kondisi air dan sanitasinya relatif jeblok. Sarana publiknya kumuh dengan got dan kali yang kotor. Kondisi itu bukan kebetulan belaka. Sebab, urusan air dan sanitasi di Indonesia sangat bias kelas sosial.
Ambil contoh Jakarta, yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di Indonesia. Ternyata infrastruktur saluran pembuangan limbah di Jakarta hanya tersedia kurang 2 persen dari populasi. Itu pun sebagian besar warisan kolonial Belanda. Bisa dibayangkan ke mana selama ini limbah rumah tangga dan kotoran manusia Jakarta dibuang.
Ada sekitar 14 ribu ton tinja per hari di Jakarta yang dibuang ke badan air. Pencemaran berlangsung seturut tinggi kebutuhan air bersih dari sumur tanah dangkal sebagai pengganti air perpipaan yang disediakan pemerintah.
Jakarta yang penduduknya padat, pengguna sumur tanah dangkal umumnya berdekatan jaraknya dengan tangki tinja. Muncul penyebaran disentri, muntaber, diare, dan tifus. Dampaknya akan sangat buruk jika yang terinfeksi adalah anak usia di bawah lima tahun.
Data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Jakarta tahun 2013 menyebutkan, dari sisi bakteriologi 50 persen air sumur tanah dangkal di Jakarta telah tercemar.
Di daerah-daerah padat penduduk di utara dan timur Jakarta jarak antara tangki tinja dan sumur dangkal hanya kurang dari 10 meter. Akibatnya, rembesan air tinja masuk ke dalam tanah mencemari sumur dangkal seturut dengan air dari kamar mandi yang mengandung deterjen juga turut mencemari. Hal itu diperparah rusaknya kualitas dan ekosistem 13 sungai yang mengalir di Jakarta.
Buruknya sanitasi berbanding lurus dengan tingginya beban negara untuk kesehatan warga. Badan Kesehatan Dunia mencatat diare sebagai penyakit terbesar kedua di dunia.
Indonesia berada dalam situasi gamang antara ingin memperbaiki daya saing sumber daya manusia dengan menjaga kesehatan, di saat yang sama tak serius membangun infrastruktur air dan sanitasi.
Menengok Indonesia keseluruhan, porsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum perpipaan yang disediakan pemerintah maksimal hanya 60 persen. Sedangkan ketersediaan air bersih di Indonesia, menurut WHO, baru 50-an persen.
Dari cakupan itu, tak semua air mampu mengucur 24 jam. Parahnya sebagian besar air perpipaan tak layak minum. Artinya, 40-an persen warga sebagian terpaksa mengalami krisis air minum sehari-hari dan tak tertolong, kecuali dengan cara primitif: membeli.
Banyak orang Indonesia akhirnya berinisiatif mengandalkan air sumur pompa. Kalangan berpunya membuat sumur tanah dalam dengan kedalaman lebih dari 40 meter. Sementara yang umum terjadi 40-an persen warga Indonesia membuat sumur dangkal yang berisiko tercemar bakteri E.coli. Apalagi ditunjang kondisi sanitasi yang buruk di sekujur tanah Indonesia.
Bias kelas terjadi karena infrastruktur air dan sanitasi di Indonesia tak pernah dibangun negara lewat pembiayaan publik yang serius. Negara yang semestinya menjamin ketersediaan layanan air dan sanitasi yang terjangkau warga sudah lama terlelap abai. Sebaliknya, negara berusaha mengeluarkan anggaran sekecil mungkin dengan cara melibatkan partisipasi modal swasta. Akibatnya, infrastruktur air dan sanitasi makin menonjol sebagai logika bisnis belaka.
Contohnya infrastruktur air di Menteng, Jakarta, yang dibangun di zaman Belanda. Saat Belanda pergi, Menteng berganti sebagai permukiman elite Indonesia. Demikian pula pusat kota baru lain, seperti Kebayoran dan Pondok Indah, yang dibangun oleh selera elite Orde Baru.
Di tiga wilayah itu, air bersih mengalir 24 jam dan sanitasi terbilang prima. Bandingkan, misalnya, dengan layanan air dan sanitasi di daerah timur dan utara Jakarta yang terbilang buruk.
Muncul pertanyaan moral dari warga negara. Apabila ada rencana pengembangan layanan atau perbaikan jaringan, ke manakah sumber daya akan diarahkan? Ke daerah elite atau daerah kumuh? Atau jika terjadi kesulitan air, pipa mana yang akan ditutup dan wilayah mana yang akan dikorbankan?
Ketika negara tidak berhasil mengelola air sebagai barang publik, kelas yang lebih berkuasa akan selalu menguasai sumber daya air. Kemudian publik dapat melihat ketidakadilan tampak jelas dalam urusan layanan air dan sanitasi.
Belanja negara untuk layanan air dan sanitasi terbilang sangat rendah. Data Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) mencatat belanja sektor air dan sanitasi di APBN dan APBD selalu kurang dari 1 persen. Negara malah tergiur menyerahkan tanggung jawabnya kepada swasta melalui skema Bank Dunia bernama public private partnership. Sejak itu, malapetaka warga negara dalam urusan air dan sanitasi kian menjadi-jadi.
Meski akses terhadap air bersih serta sanitasi sudah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai hak asasi manusia dan barang sosial, yang mengherankan tak ada protes sosial atau huru-hara ketika rakyat Indonesia mengalami kesulitan air. Membeli air ketika air tidak tersedia menjadi kewajaran hidup sehari-hari, terutama di kalangan kaum miskin kota dan desa.
Penelitian Kruha dari tahun 2007-2013 di sejumlah daerah miskin kota di Jakarta seperti Rawa Badak, Penjaringan, dan Muara Baru menegaskan praktik jual-beli air. Di tempat itu, warga berpenghasilan Rp 800 ribu hingga Rp 1,5 juta rata-rata menghabiskan belanja bulanan Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu hanya untuk membeli air jeriken yang bahkan belum bisa diminum.
Di daerah-daerah yang sulit air atau terpaksa membeli, air memang tak ada di rumah, komunitas, atau di sawah, tapi ajaibnya selalu tersedia di pasar untuk dibeli. Artinya, air dari sumber yang sama sebenarnya ada, tapi dibajak menjadi barang komoditas di tengah jalan.
Koordinator Nasional Kruha Muhammad Reza Sahib mengatakan, orang miskin akan selalu menjadi korban dari salah urus kebijakan air dan sanitasi di Indonesia. Situasi membeli air ketika air tidak tersedia juga terjadi di pelbagai daerah lain di Indonesia, yang memaksa orang miskin membayar lebih mahal untuk tetap hidup.
Di Jawa, konsentrasi hidup 65-an persen penduduk Indonesia, perebutan dan konflik air semakin nyata terjadi antara pengguna air untuk irigasi, air bersih, dan industri. Dalam kompetisi tak seimbang, dan absennya regulasi, kelompok miskin selalu jadi korban paling apes dari praktik liberalisasi air.
Negara dan pasar cukup sukses mengajarkan rakyat Indonesia untuk terbiasa menjadi konsumen air yang baik, walau air tergolong hak dasar yang penggunaannya tak boleh dibatasi.
Tafsir konstitusional Mahkamah Konstitusi tentang air mengakui air sebagai res commune atau barang publik. Artinya, air harus dikelola dalam domain hukum publik, tidak boleh masuk hukum privat sehingga pemerintah wajib menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak tersebut.
Layanan air di Indonesia secara serius mengalami kontestasi antara barang sosial dan ekonomi dimulai oleh program Bank Dunia yang menawarkan pinjaman US$ 92 juta kepada PAM Jaya di tahun 1991 untuk perbaikan infrastruktur. Selain pinjaman, Bank Dunia sekaligus menyarankan pemerintah menyediakan peluang Partisipasi Sektor Swasta (privatisasi) dalam pengelolaan layanan air di Indonesia.
Menjelang reformasi, dan melalui penunjukan langsung oleh rezim Soeharto, privatisasi air semakin melembaga dengan munculnya korporasi asing seperti PT Palyja dan menyusul PT Aetra di Jakarta yang memberikan layanan air dengan tekanan kuat pada logika untung-rugi. Jakarta, Batam, dan Manado kemudian menjadi contoh paling telanjang praktik privatisasi air di Indonesia.
Di kota Guayaquil, Ekuador, dan kota Dar Es Salaam, Tanzania, rakyat harus turun ke jalan melakukan protes sosial akibat komersialisasi air oleh swasta. Di kota Cochabamba dan La Paz, Bolivia, rakyat menentang keras privatisasi air setelah perusahaan multinasional Bechtel dari Amerika Serikat mengambil alih layanan air.
Kasus lain di Afrika Selatan, protes menjadi pergolakan ketika penguasaan air diserahkan ke perusahaan multinasional asal Prancis, Suez Lyonnaise des Eaux, yang juga mengambil alih urusan air di Jakarta bersama Thames Water Overseas dari Inggris.
Banyak kasus yang disodorkan Kruha dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bahwa privatisasi air di Jakarta justru memperburuk layanan. Buruknya perbaikan kebocoran pipa, cakupan pemerataan pipa, ketersediaan air, kontinuitas, dan tarif dianggap semakin tidak menjawab kebutuhan warga terhadap air yang semestinya tak boleh dibatasi oleh logika untung-rugi.
Laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengenai kondisi setelah privatisasi air tahap kedua menyatakan kondisi layanan tidak mengalami perbaikan dan peningkatan berarti. Target pertambahan pelanggan dari tahun 1998-2000 tidak mencapai ketentuan kontrak dan lebih rendah dibanding pertumbuhan sebelumnya oleh PAM Jaya. Target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap di bawah kinerja PAM Jaya yang telah diprivatisasi.
Tingkat kebocoran pipa juga tidak sesuai dengan klausul dalam kontrak. Tingkat kebocoran pada saat dikelola PAM Jaya 53 persen, kini turun hanya berkisar 48 persen. Namun, untuk menekan tingkat kebocoran (non-revenue water), kedua mitra asing hanya melakukan pembatasan pengoperasian mesin pompa yang terdapat di setiap instalasi. Dampaknya, sejumlah daerah dalam jangkauan pelayanannya justru kekurangan air.
Dari sisi kualitas, air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen, setelah privatisasi, kualitas airnya justru menurun. Pada 1998, misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. Demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi deterjen 0,17 mg/l. Padahal, standar konsentrasi deterjen seharusnya 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan 1994 (0,016 mg/l).
Tarif air di Jakarta rata-rata Rp 5.000 per meter kubik, termasuk paling tinggi di Indonesia. Tarif tinggi karena sejak awal kontrak sudah mahal, yakni Rp 1.700. Tarif terus naik karena inflasi dan kenaikan tarif otomatis terjadi tiap semester (6 bulan).
Dari tarif tersebut, Rp 4.600 digunakan untuk membayar imbalan pada operator asing (PAM Suez Lyonnaise dan PAM Thames Jaya atau sekarang PAM Aetra). Sisanya untuk bayar utang PDAM kepada pemerintah, hitungan defisit, serta badan regulator.
Apabila kenaikan tarif air otomatis tidak disetujui pemerintah, kedua operator asing akan membebankan selisih water charge (imbalan air) dan tarif air pada Pemerintah DKI Jakarta sebagai utang. Pernah Pemerintah DKI justru memiliki utang sekitar Rp 900 miliar pada operator asing karena tarif air tidak dinaikkan dalam periode 1998-2001.
Hanya daerah-daerah di pusat kota seperti Menteng dan Pondok Indah yang meningkat pelayanannya secara signifikan. Kenyataannya, tarif air di Jakarta justru naik. Yang mengherankan, PAM Jaya juga masih meminta subsidi dari pemerintah terkait dengan harga dan perbaikan infrastruktur. Hal ini tentu sangat absurd, karena privatisasi seharusnya merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara ke swasta.
Indonesia sebenarnya pemilik cadangan air nomor empat terbesar di dunia. Potensi air per tahun rata-rata 4 triliun meter kubik, yang sebenarnya tergolong surplus. Meski terdapat beberapa daerah yang defisit air dan ketersediaan air di setiap pulau terus menurun, secara umum tidak tepat mengatakan Indonesia krisis air.
Wilayah Indonesia memang tidak akan segera krisis air, tapi sudah pasti mengalami krisis ketersediaan air bersih dan sanitasi. Para pengkritik liberalisasi air di Indonesia mengatakan Indonesia bukan krisis air, melainkan krisis governance: ketidakmampuan negara mengelola sumber daya air.
Laporan Utama majalah GeoTIMES No. 19, 21-27 Juli 2014