Malam itu, malam setelah Natal (25/12/2020). Nevi Zuairina datang ke Restoran Sederhana, Jalan Rasuna Said, Padang, Sumatera Barat, bersama stafnya, Putri. Nyaris tak ada tamu lain selain wartawan-wartawan yang diundang Nevi. Belakangan, restoran dengan menu makan komplit Nasi Padang memang bukan pilihan cara makan malam lagi. Orang lebih memilih makan malam di tempat yang lebih sederhana dengan menu fast food, bukan di Restoran Sederhana.
Di ruang depan restoran, beberapa orang karyawan sedang membersihkan ruangan, menyusun kursi dan menyetel televisi. Sebentar lagi, gelaran pertandingan Semifinal Piala AFF Indonesia lawan Singapura akan dimulai. Saya bukan diundang secara pribadi, tetapi datang mewakili kawan-kawan di Forum Jurnalis Perempuan (FJP) Sumbar. Devy Diani dari Harian Khazanah yang mengajak, karena Ketua FJP, Nita Arifin tidak bisa hadir.
“Temani ya. Masak saya sendiri saja. Ayolah, sekalian makan malam dan nonton bola,” ajak Uni Devy, dua jam sebelum acara. Demikianlah kemudian saya untuk pertama kalinya bisa duduk satu meja dengan Nevi, senator di DPR RI utusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dapil Sumbar II.
Nevi sengaja mengundang wartawan, yang dia sebut sebagai ‘kawan-kawan pers’, untuk menyampaikan beberapa kabar baik tentang kinerjanya sebagai anggota legislatif. Dalam undangan disebutkan Nevi— yang membahasakan diri sebagai Ibu— menyebut acaranya berupa Refleksi Kerja Hj Nevi Zuairina sepanjang tahun 2021, Teguh Kukuh Jadi Pejuang Aspirasi Anak Negeri.
Dikalangan aktivis perempuan, Nevi Zuairina disebut-sebut sebagai senator perempuan yang tidak feminis. Kebijakan PKS yang menolak RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi penyebabnya. Saat ini, dari 9 fraksi di DPR RI, 7 fraksi sudah menyetujui agar RUU ini dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan. Hanya saja rencana pengesahan itu batal karena PKS dan Golkar tidak menyetujuinya. PKS satu-satunya partai yang menyatakan menolak draf RUU tersebut sementara Golkar menginginkan perbaikan dan penambahan pada pasal yang ada.
Demonstrasi medio Desember, terutama dalam masa Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan ini dimana-mana menyebut nama Nevi dengan nada sentimen. Tetapi itu tidak berpengaruh banyak, karena sebanyak yang sentimen lebih banyak lagi yang hanya diam atau membela Nevi. Bisa dimaklumi, karena PKS adalah partai pemenang Pemilu ke dua di Sumbar setelah Gerindra. Dalam 15 tahun terakhir ini Partai Nevi-lah yang menguasai kursi eksekutif. Sudah 3 periode kader PKS duduk sebagai gubernur Sumbar, dua kali Irwan Prayitno suami Nevi dan saat ini Mahyeldi.
Sebenarnya kader PKS yang banyak bersura menolak RUU tersebut di tingkat pusat bukan Nevi, tetapi Al Muzzammil Yusuf. Dia menyebut draf RUU TPKS sejak awal tidak ada aturan mengenai pelarangan perzinaan dan penyimpangan seksual yang seharusnya ada sebagai perluasan dari pasal terkait di KUHP. Hal itulah yang bagi kelompok mereka dianggap sebagai ancaman yang bisa membahayakan moral masyarakat.
“Fraksi PKS menolak RUU TPKS sebelum didahului adanya pengesahan larangan perzinaan dan LGBT yang diatur dalam undang-undang yang berlaku,” ujar Muzzammil seperti dikutip beberapa media nasional.
Pernyataan Al Muzzammil ini sebetulnya menyiratkan bahwa PKS tidak sepenuhnya menolak RUU dimaksud. Masih ada ruang negosiasi. Karena itulah agaknya ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan melanjutkan pembahasan terkait hal ini pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022 yang dimulai pada 11 Januari 2022.
Nevi tidak bicara soal penolakan RUU TPKS ini di tingkat nasional. Tentu ada alasan tersendiri dan strategi politik tertentu yang membuatnya tidak muncul sebagai pengusung isu penolakan ini. Namun di tingkat lokal, istri mantan Gubernur Sumbar ini cukup vokal menyatakan penolakannya.
Tadinya saya pikir apa yang disampaikan Nevi hanyalah suara partai, bukan pandangan pribadinya sebagai perempuan. Karena tentu kita semua paham bahwa tingkat kekerasan seksual saat ini sudah tercatat sangat membahayakan. Pelakunya bahkan orang dekat dan ada dalam rumah yang sama dengan korban.
Hadirnya RUU tersebut merupakan kebutuhan objektif masyarakat, terutama para korban kekerasan seksual. Masyarakat, penegak hukum, terutama korban, butuh payung hukum yang jelas untuk mengatasi persoalan kekerasan seksual ini. Namun saya keliru. Ternyata Nevi benar-benar satu suara dengan partainya. Bahkan alasan penolakannya terkesan lebih patriarkis dibanding alasan yang disebut Al Muzzammil.
Ada 16 orang wartawan dan 4 orang dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) yang diundang Nelvi untuk makan malam bersama, separonya laki-laki. Kehadiran utusan KPID itu mungkin sebagai bentuk terimakasih Nevi. Tiga hari sebelumnya lembaga ini memberi Nevi anugrah sebagai Tokoh Inspiratif Penyiaran.
Saya lihat, Adrian Tuswandi jadi janangnya, malam itu. Dia dari Komisi Informasi (KI), namun malam itu datang sebagai wartawan yang dekat dengan Nevi. Saya sebut demikian karena dialah yang menyambut tamu dan membantu membagi-bagikan bingkisan. Di pintu masuk restoran, dia menyapa saya.
“Ka’bati, malam ini tak ada cerita-cerita jender dan pemimpin perempuan ya,” ujarnya setengah tertawa. Candaan yang terpaksa saya sambut dengan senyum masam.
“RUU TPKS itu bagai buah yang di luarnya kelihatan bagus tetapi di dalamnya busuk,” ujar Nelvi, selepas kami semua menyantap hidangan makan malam. Saya terdiam mendengan diksi ‘busuk’ yang dilontarkan oleh anggota komisi VI DPR RI ini. Saya menatap wajah anggota dewan yang terhormat itu dengan serius.
“Itu pendapat pribadi atau atas nama partai?” Tanya saya.
“Saya tidak ada perbedaan pendapat dengan partai. Itu benar, RUU TPKS itu didalamnya busuk dan mengandung cara pandang barat yang liberal. Itu bisa merusak moral kita sebagai umat islam. Dan juga merugikan perempuan. Masak suami yang memaksa istrinya berhubungan seks dianggap kekerasan dan boleh dilaporkan? Itukan bertentangan dengan Islam. Baca lagi deh,” ujarnya.
Saya tentu saja sudah membaca rancangan undang-undang tersebut dengan baik, lengkap dengan kronologis pengajuannya. Dasar pengajuannya jelas, berbasis pada suara para korban kekerasan seksual. Dan RUU tersebut bertujuan untuk menguatkan harkat dan martabat manusia dan memuliakan perempuan. Ini jelas sesuai nilai-nilai dalam Islam.
Saya juga menyimak bahwa pembuatan naskah akademik dan RUU tersebut turut melibatkan sejumlah ormas agama, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan, hasil ijtima ulama Majelis Ulama Indonesia juga menekankan pentingnya RUU ini.
Catatan akhir tahun yang dilansir Komnas Perempuan (2021) menyebutkan gambaran beragam spektrum kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2020 dan terdapat kasus-kasus tertinggi dalam pola baru yang cukup ekstrim, diantaranya, meningkatnya angka dispensasi pernikahan (perkawinan anak) sebesar 3 kali lipat yang tidak terpengaruh oleh situasi pandemi, yaitu dari 23.126 kasus di tahun 2019, naik sebesar 64.211 kasus di tahun 2020.
Demikian pula angka kasus kekerasan berbasis gender siber (ruang online/daring) atau disingkat KBGS yang dilaporkan langsung ke Komnas Perempuan yiatu dari 241 kasus pada tahun 2019 naik menjadi 940 kasus di tahun 2020. Hal yang sama dari laporan Lembaga Layanan, pada tahun 2019 terdapat 126 kasus, di tahun 2020 naik menjadi 510 kasus.
Jumlah kasus kekerasan yang dialami perempuan sepanjang tahun 2020 menurut data Komnas Perempuan sebesar 299.911 kasus. Jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol adalah di ranah pribadi atau privat, yaitu KDRT dan Relasi Personal, yaitu sebanyak 79%. Diantaranya terdapat kekerasan terhadap istri (49%), disusul kekerasan dalam pacaran (20%) yang menempati posisi kedua.
Posisi ketiga adalah kekerasan terhadap anak perempuan (14%), sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami, mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Kekerasan di ranah pribadi ini mengalami pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Data faktual ini mestinya menjadi penguat untuk mendorong legalitas RUU TPKS di parlemen. Sayangnya Nevi memandangnya dengan cara yang lain, cara pandang dikotomis; Barat, Liberal vs Islam. Padahal justru di Barat, Islam saat ini diterima dengan wajah toleran.
Diakhir jawabannya, saya dengar sorakan yang riuh. saya pikir itu dukungan terhadap jawaban Nevi, ternyata tidak. Di waktu bersamaan, Indonesia mencatat gol ke dua.
Akh, saya terlalu serius berharap Nevi tidak serius.