Kasus Herry Wirawan melakukan pelecehan seksual 12 murid perempuannya membuka mata kita semua, betapa tempat atau lokasi mana pun memungkinkan pelecehan seksual terjadi.
Fenomena Herry Wirawan ini menjungkir-balikkan asumsi kalangan misoginis (kalangan yang benci kaum perempuan dalam setiap pikiran mereka), menganggap bahwa pelecehan seksual itu selalu disebabkan oleh tubuh perempuan yang dibiarkan terbuka.
Bagi kalangan misoginis, perempuanlah yang seharusnya menutup tubuh mereka agar tidak menarik laki-laki untuk berbuat jahat. Pandangan ini jelas salah, karena kenyataannya memberikan kebenaran lain.
Bayangkan, tempat yang dianggap sebagai tempat suci karena setiap hari di sana dilaksanakan kegiatan menghafal al-Qur’an oleh Harry Wirawan, dijungkar-balikkan menjadi tempat yang menista hakikat kemanusiaan.
Bahkan, Herry Wirawan tidak hanya melakukan tindakan bejat pada para murid perempuannya, mereka juga diperas tenaganya untuk meminta-minta. Hasilnya dikumpulkan lalu diberikan kepada Herry Wirawan.
Memang kita tidak bisa melakukan generalisasi atas pesantren atau boarding school atas tindakan Herry Wirawan. Tapi yang jelas, tempat apapun namanya, plakatnya apakah itu boarding school atau pesantren tahfid atau nama lainnya, jelas kalau tempat itu memungkin terjadinya pelecehan apalagi pemerkosaan terhadap perempuan, maka kita tidak membela tempat seperti itu.
Atas apapun nama lembaga pendidikan, jika menyebabkan kerugian, penganiayaan, pelecehan, pemerkosaan ataupun lainnya, jelas itu harus dikutuk. Kita tidak melihat tempat, namun kita melihat tindakan apa yang dilakukan di sebuah tempat itu.
Peristiwa Herry Wirawan ini sekaligus membuka mata hati kita semua betapa anak-anak perempuan kita bisa menjadi mangsa. Peristiwa Herry Wirawan ini menyadarkan kita bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman bagi anak-anak perempuan kita.
Jika demikian, kita berharap pada apa dan siapa agar mereka mendapatkan perlindungan Di sinilah saya berpikir agar RUU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan segera disahkan.
Kita tahu bahwa PKS adalah partai yang sangat keras menolak rancangan ini. Menurut PKS, mereka menolak karena RUU ini tidak mengakomodasi usulan mereka. PKS, melalui Jazuli Juwaini, mengatakan RUU ini ambigu dan sekuler-liberal katanya. Dia secara persis mengatakan:
“Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri,” tegas Jazuli dalam keterangannya, Kamis (7/2/2019).
Pernyataan itu dikeluarkan pada tahun 2019 dan secara konsisten PKS melakukan penolakan di setiap saat RUU ini dibicarakan di ruang publik sampai kini. Bahkan, ketika semua Fraksi di DPR setuju RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk menjadi inisiatif DPR, PKS satu-satunya Fraksi yang menolaknya. Alasan yang digunakan tetap tidak berbeda yaitu membuka perzinahan dan LGBT.
PKS juga lantang mengkritik dan menolak Permendikbud pelecehan seksual baru-baru ini. Alasan mereka tetap sama. Tapi, apakah mereka tidak sadar bahwa mereka membeli waktu (buying time) demi ide yang tidak bisa mereka kompromikan. Mereka membuka ruang tanpa perlindungan atas perempuan sementara peristiwa demi peristiwa terjadi tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum karena kita mengalami kekosongan hukum.
Saya mengakui PKS turut mengecam peristiwa Herry Wirawan sebagaimana dilontarkan oleh Hidayat Nurwahid. Namun hal yang kita tunggu sebenarnya adalah tindakan nyata. Ketika semua kelompok sepakat, fraksi partai politik, untuk membuka peluang membawa RUU TPKS –nama lain dari RUU PKS–kenapa PKS tinggal sendirian untuk menolaknya.
Kalau mereka sepakat bahwa tujuan RUU ini adalah untuk melindungi kaum perempuan dari pelecehan dan kejahatan seksual mengapa mereka harus tidak setuju. Bukankah yang paling penting isi dari RUU itu yang memungkinkan bisa menjadi perlindungan bagi perempuan.
Kita harus berpikir pada tujuan utamanya. Jika tujuan utamanya itu untuk menjaga martabat perempuan, maka hukum apapun, itu akan disetujui oleh agama karena hakikat agama adalah memberikan perlindungan atas perempuan.
Jika memang RUU TPKS memang bertujuan pada kemaslahatan publik khususnya kaum perempuan, maka meskipun itu hasil olah pikir manusia, pasti agama akan menyepakatinya karena sama-sama menghasilkan kemaslahatan. Bahkan jika berpegang pada pendapar seorang ulama terkemuka abad pertengahan, al-Tufi, jikalau maslahah hasil olah pikir manusia itu memiliki perbedaan dengan agama, maka manusia dibolehkan untuk memilih maslahah hasil olah pikir manusia.
Karenanya, saya melihat alasan penolakan PKS atas RUU TPKS itu masih menjadi wilayah yang secara keagamaan bisa didiskusikan. Di dalam agama, hal ini biasa disebut sebagai wilayah ijtihad. Sebagai wilayah ijtihadi, maka kita bisa berdebat dan bertentangan. Di dalam agama, ijtihad salah bernilai satu, ijtihad benar bernilai dua. Tinggal PKS saja apakah partai ini mau mengikuti cara pemikiran keagamaan yang terbuka dan memikirkan kebutuhan manusia ataukah tidak? Siapa tahu bahwa dukungan PKS atas RUU PTKS itu justru merupakan ijtihad yang benar menurut agama.
Pada zaman yang terus berubah, saya mengusulkan pada PKS untuk juga memikirkan perubahan itu ke dalam cara pandang keagamaan mereka. Agama tidak bisa selamanya dijadikan sebagai alat justifikasi politik karena itu berlawanan dengan hakikat agama yang juga menghargai perkembangan zaman.
Saya berpandangan bahwa pengesehan RUU TPKS akan membawa terobosan yang cukup besar. RUU ini tidak hanya menciptakan perlindungan bagi perempuan namun juga akan memperbaiki keadaan bagi manusia semuanya. Artinya, pelaku pelecehan dan kejahatan seksual akan mendapatkan halangan untuk melakukan perbuatannya. Jika masih ada yang menerobos, maka penerobos itu adalah kategori orang yang sangat keterlaluan atau melampaui batas.
Sebagai catatan, jika PKS berubah sikap ikut mensetujui RUU TPKS menjadi UU TPKS atas inisiatif DPR, setelah peristiwa keji Herry Wirawan, maka PKS dipastikan akan naik popularitasnya. Apapun jenis sumber sebuah UU atau peraturan, apakah itu hasil pemikiran manusia semata atau campuran pemikiran manusia dengan agama, maka sepanjang itu untuk kemaslahatan bersama maka bisa dipastikan agama akan menyutujuinya karena agama pada hakikatnya juga menuju pada penciptaan kemaslahatan bersama.