Dalam fase sejarah menuju Tiongkok modern, ada tragedi yang memunculkan tarik ulur antara budaya klasik tradisional, dengan perubahan budaya progresif yang mengarah pada kemajuan versi pimpinan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Perubahan kultural progresif, dan radikal itu, kemudian dikenal sebagai revolusi kebudayaan (RK).
Korban akibat RK, sungguh luar biasa menderita, dan banyak memakan korban jiwa manusia. Peristiwa itu telah menjadi tragedi pahit kemanusiaan. Saat banyak korban berjatuhan itulah, orang dalam berbagai lapisan masyarakat di Tiongkok berupaya merefleksikan peristiwa itu, dan bertanya bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi aneka persoalan rumit tersebut?
RK merupakan gerakan yang terjadi pada rentang tahun 1966 hingga 1977. RK merupakan gerakan sosial, politik, dan budaya yang dipimpin langsung oleh Mao Zedong, pendiri Republik Rakyat Tiongkok (RRT). RK oleh banyak kalangan dianggap paling kontroversial bagi sejarah Tiongkok modern, dengan dampak kerugian jangka panjang terhadap masyarakat, budaya, dan politik Tiongkok.
RK dimulai sebagai upaya Mao untuk mempertahankan kekuasaan dan menghilangkan pengaruh lawan-lawan politik di dalam Partai Komunis Tiongkok. RK bermaksud menyingkirkan figur-figur yang dianggap berseberangan dengan Mao, seperti Liu Shaoqi, Deng Xiaoping. Dalam forum internasional pun, Mao yakin bahwa USSR/ Uni Soviet sudah menjadi negara kapitalis, yaitu social imperialist / “kapitalis merah”, bahkan Mao melihat USSR sebagai ancaman terbesar bagi RRT.
Mao merasa perlu dilakukan RK untuk mengoreksi “ideologi kiri” yang mengendur di masyarakat. Mao merasa pemerintahan Tiongkok terpengaruh peradaban Barat, dan feodalisme menyebabkan kemiskinan rakyat, dan banyak pejabat bermental korup.
Dalam analisis Utami, dan Gischa (Kompas 7/7/2021) faktor pendorong yang menyebabkan RK, yaitu kaum intelektual dianggap mendukung kapitalis, pembangunan bidang industri yang mengesampingkan bidang agraris, kritik keras akibat kegagalan rencana pembangunan lima tahun, dan lompatan jauh ke depan
RK bermaksud menjatuhkan nilai-nilai patriarki, klan keluarga, teknokrasi yang ada dalam masyarakat secara radikal. Kaiming (1986) menyebutkan RK dilakukan untuk menghapus empat hal kuno, yaitu kebudayaan, gagasan pemikiran, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan kuno.
Pengaruh lama, termasuk budaya, nilai-nilai, dan institusi, yang dianggap kontraproduktif terhadap perjuangan komunis. Mao ingin menggantinya dengan nilai-nilai revolusioner yang sejalan dengan ideologi komunis dan kepercayaan terhadap kepemimpinan PKT.
Dalam analisis Novianti & Muas (2021) RK melibatkan partisipasi massa dari masyarakat Tiongkok, khususnya pemuda dan pelajar. Mao mendorong “Prajurit Merah Muda” (Pengawal Merah) untuk melakukan kampanye konservasi revolusioner dengan menghancurkan benda-benda budaya lama, mengkritik individu yang dianggap “kontra revolusioner”, dan secara fanatik mendukung Mao.
Terril (dalam Pulungan, 2018) berpendapat bahwa Mao mengangkat para pemuda untuk bertugas menghancurkan jejak-jejak budaya tradisional, seperti kelenteng, menangkap kaum intelektual yang diduga “borjuis”, dan juga para revisionis. Mao meyakini bahwa para pemuda — sebagaimana dirinya ketika muda — memiliki kekuatan atas kebenaran.
Ada beberapa peristiwa kelam terjadi selama RK, pertama, banyak artefak budaya sejarah, buku, seni, dan artefak budaya lainnya dihancurkan atau dirusak. Kedua, monumen bersejarah, candi dan situs budaya juga mengalami kerusakan parah. RK juga menimbulkan ketidakstabilan sosial dan ekonomi yang signifikan.
Ketiga, banyak orang yang dipermalukan dan dihukum secara tidak adil, sehingga menciptakan iklim yang menakutkan di Tiongkok. Keempat, pendidikan juga terganggu karena penutupan sekolah dan universitas atau gangguan serius. Selama RK, Tiongkok mengalami tingkat ketidakstabilan yang tinggi.
Kelima, konflik politik dan kekerasan yang melanda negara, menyebabkan kerusuhan sosial, pembantaian, dan ketidakpastian ekonomi. Pihak berwenang menganggap bahwa situasi ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.
Mao Zedong wafat 9 September 1976, selanjutnya RK resmi diakhiri pada Kongres PKT ke-11 bulan Agustus 1977. Setelah kematian Mao, para pemimpin baru Tiongkok, seperti Deng Xiaoping, membuat reformasi ekonomi dan sosial yang mengubah wajah Tiongkok dan menciptakan periode yang dikenal sebagai “Era Reformasi dan Keterbukaan”.
Dalam analisis Sihotang (2020) Deng melakukan strategi kombinasi reformasi ekonomi, keterbukaan terhadap investasi asing, dan upaya modernisasi untuk mengubah perekonomian Tiongkok menjadi pemain global yang besar di masa depan.
RK bukanlah jalan akhir bagi sejarah Tiongkok. Melalui refleksi atas RK, pimpinan selanjutnya menggunakan cara yang khas menuju era reformasi, dan keterbukaan. Tarik ulur dalam ketegangan RK, berakhir dengan reformasi menyeluruh dalam berbagai bidang. Kendati berubah, Pemerintah Tiongkok tetap berpaham pada Sosialisme, dan menggunakan ekonomi, sains dan teknologi, dan manajemen sebagai “alat” untuk mengusung reformasi di era keterbukaan.