Jumat, April 26, 2024

Revisi UU ITE, untuk Melindungi Kebebasan Berekspresi

Roni Saputra
Roni Saputra
Direktur LBH Pers Padang.

 

Menkominfo Rudiantara (kedua kanan) didampingi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (ketiga kanan) dan Direktur Telkom Indra Utoyo (kanan) mendengarkan penjelasan salah seorang finalis saat menghadiri grand final lomba aplikasi Hackathlon Merdeka 2.0 di Jakarta, Minggu (15/11). Lomba yang diikuti 1.700 peserta dari 28 kota tersebut diselenggarakan oleh komunitas TI Code4Nation berkerjasama dengan PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) bertujuan untuk mencetak talenta/ahli IT yang peduli memecahkan permasalahan bangsa. ANTARA FOTO/Audy Alwi/pras/15
Menkominfo Rudiantara (kedua kanan) didampingi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (ketiga kanan) dan Direktur Telkom Indra Utoyo (kanan) mendengarkan penjelasan salah seorang finalis saat menghadiri grand final lomba aplikasi Hackathlon Merdeka 2.0 di Jakarta, Minggu (15/11). ANTARA FOTO/Audy Alwi/pras/15

Pada 10 Februari 2015, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menyatakan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan agenda prioritas. Salah satu fokusnya adalah merevisi Pasal 27 yang sering dipakai untuk menjerat seseorang dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun hingga Desember 2015 ini pernyataan Menteri Kominfo tersebut belum terwujud.

Kondisi di atas akhirnya membuat banyak aktivis kebebasan berekspresi bersuara. Salah satunya adalah Forum Demokrasi Digital (FDD), melalui akun twitter @suratedaran, yang mengumumkan pencarian naskah revisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang hilang. Naskah revisi yang diinisiasi oleh Kemkominfo disebutkan telah selesai pada 11 Juli 2015, dan telah pula dirapatkan dengan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2015.

Setelah itu, tidak terdengar lagi kabar di mana naskah revisi UU ITE versi pemerintah tersebut, bahkan dalam daftar prolegnas 2016 revisi UU ITE juga tidak ada. Artinya, pada tahun 2016 UU ITE tidak menjadi bahasan. Padahal, dalam prolegnas 2015, UU ITE menjadi salah satu UU yang prioritas untuk dibahas dan direvisi. Jika sampai akhir Desember 2015 tidak dibahas, tamatlah riwayat revisi UU ITE, dan tindakan mengkriminalkan kebebasan berekspresipun akan semakin menjadi-jadi.

Sejarahnya, UU ITE ini dibentuk untuk memastikan bahwa transaksi keuangan secara elektronik bersifat sah, dan mengatasi persoalan kejahatan dunia cyber yang melanda hampir semua negara di dunia. Kejahatan-kejahatan itu menurut UE Convention on Cybercrime berupa akses ilegal, penyadapan ilegal, gangguan data, gangguan terhadap sistem, penyalahgunaan perangkat elektronik (misuse of device), pemalsuan yang terkait dengan komputer, penipuan yang terkait dengan komputer, pelanggaran terkait dengan pornografi anak, pelanggaran hak cipta dan hak-hak terkait, serta percobaan atau persengkokolan dalam melakukan pelanggaran terhadap cyber.

Namun setelah disahkan, ternyata UU ITE tidak saja mengatur masalah kejahatan cyber, tetapi juga mengatur kejahatan konvensional yang sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya tentang penghinaan atau pencemaran nama baik.

Bagi orang yang dilaporkan telah melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik, dapat dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Ancaman ini jauh lebih tinggi dari penghinaan yang diatur dalam KUHP. Konsekuensi dari ancaman 6 tahun ini adalah penegak hukum (polisi) bisa melakukan penahanan dengan segera. Berbeda dari KUHP, polisi tidak bisa serta merta melakukan penahanan.

Persoalan utama dari UU ITE ini bukan hanya ancamannya yang tinggi, tetapi ketidakkonsistenan dari legislatif dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dan penetapan pidananya. Mudzakkir, dalam kegiatan “Politik Kodifikasi Rancangan KUHP” pada 28 September 2006 yang diselenggarakan oleh ELSAM menyatakan, “telah adanya ketentuan yang mengatur mengenai pencemaran nama baik di KUHP dan KUH Perdata, seharusnya menjadi pertimbangan untuk tidak memunculkan delik yang sama dalam Undang-Undang ITE. Pengaturan ulang tersebut dapat menimbulkan duplikasi yang dapat menyulitkan penegakan hukum. Pengulangan pengaturan perbuatan yang dilarang ini bertentangan dengan asas kepastian hukum dan kejelasan rumusan atau asas legalitas.”

Penyataan Mudzakkir sebagai pakar pidana tersebut mempertegas bahwa ada kekeliruan dalam pengaturan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE, karena sudah ada pengaturan yang tegas dan jelas dalam KUH Pidana.

Delik Kolonial

Sejak diberlakukannya UU ITE, pasal yang paling produktif digunakan oleh aparat penegak hukum adalah Pasal 27 ayat (3). Pasal yang tidak lebih merupakan jelmaan dari pasal perbuatan tidak menyenangkan (sesama pasal karet) ini, sangat efektif untuk membungkam kebebasan berekspresi di dunia maya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh SafeNet, setidaknya hingga November 2015, sudah 118 pengguna internet dijerat oleh “pasal karet” UU ITE tersebut dengan tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik melalui media sosial.

Pasal karet ini tidak saja menyasar pengguna media sosial seperti facebook, twitter, tetapi juga membidik wilayah-wilayah yang bersifat privacy seperti email, miling list, grup-grup terbatas di media sosial, bahkan layanan pesan pendek (SMS).

Dalam sejarahnya, delik penghinaan digunakan untuk melindungi reputasi dari para bangsawan, namun dalam perkembangannya delik penghinaan kemudian digunakan untuk melindungi reputasi orang atau individu. Selain itu, delik penghinaan sendiri telah jauh berkembang tidak hanya melindungi reputasi individu, tapi juga kelompok individu dan reputasi perusahaan.

Delik penghinaan ini diawali dari tahun 500 SM yang ditandai dengan adanya rumusan “twelve tables”. Ketentuan ini sering kali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan hukuman-hukuman yang sangat kejam. Dulunya Inggris pada masa pemerintahan Edward I (1271-1307) juga memperkenalkan penghukuman terhadap penghinaan, yang diatur dalam Scandalum Magnatum. Pengaturan itu dilakukan karena pada masa itu di Inggris terdapat cukup banyak korban dan kegaduhan akibat pembalasan atas penghinaan.

Hukum penghinaan yang diperkenalkan oleh Inggris kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia. Amerika Serikat juga mengikuti jejak Inggris dengan mengesahkan Alien and Sedition Act pada 1798. Aturan ini mengesahkan tindakan untuk mengusir orang asing yang mengkritik Presiden, Kongres ataupun pemerintah lokal. Sementara itu, warga Amerika Serikat yang melakukan hal yang sama akan menghadapi sanksi penjara atau denda.

Pada tahun 1964 di Amerika terjadi kasus yang dikenal dengan nama New York Time Co Vs Sullivan. Kasus ini kemudian menjadi millestone terhadap hukum penghinaan secara global. Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat menyatakan, bila pejabat publik akan membawa perkara penghinaan ke pengadilan, maka mereka harus menunjukkan bukti pelaku penghinaan telah memiliki pengetahuan bahwa informasi tersebut salah dan memiliki niat jahat yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi yang salah tersebut.

Revisi untuk Melindungi Kebebasan Berekspresi

Hans Kelsen menyatakan tidak ada hukum bagi seseorang tanpa kewajiban hukum bagi orang lain. Isi dari hak seseorang pada dasarnya merupakan pemenuhan kewajiban dari orang lain. Dengan demikian, ketika seseorang melaksanakan suatu kewajiban hukum, otomatis ia telah melaksanakan hak hukum dari orang lain atau masyarakat.

Hal yang sama juga berlaku pada penggunaan sanksi pidana berlapis terkait dengan delik penghinaan di dunia maya (internet). Dalam masyarakat hukum modern memandang bahwa delik penghinaan tidak tepat dijadikan sebagai tindak pidana, karena dampak yang diakibatkan tidak langsung, dan pemulihan terhadap pencemaran nama karena penghinaan dapat dilakukan segera dengan media yang sama.

Negara-negara modern dalam konstitusinya hanya memperbolehkan pembatasan terhadap kemerdekaan berekspresi melalui undang-undang. Implikasi ketentuan ini adalah pembatasan kemerdekaan berekspresi tidak hanya sekadar diatur begitu saja oleh undang-undang yang mengatur pembatasan tersebut, melainkan harus mempunyai standar tinggi, kejelasan tujuan, aksesibilitas dan menghindari ketidakjelasan rumusan. Frank La Rue (special repourture PBB) menyebutkan pemberian hukuman penjara bagi orang yang mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan sulit dibenarkan sebagai tindakan yang sesuai untuk mencapai salah satu tujuan yang sah menurut Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

Kondisi-kondisi di atas seharusnya menjadi pertimbangan bagi pengambil kebijakan untuk merevisi UU ITE. UU ITE harus dikembalikan ke tujuan awalnya, yaitu perlindungan atas kejahatan cyber, dan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik harus dihapuskan dari UU ITE. Dengan begitu, jaminan pelaksanaan kebebasan berekspresi dapat terealisasi. Dan sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan demokrasi, sudah seharusnya pembuat kebijakan menempatkan kebebasan berekspresi sebagai salah satu ciri dari negara berdemokrasi.

Roni Saputra
Roni Saputra
Direktur LBH Pers Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.