Oktober ini pemerintah akan mencairkan dana desa tahap akhir sebesar Rp 4,2 triliun. Tentu pencairan ini menjadi kabar baik bagi desa di tengah-tengah kondisi ekonomi yang kurang baik. Namun, momentum pencairan yang berbarengan dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) cukup menghawatirkan. Ada kecemasan dana desa justru ditumpangi kepentingan tertentu untuk mengukuhkan kembali kekuasaan politik daerah.
Kecemasan itu bukan tanpa dasar, karena pengalaman pilkada sebelumnya justru memperlihatkan pola politisasi terhadap birokrasi dan desa. Pemerintahan desa dan jajaran di bawahnya dilibatkan secara aktif menjadi mesin penggerak dalam pengumpulan dukungan. Fakta ini bisa dilihat dalam beberapa kasus yang kemudian diputuskan Mahkamah Konstitusi.
Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana calon kepala daerah (khususnya petahana) bergerilya mendulang suara mempengaruhi kepala desa. Modusnya beragam, dari menjanjikan sejumlah uang kepada desa, tunjangan, perbaikan desa, dan banyak yang lain.
Jadi, meski dana desa baru akan dicairkan tahun ini, politisasi desa sebagai struktur terendah terus berulang dan menunjukkan pola tertentu. Bahkan kasus-kasus ini hampir selalu menjadi pertimbangan bagi hakim konstitusi membatalkan hasil pilkada atau perintah pemungutan dan penghitungan suara ulang karena pelanggaran sistematis, terstruktur, dan massif. Aktornya sama, petahana (gubernur, bupati/wali kota) yang kembali maju atau juga ketika keluarga petahana mencalonkan diri.
Karena itu, konteks kekinian perlu menjadi perhatian bersama agar pencairan dana desa tersalurkan tepat sasaran, begitu juga pilkada berjalan secara jujur dan adil. Agar pilkada dan penyaluran dana desa sama-sama berjalan baik, keduanya mesti dikawal secara serius. Memetakan aktor dalam pilkada menjadi keniscayaan agar pemerintah, penyelenggara, dan pengawas pemilu mampu mengawalnya.
Sebagai gambaran awal, pilkada sekarang diikuti 173 calon kepala daerah dari petahana (yakni 21 orang wali kota, 11 wakil wali kota, 3 gubernur, 2 wakil gubernur, 84 bupati dan 52 wakil bupati). Kepala daerah ini kembali maju, baik di daerah yang sama (168 orang), naik ke tingkat propinsi (3) dan ada juga yang mencalonkan diri di daerah lainnya (2).
Sedangkan untuk calon wakil kepala daerah diikuti oleh 32 orang petahana yang sebelumnya menjabat sebagai bupati (2 orang), wakil bupati (22), wakil gubernur (2), dan wakil wali kota (6). Umumnya mereka maju kembali di daerah yang sama (29) atau naik sebagai calon gubernur (3) seperti Jambi, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau.
Jika data petahana itu diklasifikasikan berdasarkan soliditas pasangan kepala daerahnya, maka diperoleh dua kelompok, yakni pasangan kepala daerah yang tetap solid dan pecah kongsi. Pasangan yang tetap solid dan kembali maju sebagai satu pasangan berjumlah 21 pasangan, sedangkan kepala daerah yang pecah kongsi dan berhadap-hadapan dalam pilkada nanti ada 34 pasangan.
Berdasarkan peta itu, terlihat gambaran potensi munculnya politisasi terhadap birokrasi, penggunaan fasilitas negara, dan penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pemenangan. Potensi penyalahgunaan wewenang untuk pemenangan bisa terjadi di lima varian posisi petahana dalam pilkada.
Kelima varian itu adalah, [1] di daerah yang kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi, [2] di daerah yang kepala daerah dan wakilnya kembali maju dalam satu paket, [3] kepala daerah atau wakil yang melawan kepala daerah atau wakil yang berasal dari daerah lain, dan [4] kepala daerah atau wakil melawan kandidat nonpetahana, serta [6] kepala daerah dan wakil yang tidak lagi mencalonkan diri, namun keluarganya maju sebagai calon kepala daerah dan wakil.
Daerah yang kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi, maka potensi pelibatan birokrasi akan sangat kuat. Kepala daerah bisa menggunakan pengaruhnya, begitu juga dengan wakil kepala daerahnya. Akibatnya, tarik menarik dukungan di internal aparatur sipil negara (ASN) akan semakin kuat. Namun, keuntungannya, masing-masing kandidat akan saling kontrol agar birokrasi tidak saling digunakan. Atau justru sebaliknya, keduanya menggunakan kekuatan birokrasi dan saling tidak menggangu.
Untuk daerah yang kepala daerah dan wakil kepala daerahnya kembali maju bersama, potensi politisasi birokrasinya akan jauh lebih kuat. Sebab, keduanya menguasai birokrasi sehingga tak ada lawan politiknya yang memiliki akses terhadap birokrasi. Karena itu, untuk varian kedua ini akan sangat kuat memunculkan politisasi, misalnya penyimpangan terhadap dana desa.
Kondisi yang hampir sama muncul di daerah yang hanya muncul satu petahana apakah kepala daerah atau wakil kepala daerah yang maju, sehingga tak ada kekuatan pembanding yang mampu mengontrol penggunaan birokrasi oleh petahana. Begitu juga dengan kepala daerah yang melawan kepala daerah–dari wilayah lain, sehingga hanya ada satu kekuatan petahana yang akan mengontrol birokrasi.
Selain beberapa peta di atas, potensi politisasi birokrasi juga mungkin terjadi di daerah yang keluarga petahanannya mencalonkan diri. Kepala daerah potensial untuk menggunakan kekuatan birokrasi sebagai mesin pemenangan terhadap keluarga kepala daerah.
Berdasarkan peta itu, pemerintah pusat yang mengelola dana desa perlu menjadikan daerah dengan petahana sebagai prioritas pengawasan, sehingga pencairan dana desa benar-benar optimal. Kerja bersama antara pemerintah dengan Bawaslu dan Panwaslu mesti disinergikan agar optimal mengawal pencairan dana desa dan mencegah digunakannya untuk pemenangan petahana. Apakah dengan klaim sebagai program petahana maupun modifikasi penyaluran sehingga menjadi barter politik antara daerah dengan desa.
Desa semestinya memposisikan diri tinggi, tidak terjebak pada kepentingan petahana. Sebab, dana itu merupakan hak langsung desa dengan kepala daerah sebagai perantara penyaluran. Karenanya, tanpa perlu dijanjikan pencairan sudah pasti harus disalurkan kepada desa, momentum saat ini justru menjadi waktu yang tepat bagi desa untuk memilih dan memilah kepala daerah yang peduli terhadap desa. Bukannya menggunakan kekuasaan untuk sekadar politisasi desa.