Kamis, April 18, 2024

Maskawin Politik dalam Pilkada

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM

Istilah mahar atau maskawin saat ini menjadi sangat populer bukan hanya terjadi dalam perkawinan sebagai bagian dari prosesi membangun rumah tangga pasangan suami-istri. Mahar menjadi populer karena berseliweran dalam dunia politik. Tak ayal lagi, mahar kemudian disebut dengan istilah mahar politik alias maskawin politik.

La Nyalla Mattalitti adalah politikus Gerindra yang dengan tegas menyatakan adanya mahar politik dalam Pilkada tahun 2018 di Jawa Timur (16/1/2018). Ternyata yang lebih menggegerkan publik adalah bahwa mahar politik dalam pilkada itu bukan hanya di Jawa Timur, tapi juga di Jawa Barat, Sumatra, dan Jawa Tengah.

Mahar politik sebagai “uang suci” dalam perkawinan sekarang menjadi semacam “uang haram” tak bertuan yang bisa saja berseliweran, namun tidak ada yang mengakuinya. “Tidak ada satu partai pun meminta mahar dalam pilkada! Tidak ada pimpinan partai yang meminta mahar pada kader yang akan maju dalam pilkada!” Demikian kira-kira ungkapan dari para petinggi partai yang dituduh meminta mahar.

Pertanyaannya, jika uang mahar politik atau maskawin politik itu tidak ada, lantas kenapa beberapa kandidat kepala daerah itu menyatakan dengan tegas dan terang benderang? Apakah itu hanya isapan jempol ataukah dalam politik memang harus ada “uang politik” yang sebutannya itu macam-macam tidak perlu dipersoalkan! Jika hal ini ada, sebenarnya politik kita memang politik dengan uang, sekalipun ada pula kualitas yang dimiliki.

Kita sekarang fokus pada persoalan mahar politik yang sedang menjadi pembicaraan publik. Siapa pun mereka yang menyatakan dan partai mana pun yang meminta, entah apa pun sebutannya, sebenarnya yang sedang terjadi dengan demokrasi kita adalah pembusukan demokrasi. Demokrasi sedang mengalami pembusukan karena perilaku politikus yang sengaja mencederai proses-proses demokrasi dengan segala macam uang sogokan.

Uang mahar, uang tanda jadi, uang persekot-uang muka, uang sedekah, sedekah politik, amal jariyah politik, dan seabrek istilah lainnya yang digunakan dalam proses politik pilkada sejatinya sedang meruntuhkan dan meremukkan demokrasi yang berkeadaban. Kita sedang membangun politik di atas sumber-sumber kekuasaan keuangan, bukan pada kualitas.

Jika hal itu terus terjadi dalam setiap pilkada, sudah dapat dipastikan bahwa yang melenggang mendapatkan rekomendasi dari pimpinan atau petinggi partai politik adalah mereka yang memiliki banyak uang dan sumber keuangan. Paling sederhana adalah mereka yang paling dekat dengan sumber-sumber kekuasaan dan keuangan. Tanpa ini semuanya, cita-cita untuk menjadi kepala daerah dengan jalur partai politik dipastikan akan mati sebelum berkembang. Gugur di tengah jalan yang terjal.

Dari adanya kasus tentang mahar politik atau uang politik pilkada, dampak yang akan terjadi berikutnya adalah kerja politik mengembalikan modal yang telah disebarkan atau ditaburkan. Seorang kepala daerah yang telah banyak menguras dana dalam pilkada dapat dipastikan tidak akan fokus dengan orientasi membangun daerah yang dipimpinnya sebagaimana saat kampanye dilakukan. Padahal, sudh jelas apa yang akan ditanggung kalau itu kerja korupsi, maka akan masuk penjara. Hanya saja sebagian kepala daerah agaknya memilih dipenjara karena korupsi ketimbang tidak menikmati hidup dipenjara.

Orientasi kepala daerah yang telah menaburkan dana sebagai mahar politik, bahkan jika ditambah dengan uang haram lainnya yakni politik uang, maka saat menjadi kepala daerah dipastikan akan berupaya keras mengembalikan modal dengan segala cara. Korupsi atau mark up anggaran dan kongkalikong merupakan “wirid” yang akan selalu dilakukan demi kembalinya modal.

Ritual “wirid” utama seorang kepala daerah dengan modal mahar politik adalah melakukan manipulasi segala macam aktivitas dari yang sederhana sampai yang luar biasa. “Wirid” dananya dari yang puluhan juta hingga miliaran rupiah. Itulah “wirid” utama seorang kepala daerah yang bermodalkan mahar politik. Akan berbeda dengan kepala daerah yang maju karena dukungan partai, rakyat, dan kolega lainnya. Berpolitik mengeluarkan dana itu pasti. Tidak bisa ditolak. Tetapi bukan mahar!

Oleh sebab itu, “nyanyian La Nyalla Mattaliti” tentang mahar politik sebenarnya dapat menjadi perhatian para politikus lainnya untuk berani berkata terus terang pada publik jika praktik-praktik seperti itu nyatanya memang terjadi. Hal ini demi membuka kedok borok partai politik yang tampak tidak pernah berbuat salah kecuali kandidatnya yang salah. Dengan keberanian yang disampaikan secara perlahan akan dapat memperbaiki praktik-praktik politik para kepala daerah yang akan menjadi pimpinan di daerahnya.

Jika mereka menjadi kepala daerah bukan karena mahar politik, maka akan terjadi kemungkinan perbaikan birokrasi di daerah. Terjadi perbaikan kinerja sumber daya karena tidak fokus mencari dana pengembalian dana yang terkuras oleh mahar politik sebelumnya. Dengan keberanian itu pula secara perlahan akan terjadi perbaikan iklim demokrasi, dari demokrasi bermodalkan keuangan dan kedekatan dengan pimpinan dan pejabat partai menjadi demokrasi yang berkeadaban. 

Kita jelas menantikan hadirnya para kepala daerah yang bisa dikatakan bersih sehingga dapat membangun kinerja birokrasi pemerintahan yang baik. Kita harapkan pada Pilkada 2018 ini terjadi perubahan lanskap politik dari politik bermodalkan keuangan dan kedekatan pada bos partai menjadi politik yang bermartabat dan manusiawi. Mahar politik, karena itu, apa pun namanya harus dihentikan.

Kolom terkait:

Serangan Balik La Nyalla

Perilaku Korupsi dan Politik Kebajikan

Mahar Politik dan Matinya Demokrasi

Politik Mahal 2019, Politik Murah 2045

Zuly Qodir
Zuly Qodir
Sosiolog, Dosen Fisipol UMY, Peneliti Senior MAARIF Institute for Culture and Humanity dan Senior JIMM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.